Fimela.com, Jakarta Cinta memang tidak melihat apakah tuhanmu sama dengan tuhanku. Pebedaan agama seringkali tidak menjadikan cinta lebur begitu saja, dan itu juga yang dialami seorang perempuan yang berbagi ceritanya dalam Yourtango dengan nama Asklycee.
BACA JUGA
Advertisement
Saat itu pukul 02:19 ketika suamiku terbangun untuk sahur dan menjalankan puasa Ramadan. Ia tidur lebih malam dariku namun bangun lebih awal karena puasanya dimulai 28 menit lagi. Tapi aku tidak puasa. Lebih tepatnya, agama kami berbeda. Aku Kristen dan dia Islam, dan kami menjalani pernikahan beda agama.
Mengapa menikahi pria muslim? Sayangnya, jawabannya bukanlah karena aku tak bisa menemukan pria baik yang seagama denganku. Ada banyak pria baik di luar sana dan bahkan aku sempat berharap bisa pergi ke gereja bersama dengannya dan beribadah dengan khidmat setiap Minggu-nya karena itu terbayang sangat damai dan romantis.
Namun yang kuinginkan selama ini adalah seorang suami yang mencintai Tuhan seperti aku, atau mungkin lebih dari itu. Menuliskan tentang keputusan menikah ini pun bukan hal yang mudah bagiku, tapi tak bisa begitu saja kupendam. Jadi akan kuceritakan bagaimana ini bisa terjadi.
Advertisement
Beda agama tak jadi masalah
Aku tumbuh besar dalam keluarga yang cukup taat menganut Kristen namun aku tak benar-benar mencari Tuhan hingga usiaku 19 tahun ketika aku mengalami patah hati pertamaku dan aku menjadi sangat tidak percaya diri. Setelah aku mengenal Tuhanku, aku mulai membangun kehidupanku menjadi lebih baik.
Aku berhenti menyenangkan orang lain, menjadi orang lain agar disukai dan sebaliknya membahagiakan diriku sendiri. Saat aku kuliah aku bertemu dengan suamiku dan kami berteman. Ketika aku tidak mencapai karir yang kuinginkan, ia ada di sampingku, memberikan semangat dan dukungan.
Bahkan ketika keimananku pada tuhan pudar dan aku merasa sangat malas datang ke gereja, ia meneleponku bertanya apakah aku baik-baik saja dan sudah makan. Ia juga berkata, "Aku meneleponmu ingin tahu kabarmu, dan kalau boleh, aku bisa menemanimu ke gereja."
Detik itulah aku menyadari dia pria yang istimewa. Saat itulah aku menyadari, mungkin Tuhan memiliki rencana yang berbeda untukku. Keraguan hatiku menerimanya karena dia Islam sirna sudah. Kami mencintai Tuhan dengan cara yang berbeda dan ia menghormati hal itu.
Lebih dari itu, ia mencintaiku karena aku mencintai Tuhanku. Aku tak pernah mencari cinta seperti ini, tak pernah mengharapkannya, namun Tuhan tahu aku butuh cinta ini. Apalgi ia tak pernah memaksaku mengikuti agamanya.
Aku bersyukur menikahinya
Di hari ketika aku berjalan menyusuri altar dan menyambut tangan suamiku, aku tahu aku tak bisa membatalkan keputusan ini dan memang aku tak mau. Aku bersyukur menemukannya.
Meski menjalani pernikahan seperti kami sangatlah sulit. Misalnya kami hanya bisa makan makanan halal atau ketika Ramadan kami tak bisa saling berdekatan. Dua tahun setelah menikah aku mulai menemaninya sahur dan puasa selama seminggu agar ia tak merasa kesepian menjalani ibadahnya. Kami selalu berusaha mencari jalan tengah agar bisa tetap bersama.
Setiap kali orang bertanya padaku apakah aku akan masuk Islam suatu hari nanti, aku diam-diam sangat kesal. Bukan karena aku membenci Islam, tidak. Tapi aku merasa marah pada orang-orang yang seakan punya hak untuk menanyakan hal itu padaku, apalagi mereka yang sebenarnya tidak benar-benar beragama.
Pada akhirnya aku menebalkan telingaku setiap kali mendengar komentar mereka karena yang perlu kulakukan hanyalah fokus membangun cinta dan pernikahan ini semakin kuat, saat ini hingga masa mendatang.
#ChangeMaker with FIMELA