Fimela.com, Jakarta Tak pernah ada yang bisa baik-baik saja saat terjebak dalam hubungan yang beracun (toxic relationship). Baik dalam hubungan keluarga, kerja, pertemanan, hingga hubungan cinta, terjebak dengan seseorang yang memberi kita luka jelas membuat kita menderita. Namun, selalu ada cara dan celah untuk bisa lepas dari hubungan yang beracun tersebut. Selalu ada pengalaman yang bisa diambil hikmahnya dari hal tersebut. Simak kisah Sahabat Fimela berikut yang diikutsertakan dalam Lomba Let Go of Toxic Lover ini untuk kembali menyadarkan kita bahwa harapan yang lebih baik itu selalu ada.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Winona Putri Abdi
Ada begitu banyak manusia di dunia ini. Itu berarti ada banyak cerita di dunia ini. Kali ini, aku akan membagikan ceritaku.
Sebenarnya aku dan keluargaku sudah tidak ingin membahas kisah ini. Namun, aku tetap ingin membagikannya kepada kalian semua sebagai pelajaran untuk kita semua. Dahulu aku berada dalam toxic-abuse-narcisistic-relationship. Wow, panjang sekali ya. Mungkin toxic-abuse-relationship sudah cukup familier di Indonesia, namun sejauh ini tak pernah aku menemukan artikel dalam bahasa Indonesia yang secara detail membahasas Narcisistic Personality Disorder (NPD).
Satu-satunya sumber yang aku dapatkan mengenai NPD ialah yang ditulis oleh Kristen Milstead. Kristen adalah seorang penulis, peneliti, dan pengacara yang secara khusus berkonsentrasi pada isu abuse-narcisistic-relationship. Dia dengan bersemangat memberdayakan siapa pun yang telah atau sedang mengalapi kekerasan fisik dan emosional yang dilakukan oleh pasangan mereka yang "narsistik". Di masa lalu, Kristen juga seorang penyintas sama sepertiku. Aku dan Kristen, kami, punya impian yang sama, meningkatkan kesadaran akan bahaya "Gangguan Kepribadian Narsistik".
Kisah nyataku ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengucilkan mereka yang menderia NPD atau bahkan mengajak kalian semua menjauhi "penderita" NPD.
Â
Â
Advertisement
NPD
NPD dapat disembuhkan asalkan "penderitanya" sadar bahwa ada yang salah dengan dirinya dan bersedia untuk berobat ke tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater. Aku minta maaf karena aku tidak bisa menceritakan kisahku dengan lengkap. Selain karena keterbatasan jumlah karakter dalam artikel, juga karena aku mengalami PTSD (Post-Traumatic Stres Disorder).
Mencari arti kata "narsistik" dalam bahasa Indonesia, yang dapat kita temukan hanyalah perilaku orang yang sangat mencintai dirinya sendiri dan salah satu tandanya adalah suka selfie. Padahal bukan "narsistik" itu yang dimaksud. Sekali lagi, narsisitik yang aku maksud adalah ganguan kepribadian.
"Penderita" narsistik adalah orang yang manipulatif. Kalian akrab dengan istilah playing victim? Seorang narsistik melakukannya sepanjang waktu. Dalam kisahku selama 1,5 tahun kami pacaran, sudah dua kali bibirku pecah dipukuli sama dia. Salah satu alasannya adalah karena aku tidak terjaga sampai tengah malam untuk mengucapkan, "Happy Anniversary, Sayang." Itu sangat mengerikan. Aku hanya mengatakan bahwa bibirku terkena daun pintu ketika orang tuaku mempertanyakan kenapa bibirku jontor. Alasan kedua karena aku dituduh selingkuh dan tuduhan itu tidak terbukti.
Ciri-ciri "sasaran empuk" seorang narsistik adalah orang yang people pleasant. Semenjak putus darinya, aku menemukan keberanianku untuk berkata tidak. Aku berterima kasih pada Tuhan, aku telah belajar begitu banyak dalam hidupku. Memiliki karakter people pleasant tidaklah cukup. Orang tersebut harus kelihatan "wah" gitu. Karena seorang narsisitik memperlakukan pasangannya seperti aksesoris, iya, dia mau menjalin hubungan sama kamu agar dia tampak makin keren.
