Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Virgorini - Bogor
Berjuang Mencintai Tuhan untuk Menyayangi Diri Sendiri
“Bu, lihat! Aku dapat nilai sepuluh,” seruku saat baru tiba di rumah. Ibu melihat kertas ulanganku sekilas kemudian tersenyum.
“Pinter,” sahutnya namun pandangannya lebih fokus pada masakan di hadapannya. Berulang kali setiap aku memperoleh nilai bagus, sudah pasti kupamerkan pada ibu, meskipun tanggapannya tetap biasa saja. Sikap luar biasa ibu ditunjukkan saat pembagian rapor, yaitu sebuah pelukan hangat yang kuterima saat pembagian rapor karena aku jadi juara kelas, namun rupanya hanya sekali itu saja. Caturwulan demi caturwulan berikutnya justru merupakan beban yang sangat berat karena jika peringkat kelasku bergeser menjadi dua saja maka bersiap-siaplah menerima omelan ibu sepanjang waktu, sampai aku dapat meraih kembali predikat juara satu itu lagi.
Sebagai anak tengah, mungkin aku sering dianggap ada dan tiada, kebetulan adikku harus menjalani operasi di saat usianya masih balita. Operasi besar yang memakan waktu total dua tahun karena sampai tiga kali proses operasi besar dan membuat kami harus bolak-balik ke rumah sakit, dan itu membuat kedua orang tuaku lebih fokus pada adikku. Aku dan kakakku sedikit terabaikan, namun karena kakakku sulung, dia lebih berani protes atau minta sesuatu pada ibu atau ayah, berbeda halnya denganku.
Advertisement
Ingin Mencoba Mengakhiri Hidup
Entah mengapa aku jadi pendiam sejak menyadari perhatian itu tak ada untukku. Aku tak pernah dipuji jika melakukan kebaikan tapi akan sangat dicaci jika sedikit saja melakukan kesalahan. Seringkali aku juga merasa kalau aku hanyalah anak pungut, apalagi jika kuamati wajahku sangat berbeda dengan kakak dan adikku. Terus terang aku merasa segala sifat buruk manusia ada padaku, aku mudah tersinggung, cengeng, penakut juga pendendam.
Ada keinginan kuat untuk mati saja, namun bingung bagaimana caranya, padahal usiaku saat itu masih delapan tahun. Berkali-kali juga aku sudah mengemas pakaianku, untuk pergi saja dari rumah tapi tiba-tiba ketakutanku muncul. Jika pergi atau pulang sekolah aku juga terpikir untuk manabrakkan diri saja pada kendaraan yang kulalui, dari situ mungkin aku akan mendapatkan perhatian dari orang-orang, namun untunglah rasa takutku lebih besar daripada keinginanku. Tapi semakin hari hal itu malah menjadikanku semakin benci pada diri sendiri.
Puncaknya saat SMA aku berani nekat ingin mengakhiri hidup setelah dimarahi habis-habisan oleh ayahku gara-gara masalah kecil yang tak sengaja kulakukan. Aku merasa semua orang membenciku, bahkan diriku sendiri. Saat itu aku membuka kotak obat, kuambil beberapa kapsul dan tablet yang sudah kedaluwarsa, entah obat apa saja, campur, dan langsung kuminum sekaligus. Beberapa saat kemudian tubuhku menggigil, keringat dingin mengalir deras dan aku tertidur.
Saat terbangun kupikir sudah berada di alam lain, namun rupanya aku masih bisa mendengar omelan ibuku karena pekerjaan rumah belum rampung kukerjakan. Ya Tuhan, saat itu aku begitu kecewa, namun kalau ingat lagi sekarang aku begitu menyesal, betapa konyolnya aku.
