Fimela.com, Jakarta Penulis: Budi Rahmah Panjaitan - Asahan
"Aku tak bisa sebaik dia, aku tak secantik mereka, aku tak berani seperti dia, aku tak punya keahlian yang mereka miliki, kelebihanku tak ada apa-apanya dengan kelebihan mereka." Stop stop stop, hidup bukan perbandingan, kamu unik dan kamu hidup dengan segudang bakat yang telah dititipkan Tuhan. Tapi, mari dengar ceritaku.
Aku seorang anak desa yang kemudian berkesempatan mengenyam pendidikan di kota. Aku memang selalu mendapatkan juara kelas saat aku sekolah di desa. Tidak heran jika kesempatan ini diberikan padaku. Aku bahagia, lega, dan bisa membuat orangtua bangga.
Advertisement
Dengan senang hati, aku berangkat menuju kota. Berharap banyak hal lebih menyenangkan yang bisa kudapatkan di kota. Hari pertama, semua terasa berbeda. Suasana berbeda, lingkungannya terasa beda, dan orang-orangnya pun punya karakter yang berbeda.
BACA JUGA
Aku merasa itu adalah hal yang wajar. Aku paham betul bahwa tiada yang lebih aku butuhkan selain adaptasi. Aku hanya perlu pembiasaan dan mendekatkan diri.
Namun, itu tak semudah yang kubayangkan. Semua terasa bertambah sulit saat aku mulai dijejali dengan banyaknya tugas dan kegiatan di sekolah itu. Lain lagi dengan sifat dan karakter orang yang kutemui di sana. Semua rasanya tidak bersahabat sekali denganku. Aku yang hanya pergi ke sekolah dengan roda dua sementara mereka kebanyakan pergi dengan roda empat. Mereka yang sepulang sekolah selalu mampir ke gedung bertingkat itu walau hanya sekadar makan, sedangkan aku singgah dulu ke warung untuk mengambil pesanana sederhanaku.
Mereka yang selalu terlihat girang saat ada flash sale sementara aku tak begitu paham tentang apa itu. Semua itu seakan membelengguku. Seperti ada jarak yang tak bisa kuruntuhkan. Ingatkan teman seperti yang kuharapkan. Aku tak bisa menikmati apa yang kupunya. Aku tidak bisa merasakan ketegangan yang kudapatkan selama di desa. Hari-hariku penuh dengan perbandingan. Hari-hariku penuh dengan kekesalan dan menyalahkan diri sendiri. Aku bosan dan tak tahu harus melakukan apa. Hidup seakan tak ada maknanya. Setiap hari aku pergi, pulang, makan, tidur, dan mengerjakan tugas.
Advertisement
Masih Banyak yang Bisa Disyukuri
Aku berusaha keras agar aku bisa mendapatkan apa yang telah aku mimpikan. Mencari murid pintar yang disenangi banyak orang, menjadi murid pandai yang menginspirasi banyak orang dan menjadi kebanggaan orang tuaku di desa. Namun apalah daya, semua seakan sirna. Mimpi-mimpiku seakan kukubur dengan rapat tanpa aku tahu kenapa aku melakukannya. Aku hanya tahu aku tidak bisa menikmati hariku dan aku telah gagal dengan mimpi-mimpiku. Oh, sungguh hidup yang tidak kuinginkan.
Semua berjalan hampa hingga akhirnya aku bertemu hari Selasa. Sejatinya ini adalah Selasa yang sama dengan hari Selasa yang tiap minggu ketemu. Tapi tunggu dulu, hari ini aku belanja ke pasar besar dan mencoba untuk menenangkan diri di taman kota. Sesampainya di sana mataku tertuju pada seorang anak yang mendorong gerobak sambil sesekali memungut bekas botol plastik minuman yang ada di sepanjang jalanan. Di sisi lain mataku tertuju pada seorang anak yang sedang bergandengan dengan orang tuanya. Ia memakan es krim sambil keluar dari mal tempatnya belanja. Sungguh ini dua perbandingan yang membuat batinku tersentuh. Aku memang tak berada di dua posisi itu tapi aku paham bahwa aku berada di posisi yang masih tepat untuk bersyukur.
Aku melanjutkan pandanganku untuk melihat kembali anak yang mendorong gerobak tadi. Tak kusangka ternyata di dalam gerobak itu bukan hanya ada botol bekas, tetapi ada seorang gadis mungil yang ternyata adiknya. Aku menghampirinya dan bertanya, "Siapa adik cantik yang kamu bawa ini?" "Dia adikku," wabnya. Terenyuh perasaanku. Begitu gigihnya dia sebagai seorang kakak yang bertanggung jawab. Sedangkan aku, masih mengeluh dan tak bisa bertanggung jawab jika ditanya kenapa aku mengeluh.
Aku mungkin tak akan dapat pengertian saat aku mengatakan bahwa aku mengeluh karena aku melihat kehidupan orang lain yang lebih baik dariku. Kehidupan yang lebih baik hanya akan didapatkan saat aku bersyukur. Itulah yang sekarang ada di benakku. Air mataku menetes. Tetesannya berupa penyesalan tentang hari sia-sia yang telah ku habiskan untuk membandingkan diriku dengan orang lain. Bukankah waktu itu seharusnya aku gunakan untuk bersyukur dan mengeksplorasiriku lebih banyak sehingga aku bisa berhasil. Tuhan telah titipkan banyak kesempatan untukku, termasuk kesempatan mengenyam pendidikan di kota ini. Oh Tuhan, aku sangat sadar sekarang rasa insecure yang kualami terjadi karena aku tidak bersyukur.
Sekarang, 2020 adalah waktu yang tepat untuk aku memulai diriku yang baru, hariku yang baru dengan rasa syukur dan tanpa insecure. Aku yakin aku lebih bahagia dengan prinsipku ini.
Aku siap, 2020 "bercerai" dengan rasa insecure.
#GrowFearless with FIMELA