Fimela.com, Jakarta Tahun baru, diri yang baru. Di antara kita pasti punya pengalaman tak terlupakan soal berusaha menjadi seseorang yang lebih baik. Mulai dari usaha untuk lebih baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, meraih impian, dan sebagainya. Ada perubahan yang ingin atau mungkin sudah pernah kita lakukan demi menjadi pribadi yang baru. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Change the Old Me: Saatnya Berubah Menjadi Lebih Baik ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Nadiya U. Nashibah - Yogyakarta
Dear diriku, aku ingin mengucapkan selamat dan bersyukur untuk diriku sendiri atas banyak hal kekuatan selama 23 tahun ini. Kamu sungguh luar biasa bertahan dengan gejolak jiwa laramu dahulu wahai diriku. Terima kasih untuk selalu berjalan meski tertatih, tertawa meskipun menangis, dan mendengar tangisan orang lain meski kamu sendiri bersedih. Itu adalah mode lama yang memiliki banyak perubahan di hidupmu. Kamu wanita hebat setidaknya untuk diri sendiri, semoga kelak kamu selalu menjadi wanita kuat dan peduli pada orang lain.
Sederet kalimat di atas adalah hadiah terbesar yang bisa aku berikan untuk diriku sendiri, aku bangga menjadi diri sendiri. Perjalanan panjang nan terjal yang dilalui seseorang tentu berbeda satu dengan lainnya. Ceritaku dan ceritamu juga bisa berbeda.
Usia remaja menuju dewasa merupakan waktu penentuan jati diri seorang individu, termasuk aku saat ini. Aku anak pertama, cucu pertama dari nenek pihak ibu. Wajar jika banyak yang membantu ibuku mengasuhku sedari kecil. Selama empat tahun aku tinggal dengan nenek dan kakekku yang usianya sat itu 50 tahun, belum begitu sepuh.
Setiap minggu kami berkunjung ke rumahku yang jauhnya satu jam perjalanan sepeda motor, kami bertemu ibu, ayah, dan kedua saudariku yang masih balita. Mungkin ada anggapan bahwa menitipkan cucu kepada neneknya adalah tindakan jahat tak berperasaan. Bisa jadi itu benar, tapi tidak berlaku untuk keluargaku. Nenek sendiri yang meminta untuk mengasuhku, karena saat usiaku 2 tahun aku memiliki adik yang masih bayi. Tentu ibuku setengah berat melepaskan aku.
Kedekatan antara anak dengan orang tua menjadi momok besar bagiku. Bagaimana tidak? Aku mulai merasakan adanya kecanggungan di antara aku dan orangtuaku. Ada sebuah kejadian masa lalu yang membuat batin ini tersakiti sekian tahun.
Anak kecil bisa apa dengan pemikiran yang sungguh belum dewasa? Bahkan rengekan dan tangisan tidak bisa aku ungkapkan dengan jelas. Aku mengalami trauma mendalam dengan ayahku sendiri, penyebabnya pun bisa dibilang kurang jelas. Tidak ada kekerasan, tetapi dengan kalimat dan tindakan yang menciutkan rasa aman sebagai anak.
Setiap amarah atau perdebatan selalu menyisakan sakit di dalam hati. Hingga usia dewasa kejadian ini masih sering kali terulang membuat hidupku jenuh dan membosankan. Aku ingin keluar dari zona ini, tapi bagaimana caranya? Setiap hari membaca dan mencari informasi apa kunci dari permasalahan ini? Saat aku berusaha berubah untuk tidak lagi menganggap kalimat ayah menjadi monster, saat itu juga aku selalu mendengar kalimat, “Kamu selalu berkecil hati, makanya selalu begini." Ibarat ingin menaiki anak tangga ditarik lagi hingga dasar, sakitnya bertubi. Itu perspektif dari sisiku.
Advertisement
Tak Ingin Membohongi Diri Sendiri
Awalnya sampah batin itu tidak terasa sama sekali, selalu aku pendam dan tahan sebisa mungkin lalu lupakan. Bohong. Itu semua menjadi kesalahan besar dalam hidupku yang lama. Selalu mengunci seorang diri di dalam kamar, berteman dengan sedikit orang, dan tidak percaya diri di hadapan publik.
