Fimela.com, Jakarta Punya momen yang tak terlupakan bersama ibu? Memiliki sosok ibu yang inspiratif dan memberi berbagai pengalaman berharga dalam hidup? Seorang ibu merupakan orang yang paling berjasa dan istimewa dalam hidup kita. Kita semua pasti memiliki kisah yang tak terlupakan dan paling berkesan bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam lomba dengan tema My Moment with Mom ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Novita Prima - Surabaya
Ibu,
Saat ini mungkin aku belum menjadi penghibur yang tepat untuk harimu, belum sempurna sebagai penawar dahaga di sisa umurmu, dan juga belum mampu untuk melunasi semua kebaikan serta kasih sayang selayaknya yang selalu kau curahkan padaku.
Ibu,
Meski demikian adanya diriku, bila orang bertanya padaku, “Siapakah sosok yang berpengaruh dalam hidupmu?" Tanpa ragu akan kujawab engkaulah orang itu, bu.
Bila orang lainnya lagi betanya, “Siapakah yang menyayangimu tanpa batas bahkan tak peduli betapa banyak cela yang telah kauperbuat hingga kini?” Lantang akan kusahuti pertanyaan itu dengan menyebut “ibu” sebagai jawabku.
Ibu,
Jauh di dasar sanubari cinta kasih yang kauberi telah menebal di sana. Menjadi kekuatan untukku menjalani kehidupan dengan segala rintangannya. Kasih sayangmu kurasakan tanpa henti mengirimg setiap babak dalam hidupku, seperti jantung yang siap memompa darah ke seluruh tubuh, kurasakan sedemikian penting arti hadirmu. Dalam setiap hela napasku, ada syukur pada Gusti Allah Yang Maha Kasih, yang telah mengizinkanku terlahir dari sosok tangguh sepertimu, ibu.
Advertisement
Dan kali ini akan kubagi sedikit kisah kebersamaanku dengan perempuan tangguh itu, ibuku.
Ibuku adalah perempuan tangguh yang tekun bekerja dan sangat jarang sekali mengeluh, perlu aku katakan demikian karena sebagai manusia mustahil bila kita tak pernah sekalipun mengeluh. Bagiku, keluhan adalah hal yang wajar jika itu diutarakan seperlunya saja, bukankah setelah berkeluh kesah akan membawa perasaan lebih lega? Demikian pula ibuku, beliau hanya sesekali mengeluh bila badanya terasa pegal setelah bekerja sedemikian kerasnya.
Sejak menikah dengan almarhum ayahku, ibuku berhenti bekerja di luar rumah, beliau tetap membantu menopang perekonomian keluarga dengan berdagang kecil-kecilan. Saat aku masih kanak-kanak, ibuku berdagang aneka jajanan, permen, telur asin, mi instan, sampo sachetan, bumbu dapur kering, dan aneka minuman limun dalam botol kaca yang dijual eceran dengan cara menuangkannya dalam gelas-gelas kaca ukuran 250 mililiter dan 500 mililiter, Rp25,- untuk gelas kecil dan Rp50,- untuk segelas besar es limun menyegarkan. Sekitar tahun 1986 – 1989 kala itu.
Setiap pagi sepulang mengantarkanku ke sekolah dan setelah menyelesaikan tugas rumah tangganya, ibu akan membuka kiosnya, kios tersebut berupa bangunan semi permanen berangka kayu dan berdinding triplek, seingatku almarhum ayahkulah yang merancang sekaligus membuatnya sampai tegak berdiri dan dapat digunakan untuk berdagang. Saat akan menjemputku sekolah, kios akan ditutup sebentar dan baru dibuka kembali setelah kami tiba di rumah. Sebenarnya tempat tinggal kami bukan sebenar-benarnya rumah milik kami, kami hanya menumpang pada pakde, kakak lelaki ayahku, beliau tidak beristri juga tidak punya anak, maka beliau meminta kami untuk tinggal di rumah sisir (rumah dengan bagian yang lebih kecil dari rumah induk dan satu bagian dindingnya menempel pada rumah induk), sedangkan beliau yang menempati rumah induk.
Kios kecil ibu letaknya sekira 100 meter dari rumah kami, letaknya persis di mulut gang. Posisi yang demikian itu memang telah dipikirkan sebelumnya agar kios tersebut dapat segera menarik minat orang yang sedang melintas untuk mampir dan membeli sesuatu dari sana.
