Fimela.com, Jakarta Nama merupakan identitas yang diberikan orangtua sejak lahir. Namun di Inggris, hampir semua perempuan yang sudah menikah, 90 persen mengubah nama belakangnya dengan nama belakang suami menurut survei tahun 2006.
Survei tersebut menemukan jika sebagian besar perempuan yang menikah di usia 18-34 tahun memilih untuk mengganti nama belakangnya. Melansir dari theconverstion.com, beberapa perempuan menyalahartikan karena menyangka hal itu adalah persyaratan hukum, sebagaimana juga dilakukan di sebagian besar negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Advertisement
BACA JUGA
Perubahan identitas perempuan dengan mengambil nama suami ini muncul dari sejarah partriarki, di mana istri tidak memiliki nama belakang kecuali 'istri X'. Istri adalah milik suami dan sampai akhir abad ke-19, perempuan di Inggris menyerahkan semua properti dan hak orangtua pada suami saat menikah.
Jadi, bagaimana praktik yang lahir dari subordinasi perempuan terhadap pria begitu mengakar di era emansipasi perempuan? Para peneliti mewawancara perempuan dan pria di Inggris dan Norwegia.
Sebab Norwegia masuk dalam empat besar negara teratas di dunia untuk masalah kesetaraan gender. Namun sebagian besar istri di Norwegia masih menggunakan nama suami mereka.
Â
Â
Advertisement
Patriarki dan Perlawanan
Survei menemukan jika kekuatan patriarki belum hilang. Seperti di Inggris misalnya, beberapa suami membuat pernikahan dengan syarat istri mengambil nama belakang mereka.
"Sebenarnya aku tidak ingin mengganti namaku, tapi dia berkata jika itu tidak berubah, tidak ada gunamanya menikah. Dia berkata pernikahan itu tidak ada artinya," ujar Mandy.
Sementara perempuan Inggris lainnya sering menyebutnya sebagai tradisi. "Itu tradisional dan konvensional dan merasa perubahan nama adalah hal yang benar untuk dilakukan," ujar Eleanor dan Lucy.
Sementara itu, survei menemukan pandangan seperti itu lebih jarang ditemukan di Norwegia. Di mana kebanyakan perempuan menggunakan nama mereka sendiri sebagai nama belakang untuk mempertahankan identitasnya.Â
"Saya ingin mempertahankan nama saya sendiri. Saya harus menjadi diri sendiri dan tidak ingin kehilangan siapa saya," ujar Rebecca.
Begitu juga Caroline yang merasakan hal sama. "I am who I am. Jadi saya tidak perlu mengubah nama," ujar Caroline.
Â
Â
Keluarga yang Baik
Selain alasan adu kuat pria dan perlawanan perempuan, pengambilan nama belakang suami yang dipakai istri juga dipandang sebagai cara yang baik untuk menunjukkan kepada orang lain jika mereka adalah 'keluarga yang baik'.
"Saya ingin orang lain mengetahui jika kami adalah keluarga dan menurut saya nama adalah cara terbaik untuk melakukannya," ujar Claire.
Di Inggris dan Norwegia, peneliti menemukan nama keluarga melambangkan keluarga sebagai satu kesatuan terutama setelah memiliki anak. Seperti Eirin dari Norwegia yang berjuang antara 'the feminist me' dan suaminya yang ingin namanya dipakai.Â
"Meski suami merasa tidak mendesak, setidaknya sampai memiliki anak, saya mengganti nama belakang," ujar Eirin.
Â
Advertisement
Bukan Norma Â
Jelaslah, menunjukkan kepada orang lain sebagai 'keluarga yang baik' bukanlah proses mulus yang tidak terbantahkan. Hal itu membutuhkan validasi oleh orang lain, dan membuat mengadopsi nama suami jadi lebih mungkin.Â
Pada akhirnya, para peneliti menemukan kemungkinan menggunakan nama gabungan atau menggunakan nama perempuan jarang dipertimbangkan di antara pasangan di Inggris. Jadi, meski beberapa perempuan mungkin terlibat aktif dalam memilih nama pernikahan, pengambilan nama pria tetap menjadi norma.
Simak Video Menarik Berikut Ini
#ChangeMakerÂ