Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Sari - Sukoharjo
Depresi adalah sebuah gangguan kejiwaan yang menyebabkan orang yang mengalaminya terus tertekan atau kehilangan minat dalam beraktivitas sehingga menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kualitas hidupnya. Kontrol emosi yang tidak baik akan menyebabkan penderita depresi semakin kalut sehingga mengakibatkan kehilangan tujuan hidup dan pikiran sehat bagi orang tersebut. Dengan keadaaan yang demikian akhirnya si penderita depresi lama-lama akan didera pikiran kosong lalu menarik diri dari lingkungan dan menjadi sosok yang tidak percaya diri. Bahkan lebih parah lagi ada yang berniat untuk bunuh diri karena menganggap bahwa keberadaannya di dunia ini tidak ada artinya. Kondisi seperti itu rupanya sempat aku alami beberapa waktu lalu sebelum aku menemukan kembali jati diri yang akhirnya menyadarkanku pulang ke tempat yang seharusnya aku berada.
Bermula ketika aku tidak begitu peduli saat suamiku bercerita tentang kondisi pekerjaannya. Teror PHK, karyawan dirumahkan dan gaji yang belum dibayar terus menghantui ribuan buruh di pabrik yang sedang gonjang-ganjing itu. Aku selalu menganggap semuanya sebagai angin lalu dan bukan hal serius yang harus dipikirkan. Karena buktinya setiap kali muncul kasus seperti itu toh akhirnya pemilik masih bisa mempertahankan usahanya dan memenuhi kewajibannya pada pegawai.
Hingga suatu kali suamiku berkata padaku. Dia akhirnya menjadi salah satu karyawan yang dirumahkan. Awalnya aku terkejut tapi masih nampak biasa saja. Bahkan aku masih sempat bertanya-tanya sampai kapan dia akan dirumahkan dan bagaimana kelak statusnya sebagai karyawan. Dia hanya bilang sudah menandatangani surat perjanjian untuk dirumahkan selama 6 bulan. Namun, itu tidak mengikat. Bisa saja diperpanjang kalau kondisi perusahaan semakin memburuk. Selain itu karyawan hanya akan diberi upah setengah dari gaji pokok.
Mendengar kabar seperti itu aku masih tetap tenang dan tidak begitu banyak merespons. Namun, entah angin dari mana tiba-tiba saja gambaran tentang tabungan, catatan pengeluaran setiap bulan dan kebutuhan hidup di masa mendatang muncul dengan jelas dikepalaku hingga menyebabkanku tidak bisa mengucap kata dan akhirnya membebani kepalaku juga menyesakkan hatiku.
Advertisement
Kondisiku Berubah
Sejak hari itu aku mulai berubah. Meski kegiatan sehari-hari kulakukan seperti biasa, tapi kuakui hasilnya tidak semaksimal sebelumnya. Ada saja yang luput hingga membuat semuanya menjadi berantakan. Lama-lama suami dan anak-anak pun memprotes. Mereka mulai merasakan perbedaan sikapku. Aku yang biasanya hangat dan banyak bicara. Sekarang menjadi kaku, sedikit bicara dan sering linglung. Aku yang biasanya selalu menyelesaikan kewajiban rumah tangga dengan baik, sekarang seringkali acak-acakan dan terbengkalai. Aku sekarang juga semakin sering melamun. Bahkan untuk urusan memasak pun, suami dan anakku mulai merasakan masakan yang hambar dan tidak sesuai dengan bumbunya.
Tidak berhenti di situ saja, saat quality time bersama keluarga, aku lebih banyak bersikap pasif. Padahal sebelumnya aku adalah tipe orang yang asyik. Bahkan ketika anak-anak meminta saranku, aku bisa saja menanggapi, tapi sepertinya tanggapanku selalu luput dari apa yang sebenarnya mereka inginkan. Saat suami mengajak bicara pun aku kehilangan fokus dan terkesan menanggapi dengan seadanya.