Saat paling mengasyikkan buatku adalah saat bersama ibu menunggui kios tersebut. Aku paling suka bisa duduk di dalam kios tersebut, padahal kios itu hanya muat untuk duduk bagi satu orang dewasa saja. Kalau sudah begitu, ibu akan mengalah duduk di luar kios, ibu biasanya duduk di badukan gang (badukan: bangku yang terbuat dari batu bata dan dilapisi semen serta dicat serupa dinding, biasanya akan dibuat di muka rumah atau menyatu dengan gapura gang, fungsinya sebagai kursi permanen). Saat duduk di dalam kios begitu, aku akan membayangkan dirikulah sang pedagang, tak jarang pula aku berpura-pura sedang melayani pembeli. Ah, itu mengasyikan sekali.
Terkadang ibu akan duduk sambil membawaku dalam pangkuannya, dan sambil menunggu pembeli yang datang, ibuku akan mengisi waktu tersebut dengan mengajariku banyak hal, membaca dan berhitung misalnya, dengan begitu seakan-akan aku tidak sedang belajar betulan, saat belajar jadi lebih menyenangkan dalam kebersamaan.
Setelah orangtuaku telah cukup mempunyai tabungan, mereka mengontrak rumah sendiri.
Setelah orangtuaku telah cukup mempunyai tabungan, mereka mengontrak rumah sendiri, letaknya tak jauh dari rumah sisir yang kami tinggali sebelumnya, masih satu gang hanya terpisah sekitar sepuluh rumah saja. Di sana adik perempuanku lahir, saat itu tahun 1990. Ibu sudah tidak berdagang di kios lama. Ibu berdagang di muka rumah saja dengan meletakkan meja panjang dan menjajarkan dagangan di atasnya. Rujak buah manis, lontong mi, aneka gorengan, dan es yang dijual kala itu, jauh berbeda dengan jenis dagangan sebelumnya. Hal ini pun telah dipikirkan sebelumnya, dengan berdagang makanan seperti itu bila dihitung lebih menguntungkan dan karena berdagang hanya di muka rumah saja, maka lebih mudah bagi ibu menyambi menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, selain itu bisa sambil mengawasi dagangan dari dalam rumah.
Di dapur rumah kontrakan ini ibu menyiapkan semua bahan dan masakan yang akan dijualnya. Hal paling seru buatku pada saat itu adalah ketika ibu memintaku untuk menolongnya mencetak ote-ote di penggorengan dengan menggunakan irus (sendok sayur). Wah, itu seru sekali. Mula-mula irus harus diisi penuh dengan adonan tepung yang sudah dicampur dengan irisan wortel dan kol, setelah itu diletakkan udang persis di tengah irus yang sudah terisi adonan. “Ingat, udangnya harus persis di tengah!” Begitu kata ibuku. Hal itu mungkin terlihat sepele, namun bila yang sepele itu saja dikerjakan dengan asal-asalan, bagaimana jika kita diberikan tanggungjawab atau pekerjaan yang lebih sulit, apakah kita mampu mengerjakannya? Hal yang luar biasa dan istimewa itu bermula dari hal yang sederhana, bahkan kadang kelewat remeh kelihatannya. Nilai-nilai yang seperti itu tentu saja luput dari pemikiran anak seusiaku dulu, yang terlintas di kepala hanya keseruan mengerjakan kegiatan tersebut. Saat usia semakin bertambah justru hal-hal sederhana yang muncul di antara kebersamaan kami itulah yang tertanam kuat hingga mengakar dan membentuk kepribadian.
Tahun 1993, saat aku kelas 5 SD, kami sekeluarga diminta oleh almarhum kakekku untuk tinggal di rumahnya, rumah sisir tepatnya. Ya, kakekku mempunyai sebuah rumah induk dan rumah sisir, letaknya masih dalam satu lingkungan dengan kontrakan kami sebelumnya, hanya berbeda satu RW saja. Dengan pertimbangan untuk lebih berhemat, sebab tidak perlu mengontrak, apalagi aku dan adik perempuanku juga semakin besar, tentu saja biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan kami sekeluarga menjadi semakin besar pula. Akhirnya, kami sekeluarga pindah ke rumah sisir kakekku. Di sana kembali ibu melanjutkan usaha dagangannya, namun kali ini dengan jenis dagangan yang berbeda dari sebelumnya, lagi-lagi perubahan itu didasarkan pada lingkungan dan kondisi kami ketika itu.
