Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Asri Susila Ningrum
Tidak terasa si kecil sudah hampir berusia lima tahun. Rencananya tahun depan dirinya akan bersekolah di taman kanak-kanak. Namun, sebelum hari itu tiba, sudah dua minggu ini aku mengikutkannya mengaji di rumah tetangga bersama beberapa anak lainnya.
Aku ingin melatih keberanian dan kemandirian anakku. Melihat dia yang jarang keluar rumah bisa belajar beradaptasi dan berbaur dengan teman seusianya.
Pada awalnya ada rasa cemas dan khawatir di dalam hatiku, takut kalau si kecil kaget dan menangis di tempat mengajinya. Ternyata benar begitu, selama mengaji ia tidak ingin jauh dariku, tidak mau didekati apalagi membaca iqra bersama ustazahnya. Ia hanya memelukku dan meminta pulang sambil berlinang air mata.
Para orang tua yang mengantar di hari kedua seperti aku harus belajar melepas anaknya. Anak-anak berada di dalam ruangan, sementara para ibu berada di teras. Awalnya si kecil mau di dalam sendirian, tanpa bundanya. Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian ia menangis keras dan berlari keluar mencariku, lalu memeluk. Sampai waktu mengaji hampir habis, si kecil hanya berada di pangkuan.
Apa yang harus aku lakukan? Pikirku.
1. Memberi Pengertian
Aku menanyakan sikap si kecil dengan hati-hati. Satu-dua kali ia masih belum mau bercerita, aku pun tidak ingin memaksanya. Jika terus ditekan, ia akan semakin down. Suatu hari ketika sedang bermain, aku kembali bertanya padanya. Ia mulai membuka diri dan menceritakan perihal ketakutannya.
Si kecil takut pada ustazah. Bagi dirinya, sang ustazah adalah orang asing yang harus dijauhi. Ia juga berpikir bahwa aku tidak lagi menyayangi karena meninggalkannya sendirian. Oleh karena itu, dirinya tidak mau jika aku berada jauh.
Setelah mengetahui permasalahan yang terjadi, aku memberinya pengertian. Aku mengatakan bahwa ustazah adalah orang yang akan mengajarinya mengaji. Ia pun diberi pengertian kalau bundanya tidak boleh menemani terus-menerus agar dirinya bisa belajar mandiri. Ia juga harus belajar berteman dengan yang lain agar kelas mengajinya lebih menyenangkan.
Advertisement
2. Memberi Kepercayaan
Hari mengaji berikutnya, anakku berjanji akan mencoba untuk tidak takut lagi. Mulanya hampir sama dengan minggu sebelumnya. Ia masuk, lalu lama memandangiku.
Aku mencoba memberinya kepercayaan dengan tersenyum dan menunjukkan kedua ibu jariku. Ia tampak berusaha tersenyum. Tak lama kemudian, si kecil membalikkan badan dan berjalan menemui ustazahnya sambil mengucapkan salam.
Bahagia sekali rasanya, hari itu anakku berhasil melewati ketakutannya. Ia berani berada di dalam ruangan sendiri tanpa diriku. Sang buah hati juga telah mampu berbaur dengan teman-temannya.
3. Melepas dengan Ikhlas
Setelah berhasil mengatasi ketakutannya. Ada rasa sedikit sedih di dalam hatiku. Dia yang biasanya menungguku saat akan berangkat mengaji, kini telah berlari mendahului saat aku masih sibuk mengunci rumah. Tampaknya permasalahan sekarang berpindah pada bundanya.
Aku harus belajar ikhlas untuk melepaskan demi kemandiriannya. Menerima bahwa ia telah mampu berangkat, dan mengaji sendiri tanpa harus kutemani lagi. Mengatakan pada diriku sendiri untuk seharusnya merasa bangga dengan perubahan ini.
4. Memantau dari Jauh
Si kecil tak lagi melulu menangis di pangkuan. Ia tak lagi meminta ditunggui dan ditemani. Sebagai bundanya, aku pun telah belajar memberinya kepercayaan dan ikhlas melepasnya mandiri.
Tugas selanjutnya adalah memantau perkembangan mengaji dan sosialisasinya dari jauh. Semoga saat tiba masuk sekolah tahun depan akan lebih mudah bagi anakku, setelah ia berhasil di kelas mengajinya sekarang.
#ChangeMaker