Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Dewi Rahmadani - Medan
Hanya tiga jam saja perkenalan kami sebelum akhirnya memutuskan untuk “jadian”. Tanggal 11 Desember 2011 tepat pukul satu lewat lima belas menit dini hari, waktu itu menjadi momen indah sepanjang kisah romansa cintaku sampai di saat usiaku menginjak 22 tahun pada saat itu. Untuk pertama kalinya ada lelaki yang mengatakan ingin jadi pacarku, meskipun melalui sambungan telepon. Bahagia sekali, hatiku penuh dengan bunga saat itu. Lelaki yang mengajakku berkenalan dari Facebook, dan aku dengan mudah menerimanya karena keinginan terbesarku ingin memiliki seorang kekasih dan kebetulan ada kesamaan suku di antara kami. Hanya alasan itu saja. Ganteng? Tidak juga. Kaya? Apalagi. Bahkan aku belum melihat wajahnya secara langsung, hanya melalui postingan foto-fotonya saja.
Kami mencoba bertemu seminggu setelah perkenalan melalui telepon. Walaupun status sudah menjadi sepasang kekasih selama seminggu tapi tetap ada perasaan malu, segan, dan takut karena memang belum pernah bertemu. Pertemuan itu berlangsung singkat penuh dengan kekakuan, namun cukup mampu aku menilainya.
Dia orang yang baik. Sampai akhirnya terbiasa dan menjalani kisah percintaan seperti pasangan lainnya. Aku dan dirinya saat itu sedang menjalani kuliah di fakultas yang sama namun dengan jurusan yang berbeda. Aku mengambil kuliah di bidang kesehatan, sedangkan dia mengambil perkuliahan di bidang teknik. Kami sering memanfaatkan momen sarapan bersama sebelum pergi ke kampus, pergi ke taman-taman sekitar kampus bersama dan pergi di akhir pekan walau hanya menikmati es krim atau bahkan bekal yang kubawa sendiri dari rumahku. Cukup indah bagi kami. Begitu terus menerus kami habiskan hingga lebih kurang setahun lamanya.
Advertisement
Mendampinginya
Sampai akhirnya ada kejadian di satu pertemuan kami di sebuah taman yang masih di dalam lingkungan kampus namun jauh dari orang-orang yang kami kenal. Saat kami duduk bersama, tiba-tiba dia melakukan pergerakan aneh yang sama sekali tidak aku mengerti. Sekitar dua menit. Kaki dan tangannya melakukan pergerakan yang tidak terorganisir serta mulutnya mengecap-ngecap dan matanya terlihat sayu, dia bergerak ke arah yang tidak terkontrol.
Aku terkejut dan bertanya, “Ada apa?” tapi tidak dijawab. Sempat aku katakan padanya untuk tidak bercanda. Sampai akhirnya dia berhenti dari pergerakan aneh itu dan lalu tersadar. Dia menanyakan apa yang telah terjadi. Aku sedikit marah mengapa dia bercanda seperti itu, karena terasa tidak lucu bagiku. Lalu dia meminta maaf dan mengatakan ingin mengungkapkan yang sejujurnya namun aku diminta berjanji untuk tidak meninggalkannya jika telah ia katakan. Ternyata dia memiliki penyakit epilepsi. Ya epilepsi, atau kata lainnya sawan atau ayan. Sangat sulit saat itu untukku bisa menerima kejujurannya. Terasa sulit karena dia baru mengatakannya setelah itu terjadi di depan mataku. Selama setahun dia menyembunyikannya dariku. Dia mengaku penyakitnya bisa kambuh sewaktu-waktu, terlebih ada pemicunya. Dia mengatakan kejadian yang pertama kalinya terjadi di depan mataku itu dikarenakan dia kehabisan obat yang harus dia minum setiap harinya. Dadaku terasa sesak saat itu. Pikiranku buntu.