Aku rasa perkembanganku mulai terlihat melambat saat itu. Semua itu berimbas juga pada nilai pelajaran di sekolah, dan peringkat akademik. Saat SMA barulah aku menemukan perubahan sedikit tentang cara berpikir saat masa-masa terpuruk bertengkar dengan ayah atau permasalahan lainnya.
Sejujurnya aku jarang punya masalah dengan teman-teman, karena tak ingin mengambil risiko terlalu banyak, tapi ada. Sebaliknya, aku selalu menjadi wadah curhat teman-teman hingga kakak kelas. Aku menikmati itu, aku sendiri hanya punya satu orang teman untuk menjadi telingaku saat merasa hampa. Orang tua? Oh tidak akan aku ceritakan. Bukan karena aku benci terhadap mereka, tapi lebih kepada rasa kurang percaya pada saat itu. Sampai guru bimbingan konseling sekolah memanggil beberapa siswa untuk dilatih menjadi konselor sebaya. Dimulailah hari besar itu.
Sebelum pelatihan konselor sebaya, semua siswa terpilih harus melalui proses pembersihan jiwa. Sesaat aku berpikir dengan tersenyum di hadapan guru konseling kira-kira sampah batin apa yang bisa aku bersihkan. Aku belum sepenuhnya sadar. Ternyata saat kisahku mulai dipancing, aku mulai menyadari bahwa aku begitu berbohong pada diriku sendiri.
Membohongi diri sendiri lebih jahat dan sulit untuk ditebak. Selama hampir satu jam aku pertama kali bercerita perasaanku sebagai seorang anak tapi kepada orang lain, betapa merananya aku rasa. Bahkan orangtua kandungku sendiri tak pernah tahu kejujuran yang aku rasakan. Karena terlalu ketakutan untuk dicap sebagai anak cengeng dan rendah diri, aku sok kuat dan tangguh.
Memaafkan
Kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan, aku merasa tidak mendapat keadilan semuanya tertumpuk membumbung di kepala. Hingga saat waktu kuliah tiba, kejadian yang biasa datang entah perselisihan tak berakal, atau pun permasalahan kecil seperti kesalah pamhaman menarik emosi negatifku keluar. Aku mulai merasakan sakitnya tidak sebatas sakit hati biasa, tapi turut memengaruhi fisik bahkan hormon.
Semakin hari semakin tidak menentu apa yang harus aku jalani, meskipun aku menunaikan ibadah kepada Tuhanku, aku tetap seperti batu. Tetap tidak bisa jujur dengan diri sendiri. Puncaknya pada akhir tahun 2019, jika kita percaya pada janji-Nya, maka kita tidak akan pernah menyesali semua yang sudah terjadi. Aku percaya itu, ada senyuman setelah air mata.
Aku tidak mau menyalahkan siapa pun. Sekarang dadaku lapang seperti rumput hijau luas bersih tanpa sampah. Aku beranikan untuk memulainya dahulu. Menjadi pribadi pemaaf tidak semudah orang berbuat kesalahan. Tapi memaafkan dahulu menjadikan pikiran dan badan lebih sehat, itu terbukti.
Berjalan menggunakan kaki tanpa alas mendaki gunung sempoyongan menuju puncak, lalu melihat luasnya alam dari atas untuk mengagungkan ciptaan-Nya. Kakiku terluka karena tidak menggunakan sepatu, padahal aku membawanya di dalam ransel. Segera kupakai sepatu dan menuruni gunung dengan suka cita tanpa takut terluka. Itulah kalimat ibarat yang menggambarkan keadaanku yang lalu hingga saat ini.
Aku tetap menjadi diri sendiri tapi dengan perasaan baru, seperti habis dicuci menjadi putih lagi. Cerita lalu tetap menjadi memori dengan segudang makna dan arti. Aku siap menjadi dewasa dengan segala pernak perniknya. Impian tidak sebatas cita-cita menjadi seseorang, memiliki pribadi yang baik adalah impian semua orang. Kita akan menemukan kebahagiaan jika kita mencarinya tidak dengan berdiam diri saja. Aku harap tahun ini aku masih menjadi kuat untuk memulai hidup dengan aku yang baru. Sungguh memaafkan itu indah. Sekian.
#GrowFearless with FIMELA