Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Ana Hidayah
Aku sudah mengalami banyak hal hingga aku berada di titik ini. Di titik di mana aku merasa bahwa memaafkan adalah jalan untuk menyelesaikan semuanya. Dulu saat aku baru bangkrut dan merasa ditipu oleh suamiku sendiri, aku ingin sekali memenjarakannya. Sudah berapa banyak kesalahan yang dia lakukan dan itu sangat menyakitkan buatku. Namun saat aku cerita kepada siapa pun, semua pasti menyarankanku untuk memaafkannya.
“Ya sudah, maafkan, mungkin itu yang terbaik,” katanya.
Tidak adakah yang mengerti perasaanku? Hati ini tuh sakit! Dia banyak sekali melakukan kesalahan. Apa mata semua orang sudah tertutup? Dia tidak menafkahiku, dia menggelapkan uangku, bahkan dia selingkuh! See? Apa lagi yang bisa membuktikan dia bersalah? Aku ingin dia dihukum. Aku ingin dia merasa terbuang seperti aku terbuang dari keluargaku. Tentu saja keluargaku marah, karena uang yang dia gelapkan itu jumlahnya tidak sedikit. Tapi semua perbuatannya menjadi kesalahanku di mata keluargaku. Karena aku yang dari awal ngotot mempercayainya, padahal keluargaku sudah memperingatkanku kalau suamiku itu orang seperti apa.
Aku merasa sudah terlalu banyak berkorban demi cinta. Tapi kenapa akhirnya dia malah berkhianat? Bahkan menempatkanku di posisi yang sulit. Aku tidak bisa memenjarakannya dan menghukumnya atas perbuatan bejatnya. Karena aku tidak punya bukti yang kuat yang membuat dia berada di posisi bersalah. Tidak ada bukti dia menggelapkan uang itu, karena aku yang menyerahkannya secara suka rela. Kalau aku pikir-pikir lagi, licik sekali dia itu.
Namun belakangan aku sadari, sepertinya bukan cinta yang membuatku berkorban begitu banyaknya untuk lelaki bejat itu. Melainkan ego. Ya, aku terlalu ingin membuktikan kepada semua orang kalau suamiku itu orang hebat. Dia pintar, dia kharismatik. Dia mampu memberiku segalanya, asalkan diberi kesempatan untuk membuktikan. Akhirnya kulakukan segalanya, hanya untuk membuktikan dia bisa. Namun aku lupa, kalau aku sendiri juga punya kebutuhan untuk mengembangkan diri.
Aku butuh kesempatan untuk berkarya dan berkarier. Tapi semua yang aku butuhkan, aku korbankan untuk mengutamakan dia, demi menunjukkan kepada semua orang kalau dia adalah suamiku yang hebat. Sayangnya, ternyata dia memang tidak sehebat itu. Bahkan dia terlalu pengecut untuk melangkah maju. Setiap ada masalah, dia selalu lari. Bahkan di saat hubungan kami berada di ujung tanduk, dia malah lari dengan perempuan lain.
Advertisement
Awalnya Sungguh Sulit
Sulit untuk aku bisa menerima semuanya. Hari-hari yang aku jalani sangatlah tidak mudah. Setiap saat aku selalu teringat apa yang sudah dia lakukan kepadaku. Healing terasa sangat berat buatku, karena aku masih tidak menerima kenyataan ini. Bagaimana aku bisa menerima dan memaafkannya, kalau perutku saja masih sering kelaparan? Sementara dia menikmati hasil jerih payah yang dulu kami bangun bersama, dengan perempuan lain?
Belakangan saat aku belajar untuk healing, aku belajar tentang self love. Aku baru sadar kalau ternyata pengorbanan yang aku lakukan itu bukanlah tindakan yang tepat. Bahkan itu adalah kesalahan. Karena sejatinya saat kita berkorban, artinya kita memberi dalam kondisi kekurangan. Andai kita memberi dalam kondisi kita sendiri cukup, dalam artian apa yang kita butuhkan sudah terpenuhi, maka pengorbanan itu tentulah akan terasa indah. Seperti indahnya saat kita berbagi untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Gampangnya gini deh, ada orang yang pincang, dia memakai tongkat untuk berjalan. Lalu dia melihat orang kecelakaan, orang itu tidak bisa berjalan. Karena kasihan, orang pincang itu memberikan tongkatnya kepada orang yang kecelakaan itu agar dia bisa jalan. Tapi justru yang terjadi, malah orang pincang itu yang sekarang tidak bisa jalan. Seperti itu juga kesalahan yang sudah aku lakukan.
