Fimela.com, Jakarta Oleh: Hariya Amalina
Pernahkah kamu merasa redup saat ada banyak cahaya yang mengelilingimu?
Pernahkah merasa dunia tidak berpihak padamu saat kamu benar-benar membutuhkannya?
Advertisement
Aku rasa setiap manusia pasti pernah atau bahkan sering mengalaminya. Ketika suatu hal tidak bisa kita jangkau akan ada kesedihan dan perasaan tidak nyaman. Ternyata menjadi manusia dewasa tidak semudah itu ya. Dulu aku selalu membayangkan pasti seru jadi dewasa karena bisa melakukan ini itu! Sementara sekarang, ah, apakah sudah saatnya aku tarik perkataanku saja?
BACA JUGA
Umurku sudah memasuki kategori dewasa dan berada di masa akhir kuliah yang diwarnai banyak hal. Kegiatan pengabdian masyarakat, penelitian, dan beberapa kegiatan yang masih menjadi tanggung jawabku. Selama masa itu pula aku merasa bahwa diriku jauh lebih dewasa dalam mengatasi masalah, tidak lagi menjunjung tinggi emosional dan egoisme dalam diri. Namun sesekali cahayaku akan meredup, sama seperti yang aku rasakan saat kegiatan pengabdian itu terjadi.
Kala itu, aku bekerja berkelompok, tiga puluh anak yang dibagi menjadi beberapa tim namun tinggal di pondok yang sama. Pertemuan pertamaku dengan mereka sukses membuat nyaliku menciut, cahaya yang remang semakin redup, dan rasanya aku ingin hilang saja! Aku terus bertanya mengapa mereka terlalu bersinar untukku? Satu per satu keraguan mulai muncul, apakah sebaiknya aku pergi atau tetap tinggal? Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertahan dan menantang diriku keluar dari zona nyaman.
Lima puluh hari aku habiskan bersama tiga puluh orang dengan karakter yang berbeda-beda. Aku sempat berada di level sungkan hanya untuk duduk bersama mereka. Aku merasa kesulitan mengontrol diri dan cenderung banyak diam. Hingga akhirnya aku sadar bahwa ketidaknyaman ini adalah hasil ciptaanku, buah pikiran dari ketakutan dan kekhawatiran.
Sebelum jebakan ilusi itu makin dalam, perlahan ketenangan mulai mengganti keraguan dalam diri. Bagaimana bisa? Ya, seorang teman mengajariku cara bermeditasi. Maka tiap pagi aku selalu duduk menenangkan diri di gazebo pondok saat teman-temanku kebanyakan masih terlelap dalam selimut yang hangat. Pejamkan mata, tarik napas dalam-dalam, embuskan perlahan. Oh iya, aku memilih waktu pagi karena bagiku udara segar mampu memberikan rasa nyaman.
Lima puluh hari usai dan aku kembali pada kehidupan normalku sebagai mahasiswa. Tentu saja, normal secara keseharian bukan berarti aku terlepas dari berbagai macam tantangan. Di depanku semakin banyak tanggung jawab yang harus aku selesaikan dan semua kondisi tersebut memaksaku harus berhubungan baik dengan orang lain. Tapi di sisi lain, semakin lama aku merasa lebih nyaman melakukan sesuatu seorang diri.
Ditambah dengan karakterku yang cenderung tidak sabaran dan cukup sulit memercayai orang lain. Selain itu, aku juga merasa butuh pengakuan dari orang lain atas usaha yang telah kulakukan. Wah, sepertinya jika aku terus menerus bertahan di kondisi tersebut aku akan jadi gila. Ternyata masih ada lagi, aku terlalu sering membandingkan diriku dengan orang lain. Bagaimana? Apakah kalian mulai membenciku sama seperti aku membenci diriku?
