Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Yang Goe
Aku dilahirkan sebagai anak ketiga dari tujuh saudara yang semuanya adalah perempuan. Ibuku bukan orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi dibandingkan almarhum ayahanda, tetapi kalau soal visi ke depan yang berhubungan dengan masa depan anak-anaknya ibu adalah masternya. Setiap tindakan dan keputusan yang kami ambil ada pengaruh ibu yang mendominasi, bukan pengaruh ayah.
Ayahku memiliki sifat yang sangat lembut, ayah lebih memilih menghindari konflik daripada bersitegang dengan ibu walaupun sebenarnya ayah tidak menyetujui tindakan ibu, ayah lebih memberi pandangan kepada anak-anaknya ketika memutuskan sesuatu, agar kelak jangan ada penyesalan. Tetapi ibuku berbeda, ketika kami menyatakan tidak bisa, ibu dengan lantang langsung berkata, "Jadi orang tuh jangan gampang menyerah, belum dilakukan sudah berkata tidak bisa! Buktikan bahwa kamu bisa!" Begitulah cara Ibu menanamkan sugesti di pikiran anak-anaknya bahwa ketidakmampuan itu karena kami penakut, ibarat perang tidak punya strategi dan gampang menyerah kalah tidak ada perjuangan sama sekali. Maka tidak heran kalau akhirnya anak perempuan ibuku semuanya mandiri.
Sifatku terkadang mengikuti sifat ayah, lebih banyak tidak enak hatinya terhadap orang lain, gak heran kalau aku banyak dimanfaati oleh teman-teman, persis seperti ayahku, aku lebih banyak mengalah. Tetapi terkadang sifat ibu mengalir didarahku ketika berhubungan dengan kemauan ingin mendapatkan sesuatu dengan perjuangan bukan dengan fasilitas dan kemudahan.
Karena dididik mandiri oleh ibu maka tidak heran sikap kakak  dan adik perempuanku dalam kehidupan rumah tangga mereka, seperti cara mereka memperlakukan suami dan sikap keras  yang diwarisi ibu membuat saudaraku kurang menghargai para suaminya. Kurang menghargai bukan melawan suami mereka tetapi sifat mapan yang ditonjolkan seolah-olah saudaraku tidak membutuhkan peran suami, dan hal ini ditularkan ke anak-anaknya.
Advertisement
Tak Masalah dengan Penghasilan Suami yang Lebih Rendah
Kami tidak pernah khawatir bila suami memiliki penghasilan rendah. Prinsip ibuku, "Anak perempuan ibu harus menjadi anak tangguh yang tidak bergantung pada finansial suami." Maka tidak heran bila anak-anak  perempuan ibu sangat dominan dalam kehidupan rumah tangganya. Dalam acara keluarga saudara perempuanku lebih banyak berbicara dibandingkan para suaminya. Suami mereka lebih condong diam dan kelihatannya minder, bahkan makanan yang disodorkan oleh saudara perempuanku ke para suaminya tidak ada penolakan sedikit pun.
Sama hal dengan diriku, aku pun punya sifat kemandirian yang kuat karena aku memiliki pekerjaan yang bagus, bahkan penghasilanku lebih tinggi dari suami. Maka dalam menentukan pendidikan anak aku lebih dominan daripada suami. Baru kusadari ketika kami berkumpul bersama dalam acara keluarga aku melihat bahwa didikan ibu lebih kuat mempengaruhi anak perempuan bahkan cucu perempuan ibu  memiliki sifat lebih menonjol dari cucu lelakinya. Mereka memiliki  kepercayaan yang tinggi dan punya prestasi menonjol dibandingkan cucu laki-lakinya.
Ada baik dan buruknya didikan ibuku. Sisi positifnya ibu berhasil mendidik anak-anak perempuannya sukses dan mandiri, tidak cengeng, dan tangguh tetapi sisi negatifnya karena terlalu mandiri kami melupakan peran suami dalam kehidupan rumah tangga. Padahal kehadiran seorang ayah sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Pepatah tentang “buah jatuh tak jauh dari pohonnya" ternyata berlaku dalam keluargaku dan saudara perempuanku. Kemapanan dalam finansial telah memperluas otoritas anak perempuan ibu menjadi lebih dominan, apa pun itu mereka adalah saudara-saudaraku tercinta.
#ChangeMaker