Ibuku berdagang nasi pecel dan nasi campur di muka rumah kami. Setiap hari aneka masakan dihidangkan di atas sebuah meja besar panjang. Meja besar ini pun adalah hasil karya ayahku. Beliau yamg merancang hingga membuatnya. Meja itu dibuat model bongkar pasang untuk menghemat ruang penyimpanan, maklum rumah sisir kakek yang kami tempati mungil sekali ukurannya, lebarnya hanya 2 meter, untung saja panjangnya lumayan, 12 meter memanjang ke belakang. Karena panjangnya yang lumayan, jadi bisa disekat untuk beberapa bagian. Bagian depan untuk meja belajar dan untuk menerima tamu, lesehan saja, kursi tidak cukup untuk diletakkan di sana. Bagian tengah untuk dua buah lemari dan satu ranjang besar tempat orangtua dan adikku tidur. Untukku, ayah membuatkan loteng sebagai tempat tidur. Letaknya tepat di atas lemari bagian tengah, loteng itu kuisi dengan selembar kasur kapuk, sebuah kipas angin, sebuah radio mungil, dan sebuah meja kecil di pojoknya.
Advertisement
Empat tahun pasca kepindahan kami ke rumah kakek, ayahku jatuh sakit karena stroke.
Empat tahun pasca kepindahan kami ke rumah kakek, ayahku jatuh sakit karena stroke. Sekembalinya dari rumah sakit, beliau harus menjalani terapi panjang selama berbulan-bulan, dan dalam kurun waktu itu tentu saja pikiran, tenaga, dan waktu ibuku terbagi untuk merawat anak-anak dan suaminya. Lelah tentu saja dirasakannya, tapi itu semua terkalahkan oleh semangatnya untuk menaklukkan semua cobaan. Setiap manusia berhak untuk memperjuangkan kehidupannya, begitulah kata ibuku.
Perjuangan ibu untuk kesembuhan ayahku berbuah manis. Ayah dapat berjalan kembali meski harus dibantu kruk, beliau juga lebih mandiri mengerjakan keperluannya sendiri, bahkan sesekali beliau menggantikan tugasku untuk membantu ibu ndeplok (kegiatan menghaluskan/menumbuk kacang atau biji-bijian lainnya dengan lumpang sebagai wadahnya dan alu sebagai alat tumbuknya) kacang dengan tangan kirinya, nantinya kacang yang sudah dihaluskan itu diolah menjadi bumbu pecel. Setelah terkena stroke otomatis tubuh bagian kanan ayahku mati total, hanya anggota tubuh bagian kiri yang dapat digerakkan.
Bulan demi bulan terlewati dan tahun pun berganti, 25 April 1999 bertepatan dengan hari ulang tahun ke-5 adik laki-lakiku, ayahku terkena serangan stroke untuk kedua kalinya. Setelah semalam di rumah sakit tanpa mendapat perawatan berarti, 26 April 1999 ayahku menghembuskan napas terakhirnya di atas ranjang dorong rumah sakit, Gusti Allah Yang Maha Pemilik segalanya memanggil beliau kembali ke sisi-Nya.
Hidup harus berlanjut, seberapa pun pedihnya kehilangan, sesulit apapun cobaan, tidak ada yang harus ditakutkan, semua akan terlewati dengan ringan bila kita tak putus berdoa serta berupaya. Semangat ibu tak sekalipun kendur. Tekadnya pun selalu bulat. Anak-anak harus tetap sekolah, dapur harus terus mengepul, semua harus hidup dengan selayaknya, tak boleh kurang suatu apa. Hidup boleh berhemat tapi urusan sekolah, gizi, dan perkembangan anak adalah utama. Ibuku memenuhi dengan sebaik-baiknya kewajiban beliau sebagai orangtua.
Kegiatan berdagang dilakukan setiap hari, tanpa libur. Menurut ibu, berdagang nasi baik bagi kehidupan kami kala itu, karena dalam keadaan terburuk sekalipun saat kami tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan, kecukupan gizi kami masih bisa terpenuhi dari menu dagangan ibu, meskipun menunya setiap hari selalu sama, setidaknya kami tidak akan kekurangan makan apalagi sampai kelaparan.
Berdagang masakan matang memang lebih kompleks persiapannya dibandingkan dengan dulu saat berdagang makanan ringan dan kering. Setiap malam aku harus sudah menyiapkan pincuk (wadah nasi yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk agak kerucut, namun belakangan daun pisang dapat diganti dengan kertas bungkus cokelat) untuk berdagang esok pagi, hal itu diperlukan untuk efektivitas waktu saat ibu melayani pembeli, sebab biasanya di pagi hari akan banyak pembeli yang mengantre.
Selamat Hari Ibu dan Selamat Ulang Tahun ke-55, bu.
