Fimela.com, Jakarta Punya kisah atau kesan tak terlupakan terkait bulan Ramadan? Atau mungkin punya harapan khusus di bulan Ramadan? Bulan Ramadan memang bulan yang istimewa. Masing-masing dari kita pun punya kisah atau pengalaman tak terlupakan yang berkaitan dengan bulan ini. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam My Ramadan Story: Berbagi Kisah di Bulan yang Suci ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Daning Inayaa
Ramadan tahun ini sungguh beda. Bulan suci penuh ampunan yang dinanti-nanti umat Muslim sedunia, tahun ini terasa sulit dijalani terutama bagi keluarga kami. Bagaimana tidak, masa-masa karantina kesehatan dan pembatasan sosial membuat beberapa kegiatan khas Ramadan menjadi terkendala. Katakanlah kegiatan buka bersama dan ngabuburit yang dilarang.
Aku yang hidup di keluarga menengah telah terbiasa dengan aktivitas mencari uang sendiri. Bahkan sedari remaja aku sudah diajari berdagang oleh ibu. Biasanya bulan Ramadan selain menjadi ladang pahala juga jadi ladang penghasilan. Biasanya selama satu bulan aku dan suami berjualan aneka takjil dan makanan untuk buka puasa. Bulan ini, kegiatan itu tidak menghasilkan keuntungan yang signifikan.
Mencoba Peruntungan
Hari pertama puasa, aku mencoba berjualan. Jam 2 siang kami sudah bersepeda motor menuju stadion kota, tempat yang biasanya ramai dengan harapan akan membawa pulang penghasilan yang cukup untuk makan besok. Perlu diketahui, kotaku belum menerapkan PSBB, masih membolehkan beberapa pedagang makanan berjualan asal tidak dimakan di tempat alias harus dibungkus. Dengan tetap berkeyakinan bahwa rezeki sudah ada takarannya asal selalu ikhtiar.
Dua jam berlalu. Di tengah terik matahari yang seakan ingin menyurutkan iman, aku tak gentar. Jam 4 sore adalah jam paling ideal. Biasanya jam segitu sudah banyak orang lalu lalang untuk membeli makanan atau sekadar lihat-lihat. Namun sore itu berbeda, hingga pukul setengah lima daganganku hanya laku tiga. Namun tak apa, optimis selalu ada dalam jiwa seorang pedagang.
Advertisement
Terus Bersyukur
Pukul 18.00Â aku pulang karena sudah lewat waktu berbuka dan harus salat maghrib. Daganganku bagaimana? Jangan ditanya, hari itu cuma laku lima. Uang 40 ribu kukantongi. Uang hasil penjualan yang untuk setengah modal pun tak sampai. Tetap harus disyukuri seberapapun besar kecilnya.
Besoknya aku kembali berjualan. Hasilnya tak beda jauh dari hari pertama. Sisa makanan yang masih ada aku bagikan ke sesama penjual dan beberapa abang ojol yang sedang menunggu orderan.
"Terima kasih banyak, Mbak. Sepi ya, Mbak? " tanya abang ojol tersebut.
"Iya, pak. Tapi alhamdulillah masih laku beberapa," balasku
"Sama, Mbak. Saya juga dari tadi cuma dapat 3 kali orderan. Itu pun makanan, ndak ada yang bike. Tahu sendiri kalau pesanan makanan itu fee-nya dikit. Enakan orderan penumpang."
Aku pun hanya tersenyum mendengar curhatan abang tersebut. Dalam hati aku bersyukur suamiku punya pekerjaan tetap meski penghasilannya di bawah UMR namun cukuplah untuk sebulan. Sedangkan aku hanya seorang guru sukwan swasta yang dibayar hanya kalau ngajar. Sudah 2 bulan sekolah diliburkan sehingga gaji bulanan pun tak ada.
Tetap Ikhtiar
Sekarang aku coba memasarkan daganganku via online dengan sistem preorder. Jadi, aku hanya membuatkan sesuai pesanan untuk meminimalisir makanan tidak laku. Alhamdulillah, hasilnya lebih baik daripada jual di tempat. Sistem jual takjil online juga menguntungkan abang-abang ojol karena kadang aku menggunakan jasa mereka untuk mengantar makanan. Selain berjualan takjil, aku juga menjual masker kain selagi masih ada permintaan.
Ramadan tahun ini memang tak sama. Masa pandemi membuat keterbatasan bagi semua orang terutama bagi pedagang jalanan. Namun aku tak pernah kenal kata menyerah. Berjualan sembari beribadah. Berusaha adalah ibadah. Puasa dan pandemi bukan alasan untuk menyurutkan tekad. Prinsipku, sedikit lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Advertisement
Cek Video di Bawah Ini
#ChangeMaker