Bukan bermaksud untuk sombong, tidak sedikit orang-orang di sekitarku bilang parasku menarik. Aku juga tidak bodoh, setelah putus dari mantan pacarku yang amit-amit itu aku menjadi mahasiswa berprestasi dan menjadi wisudawan terbaik. Semasa bersama dengannya dahulu, aku termasuk mahasiswi yang aktif di kelas dan dikenal "pintar".
Meskipun aku kelihatan "wah" gitu, seorang narsistik punya alasan lain memilihku menjadi pasangannya, yaitu aku mudah dikendalikan. Meminjam perumpamaan yang dipakai Kristen Milstead dalam artikelnya yang berjudul You Have No Right to Victim-Blame Me, seorang narsistik mengibaratkan dirinya sendiri sebagai matahari yang bersinar terang, pasangannya, haruslah planet yang berputar senantiasa selalu berada di sampingnya.
Mungkin kalian sampai di sini terbersit pertanyaan, "Aje gile mapres sama wisudawan terbaik bisa pacaran sama toxic lover? How it could be?"
Mengalami Kekerasan
Aku mengakui saat itu aku tak cukup pintar dan waspada untuk menyadari bahwa pasanganku toxic. Masa-masa aku kuliah dulu (kami pacaran sejak MOS btw), zaman-zamannya quote-quote Path yang tanpa kusadari ajarannya meromantisasi kekerasan. Jadi, yang aku tahu waktu itu adalah, aku dipukuli sampai bonyok karena pacarku sayang sama aku, aku dicaci-maki diperlakukan di depan umum karena aku sedag "dilindungi". Hasilnya aku di kampus nggak punya teman.
Aku diisolasi sama si narsisitik ini dari teman-temanku bahkan dari keluargaku sendiri. So, please jika kalian menyadari ada teman atau anggota keluarga kalian yang menjauhi kalian semenjak dia punya pacar baru dan ke mana-mana sama pacarnya mulu, kalian harus tolong dia. Dulu, aku mendapat bantuan yang amat sangat luar biasa.
Pihak kampus dari rektor sampai teman-teman kampus bersatu padu membantuku untuk terlepas dari mantan pacarku. Sampai pihak kampus mengadakan rapat luar biasa untuk mempertahanku agar tidak keluar dari kampus karena keluargaku memilih agar aku keluar saja dari kampus untuk cut hubungan dan tidak kontak sama sekali dengan mantan pacarku itu.
Aku memakai sudut pandang orang ketiga, karena selain melatih kemampuanku bercerita dari sudut pandang orang ketiga serba tahu, juga melindungi diri sendiri kalau-kalau ceritaku dibaca orang lain. Perlu waktu untuk bisa terbuka sama orang lain kalau aku penyintas.
Dengan aku mengakui apa yang terjadi di masa lalu, aku bisa sembuh dari traumaku di masa lalu. Semoga, siapa pun kamu, aku harap dengan bercerita, minimal bebanmu berkurang. Selamat terlahir kembali! Kalian bisa mampir ke akun Instagramku (@winonabdi). Kalian bisa baca sorotan "Suicide" dan "Terapi" yang banyak banget jumlahnya. Aku bagikan kisahku beserta self-therapy yang aku lakukan.
Sembuh dari trauma memang tidak mudah. Apalagi jika ternyata dirimu adalah korban kekerasan seksual. Terjebak dalam hubungan asmra yang tak sehat selama hampir 2 tahun. Rasanya itu lebih dari sekedar diperbudak oleh rasa cinta. Sangat bodoh memang. Tapi sebagi perempuan, kadang tak banyak yang bisa kita lakukan. Terjebak dalam ancaman sehingga hari-hari dipenuhi ketakutan. Melawan dengan kekuatan fisik pun pastinya kalah jauh. Hal itu membuatmu seperti kerbau dicucuk hidung ‘terpaksa’ mau menuruti semua kemauannya.
Seorang perempuan yang telah mengalami kekerasan seksual biasanya terlebih dahulu telah mengalami kekerasan verbal dan juga fisik. Sehingga, tak hanya luka fisik yang mereka terima, tapi juga luka hati yang bisa jadi sangat dalam.
