Fimela.com, Jakarta Punya kisah atau kesan tak terlupakan terkait bulan Ramadan? Atau mungkin punya harapan khusus di bulan Ramadan? Bulan Ramadan memang bulan yang istimewa. Masing-masing dari kita pun punya kisah atau pengalaman tak terlupakan yang berkaitan dengan bulan ini. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam My Ramadan Story: Berbagi Kisah di Bulan yang Suci ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Fuatuttaqwiyah El-adiba
Ramadan ini, tahun ke-15 kulalui tanpa ibunda yang sudah berpulang saat Nisfu Syakban 2006, setengah bulan sebelum puasa Ramadan tiba. Jangan tanya bagaimana perasaanku kala itu. Air bening terus mengalir membasahi pipi dan gundukan tanah tempat ibunda dimakamkan. Apalagi ibunda belum sempat merasakan keberhasilan yang kuraih.
Kondisi kami saat itu memang masih minim. Jangankan untuk berbagi, untuk biaya hidup sehari-hari saja masih sangat minim. Namun, ibunda selalu mengajarkanku untuk berbagi dengan kemampuan yang kami miliki.
Pesan Ibunda
“Mbak, kalau sudah bekerja, jangan lupa berbagi. Apalagi kalau Ramadan tiba.” Pesan ibunda begitu terngiang di kepala. Suara lembut beliau masih terdengar dengan jelas. Bahkan mimik wajah dan intonasi masih terekam dengan jelas.
Dulu, untuk berbagi, kesulitan kami adalah materi. Apalagi dengan tanggungan utang ibunda yang tidak sedikit. Alhamdulillah, semua utang ibunda sudah lunas semua. Aku dan kakak patungan untuk melunasi semua utang ibu sebelum tahlilan hari ketujuh. Lega, ketika semua sudah selesai. Kumasuki Ramadan dengan penuh ketenangan.
Berpartisipasi Menyediakan Menu Buka Puasa di Langgar Al-Fatah
Sejak ibunda tiada, segala amal kebaikan yang kulakukan, kuniatkan untuk ibunda. Seperti memberikan menu buka puasa di Langgar Al-Fatah, tempat ibunda melakukan ritual salat dan pengajian. Kegiatan itu rutin kulakukan setiap tahun.
Harapanku, itu menjadi tambahan amal kebaikan ibunda. Selain itu, aku juga ingin melanjutkan silaturahmi dengan warga kampung yang notabene adalah teman-teman ibunda.
Advertisement
Berbagi di Masa Pandemi
Masa pandemi membuat kebiasaan buka puasa di kampungku ditiadakan. Walaupun salat Tarawih tetap dilaksanakan dengan protokoler kesehatan. Memakai masker, cuci tangan dengan sabun, dan jaga jarak.
Ketiadaan menu buka puasa memang menjadi pukulan berat bagi warga kurang mampu di kampungku. Biasanya, sebulan penuh tidak perlu menyiapkan buka puasa, tahun ini harus menyediakan sendiri. Kenangan ikut berbuka puasa di langgar itu masih lekat dalam ingatan.
Kebersamaan yang indah. Semua warga yang muslim kumpul di langgar. Semua setara. Makan dengan menu yang sama. Benar-benar cerminan dari sila kelima Pancasila.
Sejak masuk masa pandemi, aku sudah menyisihkan penghasilanku untuk berbagi. Seperti sebelumnya, kuniatkan atas nama ibunda sekaligus peringatan haul ibunda yang seharusnya kulakukan di bulan Syakban. Namun, kumundurkan di bulan Ramadan. Aku sempat maju mundur melaksanakan ini. Suami berulangkali mengingatkan dan menguatkan niatku. Untuk ibunda, yang kulakukan saat ini belum seberapa.
Awal Mei 2020, niat itu kutunaikan. Aku dibantu adikku dalam momen berbagi ini. Jarak membuat kegiatan ini tidak bisa kulakukan secara langsung. Aku tetap berada di Surabaya, sedangkan adikku dibantu keponakan membagikan paket sembako di Bantul, Yogyakarta. Aku memang belum bisa berbagi ke semua warga. Namun, langkah kecil yang kulakukan semoga bisa meringankan beban warga kampungku.
Usai berbagi sebuah pesan masuk ke ponselku. “Mbak, Mbah Sum menangis terharu. Beliau memelukku erat terkenang ibunda.” Sontak air bening mengalir di kedua mataku. Beliau adalah salah seorang yang mendapatkan barang dari ibunda, seminggu sebelum ibunda wafat. Setiap bertemu dengan beliau, kebaikan ibunda selalu kudengar.
Ibunda memang telah tiada. Namun, kebaikan beliau akan kuteruskan hingga anak cucuku nanti. Aku mengikuti sunah Nabi Muhammad yang selalu berbagi kepada teman-teman istri tercinta, Khadijah ra. setelah beliau wafat. Semoga kebaikan yang kulakukan mendapat rida Allah SWT.
#ChangeMaker