Fimela.com, Jakarta Dunia arsitektur dipenuhi dengan desain modern dan minimalis yang disebabkan dengan berbagai kemajuan dan inovasi yang terus berkembang. Namun sebagai orang Indonesia, kita justru lebih akrab dengan desain arsitektur Eropa dibandingkan dengan arsitektur tradisional.
Padahal arsitektur tradisional mengandung berbagai nilai dan tradisi masyarakat yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia. Selain itu, nilai-nilai tersebut mengajarkan bagaimana kita menghargai alam sebagai sumber daya. Kebudayaan yang terus tergerus oleh arus modernisme membuat Yayasan Widya Cahaya Nusantara (YWCaN) melakukan pendampingan terhadap masyarakat tradisional Suku Daya Iban di Sungai Utik di Pedalaman Kalimantan.
Advertisement
BACA JUGA
Pendampingan dilakukan bersama Rumah Asuh dan Tirto Utomo Foundation dengan mempertahankan karakter, tradisi, dan kepercayaan tradisional ketika masyarakat berinteraksi dengan perubahan jaman dan modernisasi. Brunoto Arifin dari YWCaN menuturkan bahwa masyarakat Suku Dayak di Sungai Utik masih terbilang ideal. Rumah panjang yang dimiliki masih utuh dan mampu mempertahankan hutan adatnya. Sehingga cocok dijadikan role model untuk masyarakat Dayak lainnya.
Upaya pendampingan ini sejalan dengan apa yang dirasakan tetua adat Suku Dayak Iban. Mereka ingin maju tanpa merusak hutan yang selama ini mereka jaga. Salah satu upaya yang dilakukan adalah didirikan dua bangunan yang dibangun dengan menggunakan cara dan teknik arsitektur tradisional.
Â
Advertisement
Dibangun dengan semangat gotong royong
"Sistem pendidikan menjadikan kita manusia modern tapi dengan latar belakang Eropa yang melupakan kearifan lokal. Melupakan budaya outdoor yang menghasilkan sosialisasi lebih banyak. Kita bangsa yang kaya akan budaya dan alam. Tapi tidak punya hati untuk mengatasi dua hal tersebut. Kami di sini tidak terikat dengan birokrasi, namun kami gotong royong," ungkap Yori Antar selaku Founder Rumah Asuh dan Principal Han Awal & Partner.
Dengan semangat gotong royong, Yori Antar membangun sebuah rumah budaya dengan desain rumah panjang. Rumah ini akan menjadi wadah untuk masyarakat beraktivitas sekaligus galeri budaya dan wadah bagi pemberdayaan masyarakat.
Di sini, masyarakat bisa mengukir dan menganyam sehingga bisa jadi pusat pariwisata untuk menarik wisatawan berkunjung dan mempelajari langsung kehidupan tradisional masyarakat Suku Dayak Iban.
Â
Dibangun 2 bangunan tradisional
Selain itu, juga akan dibangun rumah Ibadah Gereja Katolik yang dirancang dengan menggali nilai-nilai dan kearifan lokal setempat. Gereja dirancang bukan dengan kursi yang menghadap ke altar melainkan duduk lesehan menggunakan lampit.
Mengedepankan sistem sirkulasi udara alami, Gereja ini menggunakan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga jemaat di dalamnya bisa merasakan sejuknya angin dari sekitar area Gereja. Selain itu, sistem ini juga lebih ramah lingkungan.
Kedua bangunan ini menjadi highlight dari pameran Mother Eart & Architecture yang diselenggarakan pada 28 November - 7 Desember 2019 di kantor Han Awal & Partners. Pameran ini sendiri menjadi bagian dari acara Bintaro Design District 2019.
Advertisement
Simak video berikut ini
#GrowFearless with Fimela