Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Shabirah Hijron
Aku terlahir dari keluarga yang pernah kubenci, tapi sekarang kucintai. Ini kisah keluargaku yang sangat membuatku menjadi pribadi yang kuat. Aku terlahir dari seorang ibu pintar dan ayah yang dermawan, aku juga dibesarkan dalam lingkungan yang bisa dibilang baik bagi orang seumuran ku. Ini adalah cerita yang kuingat dari aku kecil hingga sekarang. Aku berumur 15 tahun dan bersekolah di salah satu SMA di kota yang terkenal di Jawa Barat. Aku merupakan anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Kakak pertamaku sekarang menginjak kelas 12, lebih tepatnya ia berumur 17 tahun 7 Juli kemarin. Adik pertamaku sekarang berumur 10 tahun, kelas 5 SD dan yang terakhir berumur 8 tahun kelas 3 SD. Kami berempat tinggal hanya bersama seorang kakek yang berumur 72 tahun.
Akan aku mulai kisahku. Ini berawal dari aku seorang gadis kecil yang tak tau apa-apa hingga akhirnya aku bertumbuh besar dan mulai dewasa. Saat itu aku kelas 1 SD dan kakakku kelas 3 SD. Aku tak tahu mengapa nenekku sangat membenci ayahku, dan apa pun alasannya menurutku saat itu sangat tidak masuk akal karena kupikir ayah adalah menantunya. Ya benar, ayahku tidak punya pekerjaan tetap, ia hanya tenaga penjual yang menawarkan kompor, pengantar donat dan dodol ke warung-warung. Hasilnya, ayah memang tak pernah mendapat uang yang banyak.
Ibu adalah ibu rumah tangga seperti biasa, ia tak bekerja dan hanya mengurus kami. Oh iya aku lupa, saat ini ayah dan ibu tak pernah bertemu karena ayah diusir oleh nenek, penyebabnya? Ayah saat itu berutang jutaan rupiah kepada nenek, untuk modal bisnis yang tak jelas. Jujur, ayah saat itu sangat tak karuan, kata ibu ayah tak bisa menafkahi kami, bahkan ia pun tak jelas menggunakan uang untuk apa.
Nenekku menjuluki ayah "pengacara" yang berarti pengguran loba acara. Saat itu, adikku tepatnya anak ibu yang ketiga lahir baru genap dua tahun. Tapi ayah masih bisa mengumandangkan azan di telinga adik kecil itu. Aku salut pada ibuku entah apa pun kesalahan yang ibu perbuat, ia pasti akan memaafkan ayah, ya apapun itu. Sejahat-jahatnya ayahku ia tak separah ayah yang kasar di luar sana, ia hanya belum menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Ayahku juga bukan pengguna ataupun pemabuk, ia masih melaksanakan ibadah dan hafal beberapa surat karena lulusan pasantren, dan ia juga mengajarkan anaknya tentang mengaji, salat bahkan kebaikan-kebaikan lainnya. Ayah dan ibu selalu bertemu seminggu sekali di pos RW sebelah, sambil menggendong adikku dan memegang tanganku.
Saat aku kelas 2, ayah mengajak kami pindah karena keadaan sudah mulai membaik. Akhirnya aku dan keluargaku pindah ke luar kota, tepatnya tinggal bersama ibu ayahku. Bukan kota, lebih tepatnya kampung terpencil, yang di sana aku harus turun ke "lebak" hanya untuk mandi dan mencuci, karena sumur digunakan hanya untuk keadaan mendesak seperti hujan yang tidak memungkinkan kami harus turun ke bawah melewati hutan dan tanah yang licin. Bahkan, di sini tak ada tempat buang air besar, kami harus menumpang pada tetangga agar bisa melegakan perut.
Selama di sini, ayah mulai sedikit membaik dan mulai bertanggung jawab, ia belajar secara otodidak tentang handphone hingga akhirnya ayah juga membuka usaha counter kecil-kecilan disana. Saat aku kelas 2 aku dan kakakku harus berjalan ke sekolah, karena tak punya ongkos untuk naik angkot. Tapi di balik itu semua aku sangat senang dan ikhlas bersekolah, entah kenapa hingga aku bisa mempertahankan peringkat satu. Aku juga pernah mewakili sekolah berlomba calistung saat kelas 2, hingga aku akhirnya berpikir bahwa terlahir miskin bukan penghalang untuk menjadi sukses. Ada satu kejadian yang kuingat, saat kenaikan kelas sekolahku mengadakan acara perpisahan, aku juga ikut dalam kelompok tari kelas dan sudah berlatih selama 3 minggu. Tapi, aku mundur karena saat itu ayah tak sanggup membelikan aku seragam tari.
