Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Lusiani Mahasti - Semarang
Penerimaan diri adalah hal yang mendasar bagi setiap pribadi. Mengapa? Karena kita dapat menjadi pribadi yang mampu mengembangkan diri atau menjadi pribadi yang menutup diri berawal dari bagaimana kita menerima diri kita.
Penerimaan diri ini terbentuk dari keluarga, lingkungan dan si pribadi itu sendiri. Mengapa tidak berawal dari kita pribadi? Mengapa dari keluarga dan lingkungan? Ketika kita kecil, kita merasa disayang, diterima, diharapkan, bahkan dibanggakan berawal dari keluarga di mana kita dibesarkan. Sebaliknya juga ketika kecil kita merasa tidak diharapkan, diasingkan bahkan dibuang juga berawal dari keluarga. Gambar diri anak yang dibesarkan di keluarga yang menyayanginya, mengharapkannya, bahkan membanggakannya akan mempengaruhi penerimaan diri si anak terhadap dirinya sendiri. Dia akan lebih mudah mengasihi diri, menyayangi dirinya, dibandingkan dengan anak yang lahir dan dibesarkan dengan kebencian, kemurungan bahkan kekerasan.
Lingkungan sosial di mana seseorang bersosialisasi juga berpengaruh terhadap satu sama lain. Pribadi yang utuh, bangga menjadi seorang pribadi karena sadar keluarga menyayanginya, akan hadir sebagai pribadi yang mampu menyayangi lingkungannya, dia akan mudah membawa energi positif bagi sekitarnya. Sementara pribadi yang merasa tidak dimendapatkan keutuhan kasih sayang dari keluarga, akan mencari penerimaan dari lingkungannya, tapi dia sudah membawa gambar diri yang tidak utuh, sehingga bila dia juga tidak mendapatkan penerimaan dari lingkungannya, dia semakin sulit menerima dan menyayangi dirinya sendiri.
Penerimaan diri dapat seutuhnya bila kita menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ketidaksempurnaan membuat hidup lebih berwarna, ada alasan untuk kita hidup bersama orang lain, karena kita dapat saling melengkapi. Kelebihan kita menyempurnakan kekurangan orang lain, sebaliknya kelebihan orang lain akan menutup kekurangan kita. Coba bayangkan bila semua dicipta sempurna, tidak akan ada cerita di antara kita, dan tidak akan warna dalam hidup, betapa membosankan hidup ini.
Saya lahir dibesarkan di keluarga yang sangat menyayangi saya. Orangtua mengasihi saya dengan sepenuhnya apa adanya saya. Apakah saya akan hidup dengan bahagia dengan itu? Ya itu modal yang sangat baik, keluarga yang menyayangi dan menerima saya membuat saya menyayangi diri saya, saya percaya diri dengan keberadaan diri saya. Namun, saya tidak hanya hidup bersama keluarga saya saja, tapi juga dengan banyak orang, yang beraneka ragam.
Saya akan membagikan tiga hal dimana saya berproses melalui tiap tahapannya untuk dapat menerima diri saya sampai saat ini.
Advertisement
1. Tahap Pertahanan Diri
Ketika saya kanak-kanak, saya tumbuh dengan tubuh yang gemuk. Ada orang yang berkata lucu, tapi ada juga yang membuat lelucon dengan kegemukan itu. Pernah suatu peristiwa ada anak yang lewat depan rumah, ketika melihat saya, dia mengejek, "Gendut. Gendut. Ndut ndut-an digendut makan ketan.” Saat itu saya sedih, merasa tidak nyaman dengan ejekan tersebut, lalu saya berkata dalam hati, ”Semoga anak itu jatuh di depan saya, dan saya bisa menolong dia, supaya dia tidak mengejek saya lagi.” Dan kebetulan harapan saya itu terjadi, anak itu jatuh, gubrak, menabrak pagar karena tidak lihat jalan. Anak itu langsung berdiri dan lari pergi.
Waktu itu saya berpikir saya punya permohonan yang baik, tapi setelah saya dewasa saya berpikir itu sebenarnya bukan permohonan yang baik. Saya ingin dia jatuh dan saya bisa menolong sebenarnya untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari anak itu, supaya dia tidak melihat fisik saya dan mengejek saya. Saya tidak bisa menyayangi diri saya secara utuh karena lingkungan. Ada rasa malu dan minder karena tubuh saya yang gemuk.
2. Tahap Pengembangan Diri
Berlanjut ke SD, SMP, dan SMA. Mata pelajaran yang menjadi momok buat saya adalah olah raga. Karena dengan tubuh yang gemuk, saya tidak selincah teman-teman. Guru olahraga SMP dan SMA saya di setiap penilaian lari keliling lapangan berkata, “Sudah kamu tidak usah berlari keliling, langsung aja saya kasih nilai 6.” Perkataan dan perlakuan yang seperti demikian yang membuat saya tidak percaya diri.
Di sini peran keluarga sangat saya rasakan. Keluarga memotivasi saya mencari kelebihan saya, alih-alih melihat kekurangan. Saya belajar dengan tekun untuk mendapatkan nilai yang terbaik dan berprestasi di semua mata pelajaran. Ketika saya berusaha menggali apa kelebihan yang Tuhan percayakan, saya secara pribadi dan orang di sekitar saya pun tidak lagi hanya focus melihat kelemahan, dan itu jauh lebih bermanfaat.
Advertisement
3. Tahap Penerimaan Diri
Melalui setiap pelajaran kehidupan yang saya lalui, saya tiba di titik menerima dengan bersyukur atas semua hal yang ada pada saya. Tiap pribadi kita unik, spesial, tidak ada yang sama seperti kita di dunia ini. Tidak sepatutnya kelemahan menjadikan kita minder dan kelebihan membuat kita merasa jadi superior. Sebagaimana puzzle, tiap kita adalah kepingan yang saling terkait dan saling berguna untuk satu sama lain.
Teman-teman sekalian, menerima diri dan mencintai diri sama dengan menghargai Sang Pencipta. Bukan hanya mempertahankan diri, mengembangkan potensi diri, namun juga menerima dengan rasa syukur. Sebagaimana kita mau diterima dengan baik oleh keluarga dan lingkungan, demikian pula hendaknya kita melakukan yang baik, menerima dan mencintai orang lain.
***
Sudah siap untuk hadir di acara FIMELA FEST 2019? Pilih kelas inspiratifnya di sini.
#GrowFearless with FIMELA