Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Nur Fattini - Yogyakarta
Honestly, ungkapan mencintai diri sendiri baru-baru saja saya temukan. Jauh sebelum menemukan jati diri, saya adalah seorang perempuan yang tidak percaya diri dengan kemampuan yang ada dalam diri saya. Setelah melewati banyak dinamika hidup, ditempa dengan banyak problematika, ternyata kunci terbesar terletak pada diri sendiri. Dengan mencintai segala kekurangan yang ada semakin membentuk kekuatan my self-love matters.
Nama saya Nur Fattini, usia 36 tahun, ibu rumah tangga dengan dua anak istimewa sedang menjalani proses pendidikan non formal. Anak pertama perempuan usianya 11 tahun, proses belajar yang ditekuni adalah cabang olah raga renang indah. Anak kedua laki-laki usia 10 tahun, si adik ini lebih memilih dunia art (drawing), beternak juga bercocok tanam sebagai passion-nya.
Sebelum saya memutuskan untuk mendedikasikan seluruh tenaga, waktu, dan pikiran untuk keluarga, saya pernah bekerja di instansi pemerintahan selama delapan tahun. Pekerjaan saya saat itu di bidang kesehatan hewan, khususnya hewan ternak. Menjadikan pekerjaan tersebut sebagai passion on my own karena bekerja memberikan pelayanan terhadap peternak dengan sepenuh hati. Dengan medan kerja yang ekstrem menggunakan motor trail menambah semangat saya dalam bekerja.
Bukan hanya soal pekerjaan yang saya lakukan sepenuh hati, mendampingi tumbuh kembang anak pun saya lakukan dengan sepenuh hati. Waktu itu saya dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Sekitar bulan Februari 2018 mendapat surat tugas untuk pindah kerja. Lokasi kerja lumayan jauh dari rumah. Pikiran saya langsung tertuju ke anak-anak, jika tempat kerja terlampau jauh, bagaimana saya mengatur waktu untuk menjemput mereka, menyiapkan bekal sebelum berangkat berlatih, atau sekadar menitipkan sebaris kata, "Semangat ya Nak latihannya." Dengan banyak pertimbangan dan berdiskusi dengan suami, saya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan.
Advertisement
Tidak Mudah Menjalani Transisi Hidup
Bukan perkara yang mudah mengambil jalan hidup seperti ini. Transisi dari ibu yang bekerja kantoran menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Pemikiran negatif bahkan ucapan negatif dari orang orang sering saya dapatkan. Berjuang membersamai anak-anak dalam proses belajar mandiri. Selain tekanan besar dari lingkungan, tekanan terbesar saya dapati dari pasangan saya sendiri. Kami belum bisa sevisi dalam membersamai proses belajar kehidupan. Saya tetap berdoa memohon jalan yang terbaik untuk keluarga kami. Hati yang sedih, gundah gulana, sendiri dalam sepi, bersujud, dan memohon keikhlasan kepada-Nya adalah jalan yang terbaik.
Seperti kehilangan harapan dan ingin berlari ke suatu tempat yang sunyi, teringat sosok Nur Fattini yang berjuang sekuat tenaga melaksanakan perintah-Nya. Pelan-pelan saya masuk ke dalam jiwa ini, "Mbak Nur maafkan saya selama ini tidak memedulikanmu, mengabaikan semua kelebihan yang ada padamu. Aku akan mencintaimu from the deep of my heart, mari bergandengan kuat, ya Mbak." Serpihan energi positif itu saya kumpulkan membentuk kekuatan yang lebih banyak untuk tetap ikhlas, kuat dalam berjuang menjadi ibu, menjadi istri yang lebih baik lagi.
Tak terasa sudah hampir dua tahun saya melewati proses ini. Alhamdulillah anak-anak menunjukkan progress yang lebih baik dari sebelumnya. Si kakak sudah sangat bisa diandalkan dalam tugas rumah, seperti menjemur baju kemudian melipat jika sudah kering, menyapu, ngepel lantai, cuci piring. Pekerjaan ini wajib bagi kakak karena kelak kakak akan menjadi seorang ibu yang harus bisa mengurus keluarga.
Begitu juga dengan si adik, sifat adik sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Lebih tenang, bisa mengendalikan emosinya, dan yang membuat saya terharu adalah anak-anak jadi mudah bersosialisasi memiliki pertemanan lintas usia. Diskusi untuk memecahkan suatu masalah adalah makanan sehari-hari. Semakin mematahkan anggapan orang-orang bahwa anak homeschooling mandiri tidak bisa apa-apa, anak homeschooling tidak punya teman dan kesepian.
Mencintai diri sendiri dengan menerima segala kekurangan membuat saya lebih kuat dalam menyongsong perjuangan esok hari dan seterusnya. I love myself. I am strong because Allah SWT is always guiding me. Dear myself, take a deep breath. Always love yourself.
***
Sudah siap untuk hadir di acara FIMELA FEST 2019? Pilih kelas inspiratifnya di sini.
#GrowFearless with FIMELA