Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Leila Rizki Niwanda
Ibuku wanita bekerja hingga awal tahun 2014. Pekerja kantoran, dengan jam kerja 7 to 5, lima hari seminggu (dulu malah pernah 6 hari sebelum penetapan Sabtu sebagai hari libur). Artinya jarang ada sambutan ramah ibu ketika pulang sekolah dan selepas sore pun biasanya ibu sudah cukup lelah untuk membacakan dongeng atau memeriksa PR. Tetapi sebenarnya ibu tetaplah penuh perhatian.
Semasa aku SMP, rambut siswi yang lebih dari sebahu harus dikepang rapi. Maka tiap pagi ibu menyempatkan diri untuk menyisiri rambut sepinggangku lalu menjalinnya jadi kepang satu maupun dua. Ada saja bekal yang beliau siapkan untuk kumakan saat jam istirahat agar aku tetap konsisten tidak jajan sembarangan. Tidak tiap hari, sih, karena toh jarak sekolah dengan rumah tidak begitu jauh dan jam belajar pun belum sepanjang anak-anak sekarang. Saat akhir pekan barulah ada masakan istimewa yang ibu sajikan, dari nasi goreng ala Thailand, donat, sampai pizza, yang selalu aku dan adikku nikmati dengan lahap.
Kalau aku mendapat tugas dari sekolah untuk membawa benda-benda yang cukup unik seperti ragi tape, media untuk menyetek tanaman, tanaman sirih air, bohlam lampu yang dikosongkan isinya untuk dijadikan pot, ibulah yang pertama kali sibuk membantu mencarikan ke sana kemari, meneleponi kenalan beliau yang kemungkinan punya info dan mengejarnya sampai dapat. Saat salah satu dari kami berulang tahun, ibu siap dengan kado kejutan berikut nasi kuning komplet, kalau bukan kue tart yang lezat. Demikianlah ibu mewujudkan rasa sayangnya kepada aku dan adikku semata wayang. Entah sebagai tebusan atas waktu kebersamaan yang hilang atau sekadar melakukan apa yang bisa beliau lakukan, rasanya perkara latar belakang ini tak penting lagi bagiku.
Advertisement
Ayah Pensiun Dini
Kala SMP itu pulalah, cobaan datang menghampiri kami. Ayah terpaksa pensiun dini dari pekerjaan beliau sebagai PNS di luar kota karena sakit, sehingga dari yang tadinya hanya akhir pekan di rumah jadi tiap hari selalu ada untuk kami. Otomatis ibulah yang menjadi bread-winner keluarga. Sempat mencoba usaha sampingan kecil-kecilan seperti membuat kue atau kerajinan tangan, akhirnya ibu memutuskan untuk tetap fokus di pekerjaan utama saja.
Dengan cekatan ibu menunjukkan kepiawaiannya sebagai manajer keluarga, membagi tugas-tugas yang semula banyak dikerjakan pembantu (yang harus diberhentikan untuk berhemat) kepada kami. Dalam situasi itu pun ibu tak lupa untuk selalu memperhatikan ayah yang masih beradaptasi dengan kondisi baru beliau. Memang, ayah sendiri bukan orang yang ‘sulit’, tetapi siapa tahu juga, itu pun berkat kecakapan ibu memuliakan beliau, bukan?
Berkaitan dengan ayah inilah, kata mendiang eyang dari pihak ayah yang tinggal di jalan yang sama, ibu mendapatkan julukan sebagai “istri teladan” dari masyarakat sekitar. Terlebih setelah ayah lantas terserang stroke dua kali dan sebelah tubuh beliau tak bisa digerakkan hingga harus banyak berbaring saja sampai akhir hayat beliau pertengahan tahun ini. Barangkali orang-orang melihat ketegaran dan optimisme ibu yang tetap memancar di tengah situasi yang sanggup merubuhkan semangat hidup sebagian orang.
Semangat hidup. Ya, itulah yang kurasa paling menonjol dari diri ibu. Belakangan ini barulah kurasakan sekali betapa bijaknya ibu. Ibu tak pernah menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mendisiplinkan anak-anak beliau. Kalaupun ibu marah, itu biasanya karena kesalahan kami sudah sampai pada taraf merugikan orang lain.
Ibu adalah Motivator Terhebatku
Meski aku jarang curhat pada ibu, tapi ibu jadi sahabatku yang utama. Mungkin karena jarak yang terbentang antara kami sekarang, tapi bisa jadi juga karena aku pun sudah terjun dalam kehidupan berumah tangga dan lebih bisa merasakan manis pahitnya jadi manajer keluarga. Berkenaan dengan rumah tangga ini, aku sangat bahagia karena ibu juga sangat mengasihi suamiku. Perkenalanku dengan calon suami waktu itu yang terbilang singkat sebelum menuju jenjang pernikahan tak membuat ibu ragu akan pilihan putrinya. Pastilah ada kekhawatiran yang beliau sempat ungkapkan, tetapi secara keseluruhan hingga kini suamiku sudah bak anak kandung beliau saja.
Berkaca dari ibu, aku jadi sering malu sendiri. Seringkali malu dalam arti yang sebenarnya. Betapa tidak, kadang aku mengeluhkan pernik pekerjaan yang menumpuk, harga barang, atau sekadar cuaca via telepon, dan ibu menanggapinya dengan kalem. Bukan kalem dalam arti tidak peduli atau meremehkan, melainkan mengingatkanku bahwa masih banyak hal lain yang wajib disyukuri bagaimana pun juga. Bahwa banyak hal dalam hidup tidak selalu manis bagi kita, tetapi dengan menjalaninya dalam naungan doa dan keikhlasan, insyaAllah kita akan dapat melaluinya dengan baik. Kalau dalam cerita seri Harry Potter ada Dementor yang menyerap kebahagiaan korbannya sekaligus menyalurkan energi negatif, kurasa ibuku adalah perwujudan patronus yang mampu melawannya.
Tahun 2010 pula, aku kehilangan janin dalam rahimku yang baru berusia sembilan minggu. Ini berarti pula tertundanya kesempatan ibu untuk segera memperoleh cucu pertama, yang padahal sudah ditunggu-tunggu hampir empat tahun lamanya. Ibu sedih tentunya, tapi seperti biasa tidak membiarkanku makin terpuruk karena tidak bisa memenuhi salah satu harapan terbesarnya. Dengan lembut ibu menyirami hatiku dengan pengingat akan kuasa dan takdir Allah, juga bahwa Allah tidak akan mencoba umat-Nya melebihi kemampuan. Kalau bukan sekarang, insyaAllah akan ada kesempatan yang akan datang.
Menurutku, cinta berarti menginginkan yang terbaik untuk orang yang dicintai. Seperti halnya cinta ibu bagiku. Ibu memang nyaris selalu mendukungku dalam segala hal, tetapi juga tidak membiarkan aku terjerumus dalam kelalaian ataupun kesalahan. Bukan semata setuju akan semua pernyataan dan pilihanku, tetapi tak lupa mengingatkan akan konsekuensinya. Dan yang lebih penting lagi, ibu melakukan semua itu dengan bahasa cinta. Bukan bahasa otoriter, bukan pula bahasa sindiran ataupun pembiaran.
Jadi, tak salah, kan, kalau kuanggap ibu adalah motivatorku yang terhebat? Ah, betapa inginnya aku mencontoh ibu, menjadi sahabat sekaligus pendorong semangat bagi orang-orang terdekatnya lewat limpahan cinta.
#ChangeMaker