Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: BC
Dulu aku pikir sebuah hubungan akan langgeng jika pasangan bisa memberikan dukungan setiap hari dan memberikan cinta setiap saat. Segala rutinitas harus yang baik dan positif bahkan tidak jarang aku mendewakan ‘kesempurnaan hidup’ lewat waktu kebersamaan. Aku pikir dengan seringnya bersama dan mengetahui apa saja rutinitas pasangan akan membuat hubungan harmonis dan cinta akan hadir di tengah-tengah dinamika hidup. Tetapi karena aku terlalu menuntut pasangan melakukan seperti yang aku inginkan, pada akhirnya aku menyesal dan justru hatiku terluka karena kehilangan calon buah hati. Aku keguguran karena depresi!
Sedih tentu saja, aku merasa pasangan aku kurang peduli dan merasa tidak seberutung orang-orang terdekat yang bisa foto selfie mesra dengan pasangan. Yang bisa memamerkan kebahagiaan jalan-jalan dan sedikit saja perlakuan romantis ketika jalan di luar. Aku tidak mendapat perlakuan manis dari pasangan, sehingga setiap hari aku mengomel seperti motivator ulung atau konselor pernikahan.
Menurut aku dalam menjalani hubungan serius harus sering komunikasi antar pasangan, ada family time, quality time dan me time! Tiap minggu aku merengek ingin seperti teman lainnya yang saat kulihat story WA atau Instagram bisa hangout dengan kekasih. Tetapi aku tidak! Ia tidak mau menuruti keinginanku. Karena menurutnya tidak semua yang kita inginkan harus dipenuhi saat itu juga.
Aku merasa tidak diperhatikan dan dipedulikan, suami berwajah cemberut ketika melihatku. Padahal aku sudah capek mengurus buah hati ditambah hamil sundulan. Kupikir ia akan bahagia mendengarkan kabar sebuah kado dari langit yang tidak terduga. Ternyata ia biasa saja responsnya. Aku merasa dia tidak sayang lagi kepadaku. Aku merasa kurang kasih sayang. Tidak ada yang peduli di sana. Aku mau pulang!
Advertisement
Merasa Kurang Diperhatikan
Pikiranku hanya merasa selalu kurang perhatian dan tidak bahagia. Padahal kata sahabat aku—katanya sih sahabat. Tapi dia bisa melontarkan kata-kata pedas kepadaku. Menghakimi sebelum tahu segalanya tentang aku. Ia menghakimi dari huruf A sampai Z. Tetapi saat aku beritahu suami, ia menyarankan untuk tidak membalas, aku diminta untuk mengatakan maaf. Agar dia tidak terus-terusan mengata-ngatai aku yang dia sendiri tidak tahu keadaanku. Aku hamil lagi.
Hormon kandungan membuatku makin frustrasi, tidak bisa tidur tepat waktu. Ngidam makanan aneh-aneh bahkan membesar-besarkan masalah. Padahal masalah itu sangat tidak penting menurut suami. Aku makin bingung dengan diri sendiri. Ada apa sebenarnya dengan diriku? Seakan tidak bermanfaat hidup aku. Terlebih setiap hari kami semakin sering bertengkar. Hanya soal kejujuran dan tepat waktu. Aku selalu menghargai arti kejujuran dan soal waktu tidak bisa main-main. Sementara bagi suamiku yang penting pekerjaan beres dengan hasil memuaskan tanpa diperbudak waktu.
Aku risih mendengarnya, aku terus mengancam akan pulang kampung. Karena aku sudah merasa tak dihargai dan tidak ada waktu bersama dengan candaan. Melainkan hanya bertengkar dan akhirnya wanita yang menangis. Ya hampir tiap hari aku menangis untuk membela diriku, yang selama ini hanya diinjak-injak banyak orang dan gagal mewujudkan impian saat kuliah pun harus kandas.
Entah suami mulai bosan dengan omelan aku tiap saat, dan teror telepon dan chat tiap waktu. Ia pulang malam hampir setiap hari, setiap kutanya katanya sibuk. Tetapi sepandai-pandainya tupai meloncat pasti jatuh ke lubang yang sama. Kebohongan terkuak. Ia sama sekali tidak mengerjakan tugas. Aku kecewa! Mengurus bayi seharian tanpa bantuan siapa pun dan tengah hamil muda. Mengurus rumah tangga sendiri sementara dia?
