Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Yang Goe - Bangka Belitung
Bullying atau perundungan bagiku adalah suatu kejahatan dan bentuk penindasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap orang lain. Bullying juga kuanggap bagian dari penyakit hati manusia yang iri dan ingin menjatuhkan mental orang lain sehingga orang tersebut menjadi sakit hati dan merasa tidak berguna sebagai manusia. Tentu saja perbuatan tersebut merupakan kejahatan manusia yang harus dilawan dengan cara tegas!
Kepulanganku ke kampung halaman memberi warna tersendiri bagiku, selain bisa mengenal budaya leluhurku, aku juga merajut kembali tali silaturahim dengan teman-teman dan guru-guru masa sekolahku di Babel. Walaupun agak sulit tetapi aku berhasil mengumpulkan teman-teman dan guru-guruku. Kami pun bercerita mengenang masa-masa sekolah, tentang kenakalan kami waktu itu dan membuka kembali lembaran-lembaran kenangan indah yang sampai saat ini masih tertanam dalam memoriku bagaimana dulu aku dijuluki sebagai sang penidir (penyakitan) karena kondisi fisikku yang lemah hingga selalu mendapat dispensasi dalam pelajaran olahraga serta upacara bendera. Kalau ingat masa itu aku tertawa sendiri dan merasa malu karena orangtuaku sering dipanggil ke sekolah karena aku sering pingsan gara-gara tertimpa bola basket dan berpanas-panasan saat upacara bendera.
Advertisement
Ada yang Diam-Diam Berkata Buruk
Kemunculanku saat ini setelah puluhan tahun di kota besar membuat teman-temanku penasaran mengapa aku kembali ke kampung halaman dan memilih bekerja di dunia pendidikan. Aku jelaskan bahwa kepulanganku karena aku diminta untuk memberi sumbangsih keilmuanku ke daerah dan melanjutkan kegiatan sosialku sebagai wujud dari kepedulianku untuk membangun kampung halaman seperti mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pendidikan, literasi membaca dan menulis, pemahaman tentang sanitasi, menjadi sahabat orangtua (manula), dan menemani ibu yang sendirian sejak ditinggal ayahanda meninggal dunia beberapa tahun silam. Aku jelaskan bahwa semua yang kulakukan karena ingin menerbar kebaikan bahkan aku ingin teman-temanku ikut terlibat agar kegiatan positif ini menjadi lebih semarak dengan dilakukan bersama-sama.
Ada pepatah mengatakan niat baik belum tentu diterima dengan baik, dan hal itu terjadi padaku, sekelompok teman-temanku malah merundungku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Tak disangka di belakangku mereka membuat rumor bahwa kondisi wajahku saat ini sangat berbeda pada saat mereka bertemu denganku di Jakarta. Bukannya tertarik dengan kegiatanku malah mereka lebih memikirkan kondisi wajahku yang sedikit gelap karena terpaan terik matahari. Foto-fotoku di media sosial tidak sama dengan kondisi fisikku saat ini. Bahkan dengan kasarnya mereka mengatakan bahwa aku seperti tidak terurus dengan baik, buruk rupa, dan mata panda. Apa yang kulakukan hanya untuk mencari perhatian, bahkan ada yang mengatakan bahwa aku tinggi hati hanya karena aku lebih banyak berbahasa Indonesia dibandingkan berbahasa daerah.
Kepindahanku ke wilayah pesisir berdampak pada perubahan kulitku yang tadinya putih bersih menjadi sedikit gelap. Provinsi Babel yang dikelilingi oleh lautan serta iklim yang panas memberi warna kulitku menjadi kering dan kusam. Hal itu kusadari ketika tiga bulan bermukim di Provinsi babel yang terkenal dengan daerah wisata pantainya. Provinsi Babel adalah tanah kelahiran leluhurku dan orangtuaku.
Terus Berprestasi
Sejak lulus SMA aku merantau ke Bandung untuk kuliah dan melanjutkan S2-ku di Jakarta hingga aku mendapatkan pekerjaan dan tinggal di Jakarta cukup lama, bahkan lebih lama bermukim di Jakarta dibandingkan di tanah kelahiran. Makanya wajar saja ketika pulang ke halaman aku agak sedikit kaku berkomunikasi dengan teman-teman, saudara, dan di lingkungan kerjaku sekarang. Babel sendiri memiliki logat, aksen, dan kosa kata yang berbeda di setiap daerah, sehingga aku sendiri pun bingung mengartikan suatu kalimat yang tidak pernah kudengar sebelumnya seperti kata “mugi" yang artinya "mendekati seseorang dengan membawa upeti".
Awalnya aku sangat emosional mendengar teman-temanku membicarakan hal buruk tentangku dan aku sangat terluka. Aku berusaha menjelaskan bahwa wajahku kusam karena iklim di Babel sangat panas, kondisi air yang mengandung timah serta pekerjaanku yang harus ke pelosok menggunakan sepeda motor kalau daerah yang kutuju tidak bisa dilampaui dengan mobil. Semakin aku jelaskan justru membuat mereka semakin merundungku dengan kata-kata jahat mereka. Selama ini aku jarang terlibat adu mulut dengan orang lain, tetapi apa yang mereka lakukan padaku tidak bisa kudiamkan. Aku punya harga diri dan tidak ingin orang lain menjatuhkan diriku karena iri dengan apa yang sudah kulakukan. Harus ada yang menghentikan perilaku buruk mereka.
Caraku menghentikan mulut nyinyir mereka bukan dengan caci maki tetapi semakin aku menunjukkan eksistensi diriku dengan pengabdian masyarakat serta memberikan literasi kepada anak-anak sekolah dasar di daerah terpenci. Hingga kegiatanku diliput media lokal, serta terus bergerak memberikan manfaat kepada masyarakat yang membutuhkan kehadiranku. Semakin mereka ingin tahu tentang diriku semakin aku menunjukkan dengan prestasi dan dalam setiap postingan medsosku dengan kegiatan yang menyenangkan.
Aku pikir untuk apa aku terpengaruh dengan omongan mereka yang bisa membuatku sakit hati dan merasa tidak berguna, tetapi aku harus menghargai diriku sendiri bahwa aku tidak patut diperlakukan tidak baik oleh mereka. Aku yakin apa yang mereka lakukan padaku karena mereka iri dan tidak memiliki prestasi. Hidup mereka hanya penuh dengan rasa ketidaksukaan dan kebencian dengan apa yang oleh orang lain perbuat. Bagiku orang yang sepanjang hidupnya tidak memiliki rasa cinta maka ia akan dibelenggu dengan kebencian karena mereka tidak tahu bagaimana mencintai diri mereka dan orang lain.
Hidupku dikelilingi oleh rasa cinta dan kasih kepada orang lain dan aku pun mencintai serta menghargai tubuhku, pikiranku, dan semua yang telah Tuhan berikan kepadaku. Maka aku pun berhak untuk bahagia.
Biarkan saja orang lain menghina dan membencimu tanpa sebab karena semua itu akan ada masanya dan Tuhan tidak akan pernah diam. Aku berharap kelak mereka akan kena batunya dengan ucapan jahat mereka kepadaku. Bagiku mencintai diri sendiri sama halnya mensyukuri nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadaku. Mengisi hidup dengan kegiatan menyenangkan dan membuat diri sendiri bahagia dengan selalu tersenyum.
***
Sudah siap untuk hadir di acara FIMELA FEST 2019? Pilih kelas inspiratifnya di sini.
#GrowFearless with FIMELA