Beberapa waktu setelah aksi nekat mengakhiri hidup yang tak sukses, aku dikenalkan pada seseorang oleh teman sekolahku. Kak Ela, nama teman baruku itu meminjamiku sebuah buku berjudul Mengenal Diri Melalui Rasa Hati. Entah mengapa lembar demi lembar kubaca, tak tahan air mataku mengalir, bahkan sampai membasahi beberapa halaman buku itu. Sepertinya dari sana titik balik hidupku kumulai, semakin bukunya kubaca, semakin aku mengerti, ada alasan mengapa Tuhan menciptakan aku, ada alasan mengapa aku hidup, akan selalu ada kasih sayang Tuhan di sana, itu yang selama ini tak pernah kutahu apalagi memahaminya.
Suami Selalu Menguatkan
Sekarang aku tak peduli lagi kedua orangtuaku perhatian ataukah tidak padaku, aku berusaha membaiki diri kalau menerima kemarahan yang tidak seharusnya, aku berusaha menerimanya dengan lapang dada, berusaha tegar dan tetap hormat dan sayang pada kedua orang tuaku dengan mengingat jasa-jasanya merawatku sejak lahir, sakit? Tentu, perih? Sudah pasti, namun aku selalu meyakini Tuhankan ada, tak perlu bimbang tak perlu sedih dan putus asa, betapa nikmat merasakan dan menyadari kasih sayang Tuhan itu nyata ada, kita benar-benar tidak akan peduli sikap orang pada kita, kita tetap berusaha ingin berbuat baik. Mencintai diri sendiri dengan cara merasakan cinta Tuhan itu sangat luar biasa indahnya. Mencintai Tuhan membuat kita menyadari bahwa diri kita ini berharga dan patut dicintai dan disayangi, setidaknya oleh diri sendiri.
Proses baiki diri itu semakin sempurna ketika aku menikah dan menemukan suamiku yang ternyata sejak kecil sudah terdidik untuk mengabaikan sikap atau ucapan tidak baik dari orang lain. Suamiku mendidik istrinya ini untuk bisa lebih mampu mengendalikan diri, menjadikan segala sesuatu yang kita temukan dalam hidup meskipun awalnya nampak negatif namun dijadikan positif, hingga ujungnya memang hal-hal positif saja yang kita dapatkan.
“Introspeksi aja, mungkin kita memang begitu, harus lebih kuat lagi baiki diri, toh nggak ada yang berkurangkan dari kita?” Selalu begitu nasihat suamiku kalau aku baru dapat omongan menyakitkan.
Namun, pertahananku sempat runtuh saat aku harus kehilangan bayiku yang masih lucu-lucunya, omongan orang di kanan kiri, bahkan kerabat terdekat yang mengatakan kalau aku pasti lalai dalam merawat bayiku sungguh lebih bisa menerobos masuk ke dalam hatiku. Aku merasa jadi ibu yang jahat, aku merasa jadi orang tak berguna, lagi-lagi aku ingin mati saja. Aku benci diriku sendiri.
Beruntung Tuhan adalah sebaik-baik penolong, Tuhan ‘mengirimkan’ bayiku di dunia tak nyata, hampir setiap malam aku bermimpi bertemu bayiku, bahkan dia sudah pandai berbicara, dinasehatinya aku dengan untaian kata-kata indah. Setiap bangun air mataku masih meleleh dan kerinduanku datang lagi, namun semakin hari terasa semakin ringan. Semakin ringan saat ASI-ku perlahan mulai mengering dan habis sama sekali.
Tuhan jualah Maha Pembolak-balik Hati ini, Dialah yang membuat rasa gelapku menemukan sinarnya lagi. Tuhan jualah yang memberikanku kepercayaan lagi untuk memiliki bayi kembali. Tuhan jualah yang mengirimkan suami dan anak-anak yang mencintaiku hingga aku tak lupa mencintai diri sendiri supaya aku dapat mencintai mereka dengan luar biasa. Tahukah kamu? Tuhan itu adalah cinta agung dan cinta sejati.
***
Sudah siap untuk hadir di acara FIMELA FEST 2019? Pilih kelas inspiratifnya di sini.
#GrowFearless with FIMELA