Kehilangan Calon Bayi
Kami bertengkar parah sampai akhirnya suami jatuh sakit. Aku menyesal. Tetap aku yang mengurus seorang diri. Dua minggu ia harus berbaring saja. Mungkin ini yang dimaksud dengan jiwa yang sakit fisik pun ikut menderita. Ia mungkin stres dengan ulahku. Tapi aku ‘kan menuntut hak aku? Salahkah?
Tidak ada jawaban. Sampai Allah memberikan jawaban aku flek dan karena harus menaati suami aku ikut ke luar kota. Aku makin bleeding dan esoknya aku kehilangan bakal bayi.
Aku menangis tapi tersenyum, barangkali ini ulah aku yang kurang perhatian kepadanya. Kurang perhatian kepada diriku sendiri. Karena wanita hamil itu butuh bahagia, dan aku malah banyak bersedih hingga kurang memperhatikan diri dan merawat janin yang ada di dalam tubuh. Terlalu fokus pada bayi besar dan suami!
Aku kehilangan, tapi aku bersyukur barangkali jika ia lahir aku malah menelantarkannya. Barangkali saat ia lahir kasih sayang aku timpang pada kakak atau adiknya saja. Barangkali ini cara Allah bahagiakan diriku, dengan mengambil kembali amanah yang diturunkan. Titipan-Nya sudah waktunya diambil.
Aku benar-benar memaksa untuk pulang. Karena aku ingin menenangkan diri dan fokus merawat bayi. Meskipun di kampung halaman hanya tinggal dengan nenek dan paman yang tidak banyak membantu merawat bayi. Setidaknya aku bisa dapat petuah dari Nenek yang sudah makan "asam garam".
Advertisement
Mencintai Diri
Kami menjalani Long Distance Marriage untuk sesaat. Aku yakin dengan jarak ini suami bisa fokus menyelesaikan tugas dan aku bisa makin percaya bahwa aku mampu membahagiakan diri.
Tidak berhenti di situ, perjuangan LDM tidak semudah orang bicara. Aku rindu berat, aku makin tidak bahagia. Aku meyakini ini ujian lagi. Berat memang di awal, tetapi ketika aku coba merendahkan ego, menahan diri untuk ngomel dan menuntut banyak hal. Aku menemukan ketenangan. Bahkan ketika dini hari aku terjaga dan berpikir, selama ini aku hanya sibuk urusan dunia. Aku lupa bahwa aku punya Allah yang bisa menenangkan hati. Aku terlalu pongah menjadi insan yang naif. Harga diriku yang diinjak oleh sahabatku ternyata teguran dari-Nya. Kehilangan janin juga ujian. Agar aku bisa lebih sabar lagi. Sabar bukan hanya pada lisan tapi pada perbuatan.
Hidup butuh keseimbangan kita tidak selamanya akan dicintai pasti ada yang tidak suka. Dari hal itulah aku belajar mencintai diriku sendiri daripada menuntut banyak hal pada pasangan untuk bahagia. Padahal bukan bahagia yang didapat tetapi derita.
Aku bersyukur dengan ketidakbersamaan saat ini, agar kelak lebih menghargai kebersamaan. Aku pun mulai berhenti menuntut dihubungi terus. Lewat jarang komunikasi sebenarnya melatih komitmen untuk setia. Lewat hidup sederhana menjadikan diri tampil apa adanya. Lewat sabar dan ikhlas meluaskan hati untuk lebih bahagia dan berpikiran positif. Ketika semuanya dikolaborasikan aku temukan makna hidup mencintai diriku sendiri sudah lama sibuk mencintai gaya hidup orang lain dari postingan medsosnya.
Karena ketika aku mulai mencintai diri, tentu bisa menularkan vibrasi cinta pada sekitar termasuk buah hatiku. Agar kelak ia tumbuh bahagia aku harus selalu memberikan cinta.
Cintai dirimu sebelum mencintai orang lain.
#ChangeMaker