Fimela.com, Jakarta Ada yang bilang uang bukan segalanya. Hanya saja uang tetaplah kita butuhkan dalam kehidupan. Mengatur keuangan, membuat rencana keuangan untuk jangka waktu tertentu, mewujudkan impian melalui perencanaan finansial yang baik, rencana investasi dan membeli rumah, hingga pengalaman terkait memberi utang atau berutang pasti pernah kita alami. Banyak aspek dalam kehidupan kita yang sangat erat kaitannya dengan uang. Nah, dalam Lomba Share Your Stories September 2020: Aku dan Uang ini Sahabat Fimela semua bisa berbagi tulisan terkait pengalaman, cerita pribadi, kisah, atau sudut pandang terkait uang. Seperti tulisan berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Nova Ulya
Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Semua orang pasti pernah memiliki pengalaman tersendiri terkait dengan uang. Satu kata berjuta makna, yang kadang dari uang pun orang lupa akan segalanya. Kadang kesuksesan seseorang pun dinilai dari seberapa besar uang yang dia miliki.
Apa pekerjaanmu? Berapa penghasilanmu? Sudah punya rumah? Sudah punya mobil? Berbagai pertanyaan yang awam terlontar saat orang ingin mengetahui seberapa sukseskah kita. Ya, semua berujung pada satu titik “uang”. Tak hanya saat kita merintis karier, saat melangkah menentukan hidup untuk lebih mandiri hingga memutuskan untuk berumah tangga, pertanyaan-pertanyaan tersebut tak pernah lepas dari telinga kita.
Advertisement
Awal Berumah Tangga
Mengawali biduk rumah tangga dari nol membuatku belajar banyak akan liku kehidupan, termasuk bagaimana aku menghargai sebuah nominal “uang”. Pasang surut perihal keuangan pernah aku rasakan, hingga pernah merasakan betapa berharganya uang tiga puluh ribu rupiah. Ya, uang tiga puluh ribu rupiah yang mungkin sebagian orang menganggap kecil, bagiku itu begitu besar. Nominal yang besar bagiku kala itu yang benar-benar tidak memiliki uang selain jumlah tersebut. Suami berangkat ke kantor pun tanpa membawa uang sepeser pun. Tidak pernah terbayang dalam benakku hingga aku berada di titik tersebut.
Sedih, bingung pasti. Berbagai pikiran pun berkecamuk dalam diri, aku yang saat itu tengah hamil anak pertama tidak tahu harus bagaimana. Biaya melahirkan, perlengkapan bayi atau hanya sekadar untuk makan besok saja aku tidak tahu bagaimana? Kepala terasa penuh sesak memikirkan segala hal. Namun dalam kondisi ku yang tidak stabil suami selalu mengingatkan untuk tetap bersabar dan berdoa. Tuhan akan berikan rezeki di saat yang benar-benar kita butuhkan. Ada Allah bersama kita. Ya, kalimat itulah yang menjadi kekuatanku kala itu.
Benar saja, sepulang dari kantor dengan wajah sumringah suami pun menyodorkan sebuah amplop putih. Betapa terkejutnya aku saat amplop itu aku buka, segepok uang mendarat dalam genggaman. Kaget, haru, bersyukur. Alhamdulillah, ada bonus dari kantor atas loyalitas kerja suami. Nominalnya pun tidak sedikit, cukup untuk biaya hidup hingga akhir bulan. Ternyata benar, Allah berikan rezeki di saat yang benar-benar kita butuhkan. Tak pernah terbayangkan sebegitu cepatnya doaku dikabulkan. Bersyukur dan terus bersyukur.
Hamil dan Melahirkan Anak Pertama
Bersyukur kondisi keuangan sudah berangsur membaik. Aku pun begitu antusias menunggu malaikat kecil hadir di dunia. Segala perlengkapan melahirkan sudah aku siapkan, termasuk baju-baju bayi. Kehamilanku yang pertama ini memang tidak mulus begitu saja, menginap di rumah sakit pun pernah aku jalani. Riwayat kesehatanku yang pernah mengidap batu ginjal memaksaku untuk ekstra hati-hati.
Hingga memasuki 40 minggu gelombang cinta itu belum hadir juga. Yakin akan bisa melahirkan normal, aku pun rutin berjalan. Saat jadwal kontrol di rumah sakit betapa terkejutnya aku, plasenta sudah mengalami pengapuran dan air ketuban sudah mulai keruh. Mau tidak mau proses kelahiran harus dipercepat. Bisa, pasti bisa normal pikirku kala itu.
Mendapatkan induksi tiga kali dan aku pun sudah tiga hari di rumah sakit gelombang cinta itu pun belum hadir juga. Hal tersebut membuatku cukup stres, di samping tekanan dari keluarga yang menginginkanku untuk operasi caesar saja. Mendengar kata operasi kepala mendadak pusing, bukan soal sakit atau prosesnya tapi lebih kepada bagaimana nanti biayanya. Berapa biaya yang harus digelontorkan sementara tabungan kami hanya cukup untuk rencana kelahiran normal.
Kondisiku yang tidak stabil berdampak pada proses kelahiran, belum ada tanda-tanda bayi akan lahir. Karena sudah terlalu lama, keputusan operasi pun akhirnya diambil. Menangis, itu yang aku lakukan saat memasuki ruang operasi. Bukan takut akan jarum suntik atau pisau medis yang akan mengeksekusiku, tapi soal biaya. Bagaimana suami akan membayarnya nanti?
Aku pun berserah, pasti ada jalan untuk kami. Semangat kembali menggelora kala melihat malaikat kecil hadir di dunia. Sehat tanpa kurang suatu apa pun. Setelah semua dirasa sehat, aku pun diizinkan pulang. Moment yang ditunggu-tunggu tiba. Suami bergegas ke bagian administrasi. Deg-degan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya suami kembali dengan wajah sumringah yang menyiratkan beban itu lepas.
Biaya rumah sakit yang kami pikir begitu besar dan berat untuk kami bayar ternyata terlunasi sudah. Ada donasi dari orang tua yang tidak kita sangka-sangka, asuransi kesehatan, hingga potongan dari pihak rumah sakit sendiri. Bersyukur dan terus bersyukur, begitu indah rencana Allah untuk kita. Semuanya memang butuh uang, namun di balik itu ada skenario indah dari Sang Maha Pemberi Rezeki.
Hingga bisa berada di titik yang sekarang pun aku tak henti-hentinya bersyukur. Pernah berada dalam situasi yang sulit membuatku banyak belajar dan lebih menghargai uang, berapa pun nominalnya. Karena terkadang nominal itu kecil bagi kita namun begitu besar dan berharga bagi orang lain. Uang, satu kata berjuta cerita.
#ChangeMaker