Karena selama ini kami merasa kesulitan akhirnya kami kembali pindah. Kami tinggal kembali bersama nenek dan kakek dari keluarga ibu. Saat itu, ibu sakit dan nenek merasa khawatir karena ibu adalah anak perempuan terakhir yang ia punya. Ya, nenekku mempunyai 4 orang anak perempuan dan seorang laki-laki yang tinggal bersama istri serta anaknya. Kami lega karena nenek bisa memaafkan kesalahan ayah.
Pada tahun ajaran baru, aku kembali bersekolah di sekolah lamaku, bertemu dengan teman-temanku yang masih mengingatku. Desember 2012 ibu melahirkan adikku yang kedua. Berbeda dengan kami bertiga, adikku diazankan oleh kakek bukan ayah karena saat itu ayah memang tinggal sendiri di kontrakan kota lain untuk bekerja dan tidak punya uang banyak untuk biaya persalinan, hingga akhirnya om ku turun tangan membantu kakaknya yang kesusahan. Sangat senang mempunyai adik kecil lagi. Akan tetapi, kebahagiaan itu hanya sementara, seling beberapa bulan, pada Agustus 2013 ibu meninggal dunia akibat penyakit paru-paru yang ia idap.
Tak ada yang tahu tentang penyakitnya selama ini, bahkan cerita sekali pun tak pernah dan benar, adikku saat itu belum genap setahun dan tentu masih harus mempunyai banyak sekali kasih sayang seorang ibu. Aku ingat betul sebelum ibu pergi ke surga, ia sangat menginginkan pepaya dan agar yang saat itu ayah bisa membelikannya karena murah. Aku juga ingat saat itu aku menangis meminta ibu mengantarku ke sekolah, padahal jelas ibu saat itu bilang ia sakit dan hingga saat ini aku masih merasa berdosa, aku ingat betul kursi yang ia duduki saat ia bilang bahwa dirinya pusing, bahkan wajahnya masih kuingat jelas. Saat itu aku pun masih kelas 3 masih sangat tak tau apa apa dan sangat polos.
Advertisement
Menjaga Ayah
Setelah ibu meninggal, ayah mulai sedikit berkembang, ia mulai merintis karier dari bawah. Setahun setelah aku menginjak kelas 5, ayah mulai ada perubahan, mulai menafkahi dan menjalani usaha konter serta mampu membalikkan modal nya. Bangga? Tentu, ternyata ia tak seburuk yang kukira. Hari-hariku menginjak dewasa membuatku semakin sadar bahwa ayah adalah orang baik, ia mau berubah dan mau berusaha.
Hingga saat ini, aku masih tinggal bersama nenek dan kakek. Saat aku menginjak kelas 8, saat ayah sedang berada pada titik kejayaannya, saat aku mulai sukses dalam berbagai macam lomba, saat adikku mulai bisa membaca, nenek meninggal. Tepatnya pada tahun 2018, ia meninggal karena penyakit gula yang dideritanya.
Rumah ini, sepi sekali karena hanya tersisa 5 orang. Sekarang, ayah semakin sadar, ia bahkan bisa memasangkan WiFi di rumah untuk kelas online. Hebatnya, ia sekarang menjadi orang baik, bahkan setiap ada keluarga yang kesusahan, ia menjadi garda terdepan untuk bisa membantu. Walau terkadang masih selalu salah dimata kakek, ayah selalu mencoba untuk bisa membuktikan bahwa inilah dia yang sekarang.
Perlu diingat, aku sempat merasa insecure berada di keluarga ini, tak lengkap, tak kaya dan banyak kekurangan. Namun, semakin sini aku semakin sadar bahwa ada orang yang masih tak seberuntung aku. Aku sadar dan bahagia berada di keluarga ini. Aku senang bisa berada pada masa kecil yang hebat dan terjauh dari pergaulan bebas walaupun kami bukanlah dari keluarga yang mampu.
Aku senang terlahir dari sosok wanita seperti ibuku dan senang bisa tumbuh menjadi bagian keluargaku. Suatu saat nanti akan kutunjukan bahwa inilah aku. Aku ingin membanggakan orang sekitarku. Tuhan, jangan ambil orang tercintaku saat aku belum sukses, tunggu aku bisa naikkan haji ayah dan kakek, tunggu aku jadi anak shaleh, tunggu aku jadi bagian dari pemuda Indonesia yang dikenal dunia.
Untuk kalian yang sama sepertiku, atau bahkan berada pada titik terendah dalam hidupmu, percayalah akan ada titik terang suatu saat nanti. Jadilah seperti ayahku, yang mau berubah tanpa peduli seberapa gelap masa lalunya.
#ChangeMaker