Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Gayuh Yustia - Banjarmasin
Tiga belas tahun yang lalu aku bertemu dengannya. Iya, dia yang sekarang menjadi ayah dari anak-anakku. Awal pertemuan kami tak seindah kisah romansa dalam novel bertajuk cinta. Biasa saja, tak ada yang istimewa.
Kala itu aku berkenalan dengan tiga pemuda yang ternyata salah satu di antara mereka menyimpan rasa cinta padaku pada pandangan pertama. Tapi Tuhan punya rahasia. Sungguh tiada kusangka bahwa pada akhirnya justru sahabatnya yang kini menjadi teman hidupku di dunia.
Dia yang sekarang menjadi pasanganku adalah seorang lelaki sederhana. Dia bukan lelaki yang pandai menyenangkan hati wanita dengan kata-kata mesra. Bukan pula lelaki penuh kejutan yang suka memberi bunga atau hadiah sebagai tanda cinta. Jujur, dulu aku sangat merasa terganggu dengan kehadirannya. Aku begitu benci padanya. Benci dengan segala hal tentangnya. Benci dengan style-nya. Benci setiap kali dia menghubungiku ataupun mengirim sebuah pesan singkat lewat ponselnya. Bagiku, membalas SMS-nya hanya membuang-buang pulsa, membuang-buang waktu serta tenaga.
Hari demi hari berlalu. Entah sudah berapa lama dia tidak menghubungiku. Tidak pula mengirim pesan singkat yang bagiku mengganggu. Mungkin karena aku jarang sekali merespons celotehnya. Mungkin juga karena dia sudah mendapatkan cinta di luar sana. Well, semestinya aku merasa bahagia karena tidak ada lagi yang menggangguku seperti sebelumnya. Tapi anehnya, ada perasaan berbeda yang menyelimuti hati dan pikiranku ketika dia tak ada.
Advertisement
Sempat LDR
Aku merasa kesepian meski di tengah banyaknya teman. “Hmm, mungkin ini hanya perasaanku saja. Karena beberapa minggu terakhir dia tak pernah absen membuat ponselku berdering. Jadi wajar saja jika aku merasa ada yang berbeda saat ponselku hening tanpa ucapan selamat tidur darinya, tanpa cerita-cerita konyol yang baginya bisa membuatku tertawa," itu pikirku. Tapi tidak, malam itu aku merasa sangat ingin tahu kabarnya. Malam itu juga pertama kalinya aku mengirim pesan singkat terlebih dahulu padanya. Beberapa menit kemudian ponselku berdering. Yes, dia membalas SMS-ku. Entah mengapa aku merasa begitu bahagia. Sungguh Allah Maha Kuasa membolak-balikkan hati manusia.
Singkat cerita, kedekatan kian terasa. Setiap hari kami tidak pernah absen bertukar cerita. Hingga pada suatu ketika kami memutuskan untuk menjalin hubungan asmara. Namun, seperti pasangan lain pada umumnya, tentu perjalanan cinta ini diwarnai dengan suka dan duka. Terlebih lagi, aku dan dia menjalani masa pacaran tujuh tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat jika dibayangkan, namun tidak pula terasa lama jika keduanya saling menguatkan dan menjunjung tinggi nilai kesetiaan.
Hampir empat tahun menyelesaikan kuliah di pulau seberang membuat kami harus tinggal berjauhan. Akses komunikasi pada saat itu tidak semudah zaman sekarang. Untuk mendapatkan sinyal yang bagus agar bisa video call saja aku harus duduk di pojok kos-kosan. Aku pun juga harus menyisihkan sebagian uang jajan untuk membeli pulsa agar komunikasi kami tetap berjalan. Di sisi lain, menjalin hubungan jarak jauh bagiku justru menumbuhkan motivasi tersendiri. Aku merasa tertantang dan ingin cepat-cepat menuntaskan kuliahku agar segera bisa pulang. Benar saja, atas izin Allah aku bisa mendapat gelar sarjana lebih cepat dibanding teman-temanku seangkatan.
Menjalin Kebahagiaan Bersama
Hari yang dinanti pun tiba. Aku pulang ke kotaku dan bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi yang sudah lama aku idamkan. Kala itu, kami berdua bisa dibilang sama-sama cukup mapan dari segi finansial. Memasuki tahun keenam, menurutku wajar kiranya jika aku dan dia ingin segera melangkah kejenjang pernikahan. Namun, lagi-lagi kami harus melewati sebuah ujian dalam hubungan percintaan.
Kedua orangtuanya belum menyetujui rencana pernikahan kami dengan alasan ingin anak perempuannya yang terlebih dahulu menikah. Aku mencoba untuk memahami keputusan orangtuanya, karena bagaimanapun juga kita harus menghargai nilai-nilai yang diyakini oleh orang lain. Positive thinking saja, mungkin ini memang belum saatnya.
Semakin lama semakin banyak pula yang bertanya perihal kapan aku dihalalkan. Terkadang aku merasa kewalahan menghadapi setiap pertanyaan. Hingga pada akhirnya kesabaranku berujung kebahagiaan dan pertanyaan perihal kapan aku dihalalkan pun terjawab dengan undangan pernikahan. Finally, memasuki tahun ketujuh kedua orangtuanya datang untuk melamarku. Setelah melewati tujuh tahun yang indah, kami berdua ditakdirkan menikah. Penantian panjang berakhir sudah.
Begitulah perjalanan cinta antara dua insan. Susah senang pastilah datang. Namun apapun yang sedang dihadapi, yakinlah bahwa ini adalah bagian dari takdir yang harus dilalui.
Hidup apa adanya. Berusaha semampunya. Bersedih sebentar saja. Bersyukur sebanyak-banyaknya.
#GrowFearless with FIMELA