Hal yang sama juga terjadi saat aku bekerja. Kebetulan aku bekerja di bagian administrasi di salah satu perusahaan di mana aku membutuhkan konsentrasi dan ketelitian tinggi saat bekerja agar terhindar dari kesalahan yang merugikan. Namun, kali ini konsentrasi yang biasanya penuh semuanya seperti buyar. Aku berulang kali kena teguran atasan karena pekerjaan yang kukerjakan tidak pernah beres. Akhirnya, aku harus mengecek ulang dan lagi-lagi aku masih belum bisa lolos dari kesalahan. Saat itu juga aku menjadi kalut dan stres. Beberapa teman akhirnya menyadari perubahanku. Mereka mencoba bertanya mengenai masalahku. Namun, aku menghindar dan selalu bilang kalau aku hanya lelah saja.
Aku akui kondisiku saat itu karena aku terlalu memikirkan banyak hal. Pengeluaran setiap bulan yang sudah kuperhitungkan pastinya akan meleset dan menyebabkan kekurangan dana. Lalu ke mana aku harus mencari kekurangannya? Kalau harus mencomot tabungan padahal tabungan itu sudah kupersiapkan untuk memasukkan salah satu anakku ke sekolah favoritnya. Lalu apakah aku harus mengorbankan pendidikan anakku dan mematahkan keinginannya untuk bersekolah di sana? Dan dapat dipastikan aku tidak akan bisa menabung lagi seperti dulu. Padahal uang tabungan itu nantinya akan aku gunakan untuk menyekolahkan anakku yang kedua. Karena kedua anakku hanya terpaut satu tahun. Sangat mengkhawatirkan sekali jika sedikit sedikit mengandalkan uang tabungan. Jika tidak ditambahi maka lama kelamaan tabunganpun akan habis.
Memendam Masalah Sendiri
Selain itu sangat menyedihkan jika aku harus menghemat uang yang menyangkut kebahagiaan anakku. Anak-anak masih balita. Masih suka-sukanya bermain dan bersenang-senang. Biasanya setiap hari libur aku selalu mengajak mereka untuk jalan-jalan. Dan sekarang untuk mewujudkan itu aku harus memutar otak kembali. Mencari cara untuk menyenangkan anak dengan biaya terbatas. Dulu kapan saja aku bisa ajak anak keluar. Tapi sekarang tidak begitu lagi. Tidak bisa sewaktu-waktu.
Aku menjadi kurang tidur setiap malam. Aku berpikir, bagaimana aku harus mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang sedang tinggi-tingginya. Aku pun mulai menghitung berapa pendapatan per bulan dan mencoba memangkas pengeluaran. Namun, tetap saja hasilnya lebih besar pengeluaran. Aku pun jadi sering menangis. Apalagi jika aku melihat wajah polos dua anak balitaku. Rasanya sangat bersalah sekali jika kelak aku tidak bisa memberi jaminan masa depan mereka dan mereka juga harus kehilangan bahagianya masa kecil karena orangtuanya tidak mempunyai uang.
Melihat suami yang tidak bekerja selama beberapa hari di rumah terus terang membuatku semakin emosi. Namun, aku yakin dia adalah lelaki yang bertanggung jawab. Dia pasti juga sedang memutar otak untuk mencari rezeki tambahan. Tidak sepantasnya aku membebani keadaannya. Namun, seperti sebuah bumerang bagiku. Semua rasa yang tersimpan di hatiku justru membuatku semakin tertekan. Hari terus berganti dan kebutuhan harus dicukupi. Aku pun dipenuhi dengan rasa cemas dan khawatir yang berlebihan. Suasana hatiku pun semakin memburuk dan menjadi sangat temperamental hingga akhirnya semuanya menjadi korban. Baik itu keluarga juga pekerjaan. Aku merasa tidak lagi menghargai adanya kehidupan yang kujalani.
