Fimela.com, Jakarta Menjadi kondektur adalah impian Robert Mohr (49) yang memiliki kendali atas kekuatan kereta api yang luar biasa. Pada 12 Mei 1988 pukul 7 pagi, Mohr telah mendata dan mengirimkan muatan kereta barang yang sarat bahan berbahaya.
"Kami punya bensin," ujarnya melapor pada teknisi Rod Lindley dalam taksi menuju stasiun melansir kisah dari rd.com
Adanya gas propana cair menjadi pantangan sekaligus tindakan pencegahan ekstra untuk melakukan pengereman secara tiba-tiba kereta berbobot 6.200 ton. Sisa kargo lainnya sebagian besar adalah mobil baru, suku cadang mobil, dan batu bara.
Advertisement
BACA JUGA
Setelah pemeriksaan terakhir, Mohr siap mengendarai keretanya. Mereka menuju timur, menuju matahari yang menjanjikan perjalanan kereta paling indah di seluruh Amerika menuju Peru, Indiana dalam kecepatan 172 mil.
Advertisement
Emily, bayi perempuan 19 bulan
Di hari yang sama menjelang siang, ibu tunggal Tila Marshall (34) bersiap mengerjakan beberapa pekerjaan di pekarangan rumahnya di Lafayette, Indiana. Ia akan menanam bunga untuk mempercantik halaman rumahnya yang terletak di seberang rel kereta api dengan dibatasi rumput tinggi.
Marshall mulai berkebun di sebidang tanah dan duduk di sampingnya dengan riang bermain tanah, putrinya Emily yang berusia 19 bulan. Dia terus memperhatikan Emily yang bermain di dekatnya sampai akhirnya Marshall justru sangat fokus dan tenggelam dalam pekerjaannya.
Sementara di dalam kabin mesin yang nyaman, Robert Mohr menemani rekan sekaligus temannya Rod Lindley menyantap makan siang yang sudah dipanaskan. Keduanya sudah memiliki pengalaman 50 tahun di kereta api dan mempunyai banyak kesamaan.
Mereka senang berburu, memancing, dan bertualang di alam bebas. Terlebih, keduanya sama-sama senang membahas keluarga mereka, menertawakan ujian dalam membesarkan anak.
Sampai akhirnya Mohr dan Lindley pun mendekati Lafayette, kota yang dilewatinya ratusan kali dengan ekstra hati-hati saat melewati tikungan pertamanya. Sebab di depan, lebih dari tiga mil jalur, terbentang tidak kurang dari 24 penyeberangan jalan.
Suara Klakson Menyadarkan Marshall
Saat kereta keluar dari tikungan, Lindley melihat titik kecokelatan kecil di rel sebelah kanan sekitar 150 yard di depan. Dia pikir mungkin itu seekor anjing. Meski melanggar aturan yang terlarang dilakukan di Lafayete, ia mulai membunyikan klaksonnya pelan. "Ayo, anak anjing, minggi," desaknya.
Suara klakson kereta pun mengejutkan Marshall dari konsentrasinya berkebun. Aneh, pikirnya, biasanya kereta tak pernah meniup peluit di kotanya. Ia menoleh untuk memeriksa Emily namun jantungnya berdebar kencang karena putrinya tidak terlihat di mana pun.
Sementara Lindley mengatur kontrolnya, Mohr berdiri di sampingnya menatak ke depan pada apa pun yang tergeletak di pagar. Bukan hal aneh jika benda-benda yang dilihatnya dari jauh berubah menjadi sekumpulan kain atau puing-puing lainnya.
Sekarang, saat kereta mendekat dalam jarak 100 yard dari objek di rel. Mohr melihat dengan seksama dan kepanikan menyelimutinya.
"Tuhanku! Itu bayi," dia berteriak ketika wajah kecil menoleh ke arahnya.
Advertisement
Keputusan Cepat dan Aksi Tepat
Tila Marshal berlari ke belakang rumah karena ia tahu Emily suka bermain dengan kakak laki-lakinya berusia 11 tahun. Namun sia-sia, Emily tidak bermain dengan kakaknya Zachary maupun di dalam rumah.
Sementara dari balik kendali, Lindley harus membuat keputusan instan untuk mengerem darurat dengan separuh badan kereta yang masih melilit di tikungan dan menyadari potensi tergelincir yang besar. Tapi kenyataan mengerikan dari situasi tersebut membuatnya tak punya pilihan dan harus mengambil risiko berhenti darurat.
Kereta api bergetar, roda-rodanya berdecit seolah memprotes. Lindley menyaksikan tanpa daya saat kereta terus mendekati Emily. Dia dan Mohr tidak berkedip terpaku pada sosok kecil di hadapannya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa sekarang selain berdoa.
Di rumah Marshall tak bisa fokus dan kakinya berubah gemetar tak terkendali. "Bu, aku takut," ujar Zachary yang menangis di samping Marshall.
Robert Mohr pun bertindak berdasarkan naluri, ia menarik pintu kabin kiri kabin mesin dan melangkah keluar ke jalan sempit. Dia bergegas ke depan mesin dan menyeberang ke sisi kanan dan turun ke bagian bawah jalan setapak tepat di belakang "cow cather" kereta.
Kini Emily hanya tinggal 40 yard di depan. Pada kecepatan yang masih sekitar 20 m.p.h, kereta barang ini masih membutuhkan 150 yard lagi untuk berhenti.
Tak mungkin menyetop kereta tepat waktu, dalam sisa waktu kurang dari 10 detik, ia merentangkan tubuhnya sejauh mungkin, dengan jari-jari kaki kiri di trotoar dan tangan menempel pagar, ia tahu punya satu kesempatan.
Aksi Menegangkan
Emily masih berusaha berdiri dan sekarang tepat di tengah rel kerata. Mohr meletakkan kaki kanannya di depan dan mengayunkannya keluar menyapu Emily dengan kakinya. Dia melihat bayi itu menghantam batu dengan posisi kepala lebih dulu dan terguling.
Mohr melompat dari kereta yang bergerak dan berlari menghampiri Emily. Dia berbaring menangis dan darah mengalir dari luka di bawah rambut Emily.
Marshall masih berdiri di halaman depan rumahnya dan melihat orang-orang berlari menuju rel. Ia mencoba berteriak minta tolong tapi hanya bisa tersengahl-sengal.
"Mama! Mama!," Emily berteriak. Mohr lega luar baisa.
Sambil memeluk kepalanya, Mohr mengangkat Emily dari tanah. "Oke, sayang, ayo kita cari Mama."
Seorang tetangga yang melihat kecelakaan menelepon 911. Dengan bayi dalam pelukan, Mohr berkalan menyerahkan bayi ke paramedis untuk dibawa ke rumah sakit.
Seorang petugas polisi mendekati halaman Tila yang tak siap menerima kenyataan jika korban kecelakaan kereta adalah putrinya. Namun polisi segera menangkannya.
"Bu, Bu tenanglah. Bayinya akan baik-baik saja. Kita hanya perlu mencari tahu siapa itu
Seminggu kemudian Mohr keluar dari mobilnya di depan rumah Marshall. Saat Marshall diperkenalkan dengan pria yang telah menyelamatkan putrinya, ia memeluk dengan erat.
Mohr mengangkat Emily dan memeluknya erat. "Halo, Emily," katanya.
Advertisement
Simak video berikut ini
#ChangeMaker