Tapi tenang. Semesta masih memberikanku kesempatan untuk sadar! Aku sangat bersyukur bisa dikelilingi manusia baik yang bisa aku ajak diskusi mengenai apa yang aku rasakan. Aku mencoba mencari tahu bagaimana cara berhubungan baik dengan orang lain, menelaah dan merefleksikan lagi apa itu pengakuan, tujuan apa yang ingin aku capai, dan memperbaiki niat. Tentu saja diakui oleh orang lain akan membuat bahagia. Tapi nyatanya saat itu aku melupakan hal penting yang seharusnya aku prioritaskan.
Niat dan tujuan tidak boleh dilupakan, lalu pengakuan dan penerimaan harus sebanding dan hal tersebut berasal dari diri sendiri, tidak bergantung dengan orang lain. Bukankah setiap orang memiliki proses pendewasaannya masing-masing? Latar belakang, prinsip hidup, pemikiran, lingkungan, kemampuan, dan kondisi lainnya.
Advertisement
Berterima Kasih pada Diri Sendiri
Banyak faktor yang berpengaruh dan antara satu dengan lainnya tidak dapat disamakan. Lagipula dunia tidak hanya berpusat pada satu titik tertentu saja. Dia akan terus berputar, bukan? Jujurlah pada diri sendiri. Berbagai macam usaha yang selama ini aku lakukan ditujukan untuk meningkatkan nilai diri agar tidak lagi merasa redup saat aku dihadapkan dengan kondisi baru. Akui semua usaha itu, aku pantas untuk diakui dan diapresiasi oleh diriku sendiri.
Waktu terus berlalu. Saat satu fase terlewati, manusia akan silih berganti untuk datang dan pergi. Hingga akhirnya aku lagi-lagi merasa sendiri. Sosok teman yang biasanya ada akan mulai disibukkan dengan urusan masa depannya. Begitu juga aku. Bagaimana caraku mengatasi ini? Jangan sedih, masih ada teman yang bisa jadi tempatku pulang. Dia yang diam-diam berusaha keras dan menunggu waktu untuk diakui keberadaannya. Dia adalah aku. Diriku sendiri.
Aku adalah orang yang paling tahu tentang diriku, paling tahu apa yang aku butuhkan, dan paling bisa aku percaya. Cobalah dengarkan tentang apa yang aku inginkan, lihatlah seberapa besar usaha dalam mengatasi tiap fase kehidupan, dengarkan lebih dalam tentang perasaan, keluh kesah, kerinduan, sesak, kekecewaan, atau bahkan kebahagiaan. Berceritalah dan tulislah lebih banyak, ada pena atau gadget yang bisa jadi sarana dan teman baik di sepanjang perjalananku. Jangan merasa sendiri lagi, mereka tidak hilang, mereka ada bersama kisahnya di sana.
Kini masa kuliahku telah usai. Aku dianggap kian dewasa dan akan semakin bertambah usianya. Kondisi baru akan selalu datang, momen lama akan dikenang, dan cerita baru akan dimulai. Ternyata yang dulu-dulu itu bisa terjadi karena aku terlalu merendahkan diriku sendiri. Kebiasaan buruk itu muncul karena aku kurang mengenal, enggan untuk mengakui dan menerima, sehingga aura negatif selalu membayangi tiap langkah dan keputusan yang aku ambil. Tapi sekarang aku tidak akan menyerah untuk terus berusaha, terus berjuang, melakukan lebih banyak hal baru untuk diriku.
Tentu saja aku berbeda dengan mereka, hal baru yang mungkin biasa bagi orang lain bukan berarti tidak penting untuk diriku bukan? Mari berdamai dan menghargai perbedaan satu sama lain. Mari kita kejar kebahagiaan tersebut! Selanjutnya apa nih? Mau belajar make up, masak, seni, atau softskill lainnya? Yuk!
Terima kasih untukku karena telah berjuang menjadi lebih baik. Jangan menyerah ya, perjalanan masih panjang dan yakinlah tiap prosesnya akan berbuah manis untuk masa depan. Semangat!
#ChangeMaker