Kenapa kita berkorban begitu banyak untuk orang yang kita cintai? Karena pada dasarnya kita sebenarnya belum mencintai diri kita sendiri. Kalau kita memberikan cinta yang banyak kepada diri kita sendiri sebelum memberikannya kepada orang lain, tentu kita akan tahu porsi untuk berkorban itu seperti apa. Bukan berarti kita egois, hanya memikirkan diri sendiri, namun kita tahu porsinya. Sehingga kita tidak mudah ditipu. Self love is not selfish. Itu yang aku pelajari.
Akhirnya aku mulai belajar untuk mencintai diri sendiri. Aku mulai menyadari, banyak sekali hak-hak diri ini yang aku hiraukan karena lebh mementingkan orang lain. Demi anak-anak, demi suami, demi orang tua, tapi aku sendiri tidak pernah memprioritaskan kepentinganku sendiri. Sampai aku sakit-sakitan, dan aku jadi sulit mengembangkan karier karena terlalu memprioritaskan orang lain. Imbasnya aku rasakan saat aku baru bercerai dengan mantan suamiku. Aku tidak bekerja, tidak punya penghasilan, dan aku sulit mendapatkan pekerjaan karena aku punya dua balita yang harus aku urus sendiri.
Tidak Mendendam
Saat aku menyadari bahwa betapa buruknya aku dalam mencintai diri sendiri, aku sadar, kalau memendam benci dan dendam kepada mantan suamiku akan merusak diriku. Memang benar kalau pada dasarnya memaafkan itu untuk kebaikan kita sendiri, bukan orang lain. Karena saat kita mampu memaafkan, maka kita akan memancarkan energi positif, dan membuka peluang-peluang kesuksesan yang lain.
Saat aku mulai mengikhlaskan semuanya, saat itulah secercah cahaya mulai muncul. Aku mulai mengepakkan sayap mengembangkan karier sebagai penulis. Bukan hal yang mudah juga sebenarnya menumbuhkan rasa maaf untuk dia. Apa lagi ibuku sampai meninggal gara-gara terus memikirkan masalah ini. Seharusnya aku mendendam dan memberi dia pelajaran. Tapi apakah semua itu bisa memberikan dampak baik buatku? Apakah memelihara dendam akan membuatku merasa lebih baik? Justru aku akan merasa terus tersakiti setiap saat.
Bagaimana dengan anak-anakku kalau aku terus merasa sakit seperti ini? Hanya buang-buang energi saja kalau aku memelihara perasaan itu. Karena wanita pintar tidak akan buang-buang energi untuk membalas dendam, dia membiarkan semesta yang melakukan perbuatan kotor itu. Karena itu juga aku memaafkannya. Dia sudah menerima karmanya sendiri. Kasihan kalau terus kita dendamin, takutnya malah karmanya malah berbalik ke kita.
Karena itu, untuk teman-teman yang sedang merasa tersakiti, merasa terzalimi, memaafkan adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan semuanya. Memaafkan itu untuk kebaikan kita sendiri. Dia yang sudah berbuat jahat kepada kita itu, sebenarnya tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari maaf yang kita berikan. Namun kita, kita akan mendapatkan banyak manfaat dari itu. Terutama perasaan damai dan terberkati.
Kita justru seharusnya kasihan sama orang yang sudah berbuat jahat dan menzalimi kita itu. Karena sebenarnya mereka lah yang lebih banyak luka batin ketimbang kita. Mereka tidak pernah merasakan kasih sayang, sehingga mereka tidak tahu bagaimana menunjukkan kasih sayang kepada orang lain. Mereka sebenarnya membutuhkan bantuan, kasihan mereka tidak sadar. Karena itu, maafkanlah. Bukan demi orang lain, tapi demi diri kita sendiri.
Advertisement
Simak Video di Bawah Ini
#ChangeMaker