Fimela.com, Jakarta Tahun baru, diri yang baru. Di antara kita pasti punya pengalaman tak terlupakan soal berusaha menjadi seseorang yang lebih baik. Mulai dari usaha untuk lebih baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, meraih impian, dan sebagainya. Ada perubahan yang ingin atau mungkin sudah pernah kita lakukan demi menjadi pribadi yang baru. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Change the Old Me: Saatnya Berubah Menjadi Lebih Baik ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Hernina - Malang
Aku pernah ada di masa aku bersungut-sungut pada Tuhan, meminta jawaban atas pertanyaan, “Mengapa Engkau hadirkan perasaan cinta yang begitu besar pada sosok lelaki yang tak disukai ibuku?” Tuhan tak kunjung memberikan petunjuk dan justru menempatkanku pada situasi-situasi menyesakkan di mana aku benar-benar tak bisa memilih antara ibuku atau kekasihku. Aku tak punya pilihan lain selain keras kepala atas perasaanku dan menelan sesak-sesak yang tak kunjung melesak.
Aku pernah ada di masa aku setia luruh bersimpuh memohon dengan segenap kuasaku untuk meminta Tuhan mengabulkan keinginan tertinggiku untuk bahagia bersama lelakiku dan juga ibuku. Tetapi, Tuhan justru membuatku mendengar dua pilihan yang dilontarkan ibuku 40 hari setelah ayahku berpulang, “Kamu boleh pilih dia atau Ibu.” Aku seremuk itu karena aku tak akan pernah bisa menemukan jawaban atas pertanyaan itu.
Aku pernah ada di masa aku memperjuangkannya dengan memicu pertengkaran tanpa jeda. Agar apa? Agar ia punya alasan yang cukup untuk menggantiku dengan cinta yang lebih baik untukku, untuknya, dan untuk kita. Namun, Tuhan justru memeluk kami dalam cinta dan kami berdua masih berpasang hingga tujuh tahun setelahnya.
Aku pernah ada di masa aku hanya terus-terusan merasa lelah. Lelah bersungut-sungut atas ketidakadilan, lelah mengajukan pinta agar kami dipersatukan, pun lelah bergelut dalam pertengkaran yang sesungguhnya masalahnya tak nyata. Hingga aku sampai pada masa di mana aku hanya pasrah atas putusan Tuhan. Aku sangat kelelahan hingga aku tak lagi menginginkan apa-apa. Di saat itu, Tuhan justru mengulurkan kasih-Nya lewat kata-kata ibuku, “Saya ikut saja atas keputusan tanggal pernikahannya.”
Advertisement
Berusaha Mencintai Lebih Utuh
Tuhan mengabulkan mimpi terbesarku, menyatu dengan kekasih pilihan hatiku. Tapi, aku tak berhenti menjadi makhluk yang tak sempurna. Aku masih sering bersungut-sungut, masih sering mengadu rayu agar permintaanku selalu dikabulkan, masih gemar mempermasalahkan hal yang sesungguhnya tak ada.
Di titik ini, aku menyadari bahwa aku sungguh makhluk tak berdaya. Yang dengan dirinya sendiri saja tak mampu memenangkan pertarungan ego. Aku tak pantas terus menerus menyalahkan Tuhan atau manusia-manusia lain atas ketidakbahagiaanku. Aku sendiri yang harus menciptakannya, aku sendiri yang mampu membahagiakan diriku sendiri. Dengan begitu, aku akan mampu bahagia jika orang lain mengecap gembira.
Aku berjanji untuk merengkuh diriku dengan segala upaya agar kembali utuh, dengan seikat luka batin yang tersayat, dengan setumpuk emosi yang tak mampu tersalurkan, dengan segenggam takdir yang menguatkan, dan dengan cinta kasih yang sebenarnya tak layak kuterima. Diriku, aku menerimamu utuh. Aku mencintaimu penuh.
#GrowFearless with FIMELA