Advertisement
Berjuang untuk Pulih
Korban kekerasan seksual bisa terganggu pendidikannya, kariernya dan kehidupannya. Dan bangkit dari trauma atas apa yang mereka alami sungguh tidak mudah. Ketika korban kejahatan katakanlah pencurian, penipuan dan lain-lain bisa saling berbagi cerita agar hal yang sama tak terjadi lagi pada mereka, hal yang berbeda justru dialami korban kekerasan, baik kekerasan fisik maupun seksual. Ini karena identitas korban kejahatan seperti ini dirahasiakan. Sehingga mereka kesulitan menemukan cara berbagi dengan sesama korban lain agar mereka bisa bertahan bahkan bangkit dari trauma yang mereka alami.
Saya mengenal betul seorang gadis yang menjadi korban kekerasan seksual. Saat itu ia adalah mahasiswa semester 3 di sebuah perguruan tinggi swasta. Tentu di sini saya tak akan membongkar identitasnya, tetapi saya akan beberkan bagaimana cara dia bertahan hidup dan bangkit dari trauma. Karena semangatnya dan caranya bangkit dari trauma layak untuk dibagikan kepada kalian semua.
Seperti yang disebutkan di atas, menjalin hubungan selama 1,5 tahun dengan seorang pria yang ternyata bukan pria baik-baik kemudian menjadi korban kekerasan verbal, fisik dan juga seksual! Masalah seperti itu tentulah pelik, bahkan ia sampai tiga hari tak ikut Ujian Akhir Semester selama tiga hari dan harus menyusul di hari lain.
Dia mengatakan, selain mendapat dukungan dan pembelaan dari keluarga, pihak-pihak kampus mulai dari dosen hingga pihak rektorat membuat dia semangat. Dia seorang gadis yang cerdas. Tapi ternyata fakta di lapangan menunjukkan orang yang cerdas secara akademik belum tentu cerdas hidup dalam hal ini memilih pasangan. Tak disangka, selain menjadi pelaku kekerasan si pria ternyata juga seorang pelaku penipuan, pencurian dan penggelapan. Kini pria tersebut tak lagi kuliah di kampus kami. Kabarnya ia telah diusir dari rumah karena mencuri uang ibunya senilai Rp13 juta.
Kembali ke cerita si perempuan korban tadi, dia memang trauma. Bahkan dia bilang dia awal masa penyembuhan, ia sering bermimpi buruk. Dan menjadi semakin menutup diri dengan lingkungan. Dia dan keluarganya pun akhirnya memilih penyembuhan trauma dengan pendekatan religius. Mengundang guru ngaji secara privat ke rumah untuk memperdalam ilmu tajwid pun dipilih.
Ia berkata, ilmu membaca al-qur’an secara tak langsung mengajarkannya filosofi untuk yakin pada kemampuan diri, jangan ragu-ragu, dan pemberani ketika melantunkan ayat suci al-qur’an. Di pertemuan petama dia mengaku suaranya begitu lirih, patah-patah, dan terkesan ragu. Namun guru ngajinya yang ternyata hanya lulusan sebuah SMP di Purwokerto selalu menanamkan padanya, yakinlah! Yakin pada kemampuan diri sendiri. Selama belajar, jangan takut untuk salah, karena kesalahan dalam proses belajar adalah wajar. Jangan malu membaca al-qur’an dengan keras karena takut salah dan masih patah-patah membacanya.
Selama tiga bulan dia menjalani terapi tersebut. Saat itu ia mengganti nomor ponselnya dan ketakutan setiap ada nomar tak dikenal menghubunginya. Dia juga mengalami xenophobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain atau yang dianggap asing). Ia selalu ketakutan setiap mendengar suara teriakan lelaki.
Biasanya setiap mendengar suara teriakan lelaki, (padahal waktu itu kami sedang di mall dan tak pasti siapa pemilik suara itu), seketika itu pula wajahnya pias, pucat pasi. Seketika tangannya dingin dan ia merasakan jantungnya berdebar dengan cepat. Di saat seperti itu, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah menggenggam tangannya dengan erat, memeluknya, memberikan ia isyarat bahwa untuk sembuh dari trauma ia tak perlu merasa sendiri, ada orang-orang terbaik yang selalu bersamanya. Dan selalu mendukungnya.