Selain itu setiap pagi ibu juga harus membungkus beberapa puluh bungkus nasi yang akan dititipkan di warung-warung kopi, tugaskulah yang akan mengantarkan nasi bungkus itu. Membungkus nasi pun merupakan tugasku pula. Jadi, setelah ibu mengisi nasi dan aneka laukpauknya ke dalam pincukan, pincukan tersebut diangsurkannya padaku, lalu akulah yang menyelesaikan membungkusnya dan menguncinya dengan karet gelang agar bungkusan tetap terjaga bentuknya.
Dari rutinitas yang mungkin bagi orang lain terlihat begitu biasa tersebut, yang kuserap dari beliau justru sebaliknya, hal yang istimewa, tentang sebuah keteraturan. Sekali saja aku alpa menyiapkan pincuk pada malam harinya, dapat dipastikan kegiatan membungkus nasi pagi harinya akan molor beberapa saat dan itu sangat berpengaruh pada pendapatan penjualan nasi. Pembeli nasi di pagi hari adalah rata-rata ibu-ibu yang akan membekali makanan untuk anaknya yang sekolah atau untuk para suami yang hendak bekerja, para penghuni rumah kos yang akan sarapan, atau ibu rumah tangga yang sekadar mencari kepraktisan karena ke pasar sudah kesiangan.
Dari semua rutinitas membantu ibu saat berdagang nasi, bagiku yang paling mengesankan justru pada bagian persiapannya. Selain membuat pincukan setiap malam, tugasku lainnya adalah ndeplok kacang setiap 2 atau 3 hari sekali tergantung persediaan bumbu pecel yang tersisa. Untuk ndeplok setengah kilogram kacang biasanya akan memakan waktu 30 – 45 menit, tak lama memang karena kacang belum bercampur apapun, jadi saat alu digerakkan masih terasa ringan di tangan. Di waktu yang tak terlalu lama itu biasanya kami akan bertukar cerita. Ibu akan bercerita tentang masa mudanya dulu yang dimaksudkan sebagai arahan untukku, sebab aku sudah remaja kala itu. Lalu ibu juga menceritakan bagaimana kisah pertemuan ayah dan ibu dulu. Tidak itu saja, ibu juga menceritakan tentang masalah-masalah dalam pertemanan saat masa remaja dan bagaimana mengatasinya.
Jika kacang telah halus, maka lumpang dan alu pun berpindah ke tangan ibu. Ibu akan ndeplok bumbu-bumu dapur sebagai pelengkap olahan bumbu pecel tadi, sampai pada proses akhir yaitu mencampur bumbu yang telah halus dengan kacang yang sebelumnya telah dihaluskan juga. Proses pencampuran ini terhitung tidak mudah buatku kala itu, bumbu dan kacang harus tercampur sempurna pada lumpang yang sama.
Gerakan pada alu pun terasa semakin berat sebab telah banyak kandungan yang bercampur di dalamnya. Ada asam jawa dan gula yang membuatnya lengket kemana-mana, ada cabai bercampur daun jeruk yang bila tak berhati-hati ketika ndeplok cairan alaminya bisa mengenai mata, akan terasa pedih jadinya. Hidup tak ubahnya seperti semua prosesi itu, kita akan dipertemukan dengan hal yang mudah sampai yang susah, pula dipertemukan dengan hal manis maupun getir. Setiap rasa yang datang dan bercampur itu harus dilalui sesuai jalannya, pada akhirnya pasti proses itu menemui hasil terbaiknya.
Sambil terus mencampur semua bahan bumbu pecel di dalam lumpang, ibu akan terus bercerita dan aku akan mengerjakan pekerjaan dapur lainnya, memotong tahu atau mengupas bawang misalnya. Dalam hati kecilku sempat terselip rasa keluh juga, di saat anak seusiaku bebas bermain atau bercengkrama dengan teman sebaya, aku harus membagi waktu antara teman dan pekerjaan rumah. Namun, di sisi hatiku yang lainnya terucap syukur tak terhingga kepada-Nya, yang telah menuliskan takdirku sebagai anak dari ibuku. Ibu yang telah memberiku kesempatan mencecap setiap detil kehidupan, ibu yang mendidikku untuk siap dalam mengahadapi segala bentuk halang maupun rintang, ibu yang menggandengku dalam berjuta pengalaman, dan banyak hal lain yang tentu saja tak akan kudapatkan di bangku sekolahan mana pun.
Aku bersyukur telah menjadi anakmu, bu. Terima kasih untuk selalu ada dan untuk kasih sayang yang tak berbilang nilainya. Teriring doa untukmu selalu, agar ibu selalu sehat, berbahagia, dan dilimpahi berkah oleh Gusti Allah. Selamat Hari Ibu dan Selamat Ulang Tahun ke-55, bu.
#GrowFearless with FIMELA