Lama-lama suamiku melihat kondisiku yang mulai memburuk. Karena tampak sekali penurunan berat badan dan omonganku yang tidak lagi fokus. Mulanya aku masih menutupi dengan berbagai alasan. Namun, lambat laun yang namanya suami pastinya akan lebih tahu apa yang terjadi pada istrinya. Apalagi kami sudah hidup bersama selama tujuh tahun.
Suatu hari aku diminta untuk mengambil cuti selama satu hari. Di hari itu aku diajak suamiku berkeliling kota. Ditunjukkan olehnya tentang pemulung, pengemis, tukang batu, tukang panggul pasar, dan profesi-profesi lainnya yang jauh lebih sulit dibanding aku. Sesekali aku diajak untuk ngobrol dengan mereka. Tentang bagaimana cara mereka menyambung hidup. Kuakui ada sesuatu yang berkecamuk dalam hatiku.
Satu hal yang jadi pertanyaanku, mereka yang jelas-jelas ekonominya jauh di bawahku justru merasa lebih tenang dan bahagia dibandingkan aku? Kebanyakan dari mereka menjawab mereka ikhlas dengan ketetapan dari Allah. Kalau Allah memberinya segini berarti Allah tahu bahwa mereka bisa hidup dengan rezeki yang sekian itu. Dan belum tentu jika diberi lebih mereka akan bisa hidup lebih baik lagi.
Advertisement
Selalu Ada yang Peduli
Setelah itu aku diajak suamiku ke rumah teman-temannya yang lebih dulu menjadi korban PHK. Di sana aku diajarkan akan banyak hal, salah satunya bagaimana akhirnya mereka bangkit dari keterpurukan dengan mencoba membuka peluang-peluang baru. Ada beberapa yang jatuh bangun untuk bertahan hidup. Namun, pada dasarnya mereka tidak menyerah dan terus berjuang.
Di ujung liburanku, suamiku mencoba memanjakan dan memberi perhatian lebih padaku. Selain itu, di sela-sela waktu bersama kami dia menyelipkan kalimat yang sangat memotivasiku untuk tetap kuat. Dia bilang padaku untuk ikhlas dan sabar dalam menjalani ujian dari Allah. Dia juga memintaku untuk tetap menjalani hari seperti biasa dan yakin bahwa semua akan baik-baik saja. Serahkan semua pada Allah karena setiap musibah pasti ada hikmah. Dan yakin bahwa Allah akan memberikan rezeki yang tidak terduga dari arah yang tak terduga jika aku legowo. Di sisi lain suamiku percaya, di sinilah kesetiaan istri diuji, yaitu saat suami sedang tidak memiliki apa-apa.
Mungkin selama ini aku terlalu egois dan sombong. Menganggap semua masalah akan bisa aku selesaikan tanpa bantuan siapa pun. Hingga akhirnya aku menjadi terpuruk karena tekanan yang kupendam sendiri. Memiliki orang hebat seperti suamiku menjadikanku berpikir bahwa aku tidaklah sendiri di dunia ini. Aku tidak perlu larut dalam masalah yang mungkin tidak ada apa-apanya dibanding kebanyakan orang di luar sana. Aku hanya kurang bersyukur saja.
Buat teman-teman yang mungkin sedang didera tekanan dan depresi yang berkepanjangan, tetaplah berpikir positif dan segera temui orang-orang terdekat kalian untuk berbagi. Terapi pola pikir kalian dan jangan biarkan kalian memendam luka sendirian. Asal kalian tahu, sesungguhnya di sekeliling kita masih ada yang peduli pada kita. Jangan biarkan diri kita hancur oleh ulah kita sendiri. Sayangi diri kita sebagaimana orang-orang yang tersayang juga menyayangi kita. Berbahagialah! Bersukacitalah!
***
Sudah siap untuk hadir di acara FIMELA FEST 2019? Pilih kelas inspiratifnya di sini.
#GrowFearless with FIMELA