Selain memperdalam ilmu agama, ia juga memperdalam ilmu akademik. Bak kerasukan roh peserta Olimpiade Sains Nasional, ia belajar dengan semakin giat. Sering mengajak temannya menghabisakan waktu di perpustakaan, menambah relasi dan mempererat pertemanan dengan siapa saja. Tak hanya teman tapi juga dosen, petugas perpustakaan, staf, satpam, penjaga kantin, semuanya. Ia bilang berbincang dengan orang-orang baru memberinya informasi baru, membuatnya teralihkan dari trauma. Membuatnya banyak tertawa dan merasakan kebahagiaan.
Dia sungguh terharu, keluarga, pihak kampus mulai dari rektor, dosen, staf, satpam, semua mendukungnya. Padahal waktu itu, saat ia 3 hari tak ikut UAS orang tuanya nyaris mengeluarkan anaknya dari kampus! Ketika itu ia telah bersiap berangkat ke kampus untuk mengikuti UAS hari pertama namun orangtuanya melarang dan mengatakan bahwa ia tak usah kuliah lagi.
Â
Harapan Baru
Di hari itu memang ia pergi kampus bersama orang tuanya. Namun ia tak diperbolehkan turun dari mobil ketika orang tuanya mengurus surat pengunduran diri anaknya dari kampus. Dia menangis. Dia menangis di dalam mobil. Dia sedih karena di saat teman-temannya yang lain mengerjakan soal UAS, dia sendirian di dalam mobil tanpa bisa melakukan apa-apa dan tanpa kepastian masa depan.
Dia bilang hampir setiap hari menangis. Dia bisa melihat buku-buku kuliahnya di rak buku. Ia merasa, sedih kalau ia berhenti kuliah, apalah arti buku-buku yang telah ia baca, apalah arti perjuangannya dalam mengejar meraih cita-citanya selama ini. Dia bisa menangis sampai larut malam sambil menonton televisi dengan tatapan kosong di kamarnya sambil berbarig di ranjang.
Pada hari ketiga UAS, tiga orang dosen bertamu ke rumahnya, meyakinkan keluarganya agar ia bisa kembali kuliah dan menempuh ujian susualan untuk mata kuliah yang ia lewatkan. Pertemuan itu berakhir dengan air mata bahagia, akhirnya setelah berbicara dengan kedua orang tuanya, gadis itupun langsung bisa mengikuti UAS keesokan paginya. Ia senang bukan kepalang.
Kalau dulu ia menangis sedih setiap melihat buku kuliahnya yang ketika ia menyentuhnya seujung jari saja itu semakin melukai perasaannya, malam itu ia menangis bahagia, ia tak bisa belajar karena saking gembiranya bisa kuliah lagi, bisa melanjutkan mimpi-mimpi. Apalagi setelah dia tahu dia mendapatkan dukungan penuh dari kawan-kawannya, ternyata teman-teman sekelasnyalah yang melaporkan menghilangnya ia dari kampus sampai-sampai 3 hari tak ikut UAS. Ditambah laporan dari pihak rektorat akan permohonan orang tuanya untuk keluar dari kampus membuat pihak fakultas saat itu dibuat heboh dengan kasus yang dia alami.
Saat itu, dulu, hingga sekarang, kami semua mendukungnya. Ada teman yang bertugas mengawalnya dari keluar rumah waktu berangkat ke kampus, selama di perjalanan menuju dan pulang dari kampus, dan bahkan ada yang mengawalnya selama di kampus. Dosen-dosen selalu mengawasinya, tak hanya dosen fakultas tempat ia menjadi mahasiswa melainkan sampai dosen fakultas lain. Tentunya mengawasi di sini dalam artian positif. Memberikan perlindungan dan jaminan keamanan selama ia bersama mereka.
Dan kini, prestasi terakhirnya ialah ia mewakili kampus kami dalam pemilihan mahasiswa berprestasi di tingkat Kopertis. Memang dia belum juara dan mewakili di tingkat nasional, tapi melihat bagaimana dia bertahan hidup, bangkit dari trauma. Hanya dalam waktu 3 bulan saja dia menjadi sosok yang sungguh luar biasa. Orang biasa mungkin tak akan menyangka apa yang sudah dia lewati sejauh ini untuk bisa menjadi sosok yang kita lihat sekarang. Benar kata pepatah memang, seorang perempuan yang kuat dan tegar bisa saja terlahir dari seorang gadis yang memiliki banyak masalah namun tetap bisa bertahan hidup dan melewati semua cobaan dalam hidupnya dengan begitu luar biasa.
Â
#ChangeMaker