Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Eny
Tidak pernah terbesit dalam pikiran kami jika anak yang kami adopsi sejak usia 2 hari kelahirannya mengalir darah dengan jenis penyakit menakutkan. Masih teringat jelas di hari kelahirannya dulu. Ketika saya dan suami sampai di kontrakannya menjelang Isya. Begitu mungil, lucu, dan menggemaskannya bayi itu. Himpitan ekonomi jelas terlihat dari ruang kontrakan yang menyatu dengan dapur kecilnya. Kami menahan diri untuk membawanya malam itu. Kami putuskan persiapan untuk menyambut kehadirannya di rumah kami.
Sejak usia 2 bulan, bayi mungil yang dilahirkan dengan berat 1,8 kg itu mulai sakit-sakitan. Anakku dirujuk ke RSCM dengan suspek Atresia Bilirum, salah satu penyakit dengan fungsi hati yang bermasalah. Sakit dan sakit lagi menjadi hal yang rutin dialami bayi mungil kami.
Terkadang sampai malu dengan diagnosa gizi buruk, diare akut, dll. Hal yang membuat kami malu di antaranya saya dan suami dengan tubuh tambun, sedangkan bayi yang kami gendong tergolong sangat mungil. Banyak pasang mata yang mungkin saja penasaran melihat bayi kami. Kami banyak menahan diri dan tarik napas yang panjang melihat tatapan orang-orang. Bagi kami, tak perlulah kami ceritakan kepada semua orang bahwa bayi mungil itu anak angkat saya.
Dalam satu tahun anak kami bisa dirawat 3 sampai 4 kali bolak balik RS. Yang menguatkan kami, kedua keluarga besar kami tidak ada yang menyudutkan kami atas keputusan kami mengadopsi bayi itu. Bayi yang sakit-sakitan. Dari awal mereka bahkan mendukung, memberi masukan terkait pengobatan yang mungkin bisa kami pilih. Mulai dari herbal, alternatif bahkan referensi dokter yang mungkin bisa menjadi alternatif pilihan.
Advertisement
Merawat dan Menjaganya Sebaik-baiknya
Pertama kali kami meniatkan mengadopsi anak tersebut, saya dan suami sudah berkomitmen untuk menjaga, merawat, dan membesarkannya seperti anak sendiri. Jadi hari demi hari yang kami lalui di RS, tahun demi tahun yang kami lewati bersama dengan bertambahnya usianya, kami ‘nikmati’ pula segala kerepotan dan air mata yang mengalir deras dari tangisan anak kami setiap diambil darah atau masuk infusan di jemari mungilnya.
Hingga menjelang usia 5 tahun dalam perawatan sakitnya, memasuki hari ke-10 anak saya kejang, panas dengan level kesadaran menurun. Hingga akhirnya masuk ruang ICU, perasaan khawatir, cemas, sedih, lelah campur jadi satu. Apalagi ketika dokter penanggung jawab yang menangani anak kami sejak hari pertama di ruang perawatan mengatakan bahwa tim dokter akan mengupayakan yang terbaik, selebihnya kami diminta untuk berdoa dan meminta keajaiban dari Tuhan untuk kesembuhan anak kami.
Dari tujuh dokter spesialis yang menangani anak saya di ruang ICU ada salah satu dokter paru yang kebetulan aktif dalam komunitas HIV/AIDS. Kecurigaannya bertambah besar ditambah informasi kami yang mengatakan dia anak adopsi kami. Saat masuk ICU anak saya didiagnosa meningitis, ada virus yang sampai ke otaknya (begitu kira-kira istilah awam yang saya pahami).
Sakit kali ini menjadi yang paling banyak menguras air mata namun kami tidak pernah berhenti berdoa dan berharap ada mukjizat yang Tuhan beri kepada kami, kepada anak kami khususnya. Saat ia dalam kondisi koma, kami hanya memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan anak kami. Beri kami waktu lebih lama untuk merawat, mendidik dan membesarkannya, kami siap dengan segala konsekuensi yang mungkin ada.
Keajaiban Itu Ada
20 Juni 2016 alhamdulillah, 5 hari dalam kondisi komanya anak kami tersadar, tak bisa berkata-kata cuma air mata bahagia yang kami rasakan. Para dokter pun terlihat takjub dengan perkembangan anak kami yang sadar tanpa meninggalkan jejak kecacatan pada tubuhnya. Hal ini semakin menguatkan kami.
Dukungan dan doa dari keluarga besar, teman-teman, saudara, guru dan orangtua murid sekolah TK-nya. Terima kasih Allah membantu kami. Hingga pada akhirnya, setelah 10 hari di ruang perawatan lalu 5 hari masuk ICU dan 5 hari masuk kamar Isolasi kami bisa pulang menggandeng anak kami.
Esoknya, kami menuju klinik dokter spesialis paru yang menyarankan untuk tes HIV/AIDS. Hasilnya reaktif, positif HIV dengan stadium 4. Kesedihan kami muncul ketika itu, bagaimana nasibnya kelak, bagaimana menyampaikannya, bagaimana penanganannya, bagaimana-bagaimana banyak yang muncul serentak di kepala pikiran yang berkecamuk saat itu.
Hingga muncul ketenangan dan keikhlasan dengan nasibnya sampai kami berjodoh dengan dokter spesialis anak yang khusus menangani ADHA. Menguatkan kami untuk menjaga, melindungi dan merawatnya dengan terapi ARV hingga saat ini. Satu hal yang kami syukuri, dengan diagnosa yang sudah tepat terkait penyakitnya, anak kami 4 tahun belakangan ini malah tidak pernah masuk ruang perawatan di RS lagi. Kondisi tubuhnya terlihat membaik, terlihat kemajuan perkembangan tubuhnya, peningkatan berat badan dan tinggi badan mulai membaik.
Dulu di pikiran kami, yang terlintas berat adalah bagaimana membuat skenario untuk mengatakan bahwa dia anak angkat kami. Tapi saat ini, hal itu rasanya mudah, kesulitan terbesar kami di masa mendatang adalah memberitahu statusnya Anak Dengan HIV/AIDS. Kami masih belum membayangkan hal tersebut dalam pikiran kami.
Biarlah saat ini kami menikmati kebersamaan dengannya, menikmati proses tumbuh kembangnya, menikmati keceriaannya sebagai anak-anak yang dikelilingi kasih sayang keluarga besarnya dan sesama teman-temannya. Doakan kami, Sahabat, untuk anak kami diberi kesehatan dan umur yang panjang. Sehingga kami dapat maksimal dalam mengasuhnya.
#ChangeMaker