Akhirnya seiring berjalannya waktu, aku mencoba pelan-pelan menerima, entah karena kasihan atau cinta, aku sudah tidak bisa membedakannya. Setelah kejadian itu, aku menjadi sering berbohong pada oran tuaku dengan mengatakan aku pulang sedikit larut malam karena ada tugas kelompok, padahal aku pergi menemaninya ke praktik dokter saraf yang hanya buka mulai dari pukul 6 sore hingga larut malam dengan antrean pasien yang banyak.
Aku mengantre dengannya di ruang tunggu praktik sambil sesekali tidak sengaja melihat mata orang lain sedang menatap kami yang mungkin penasaran apa yang terjadi dengan kami dan tidak jarang sebagian dari mereka juga bertanya. Darah dan jiwa bidang kesehatanku begitu muncul di saat-saat itu, aku banyak mencari tahu tentang penyakit yang dialaminya. Dan aku tahu kalau epilepsi itu bisa menularkan dan diturunkan, namun pada beberapa tipe saja, dan aku tidak mengerti dia terkena epilepsi tipe yang mana, karena dokter juga tidak memberikan keterangan yang jelas tentang jenis epilepsi yang dialaminya. Tidak, aku tidak lantas memutuskannya. Entah mengapa aku begitu tulus mencintai, mungkin karena dia yang pertama bagiku. Cobaan demi cobaan datang, sesekali kami pergi ke perpustakaan bersama untuk mencari referensi tugas akhir kami. Dia melakukan pergerakan aneh lagi. Dia berhasil membuatku panik dan sangat panik, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tahu kali ini bukan bercanda. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk langsung menghubungi kakaknya yang membiayai hidup dan kuliahnya saat itu karena ayahnya sudah tiada dan ibunya tidak bekerja karena sudah tua.
Tidak Mudah untuk Bersamanya
Di ujung sambungan telepon, kakaknya mengatakan agar aku tetap tenang dan menyuruhku untuk memeluk tubuhnya dengan kuat agar dia tidak terjatuh dan terbentur benda keras seperti lantai, dinding, ataupun meja. Aku lakukan tanpa peduli apa pun lagi sampai akhirnya dia sadar dan meminta maaf padaku karena telah menyusahkanku.
Setelah aku telusuri ternyata dia menghemat minum obatnya agar tidak cepat habis. Aku mencoba mengerti alasannya walaupun aku tidak setuju karena memang obat yang dikonsumsinya mahal dan tidak ada asuransi kesehatan yang bisa digunakan untuk menebusnya. Uang jajan yang diberikan padanya juga hanya sedikit sekali. Sampai dia mencari uang tambahan dengan mengajar les privat matematika anak sekolah dasar. Lumayan hasilnya dengan tambahan uang jajanku untuk kami bisa menebus obat. Sampai akhirnya, penyakit itu membahayakan diriku juga. Sangat berbahaya dan tak kusangka sebelumnya. Saat kami pergi menuju kampusnya, aku duduk di belakangnya menaiki motornya. Seketika, dia menabrak deretan betor yang berjejer di pinggir jalan. Kami terjatuh karena telah menabrak betor tersebut. Dan dia melakukan pergerakan aneh lagi. Penyakitnya kambuh lagi.
Aku seketika berteriak memanggil teman-temannya yang kebetulan tidak jauh dari lokasi kejadian yang berada di seberang kampusnya. Teman-temannya yang sudah mengetahui keadaannya langsung cepat berlari untuk menolong kami serta menjelaskan kepada bapak-bapak pemilik betor tersebut tentang keadaan pacarku yang sebenarnya. Sempat terdengar olehku satu atau dua orang dari pemilik betor menyebut pacarku “gila”, namun tidak aku gubris. Malu? Tidak ada lagi aku merasakan malu, sepertinya saraf maluku sudah tiada. Aku hanya mengucapkan permintaan maaf dan berjanji akan mengganti kerusakan yang diakibatkan karena kejadian tabrakan tadi.
Advertisement
Melepasnya
Lantas, aku yang kondisi lukanya tidak terlalu parah langsung membawa pacarku ke klinik terdekat untuk mengobati luka yang dialaminya di daerah kepala, lengan, dan kakinya. Saat itu, aku cukup mengeluarkan banyak uang untuk biaya pengobatan serta ganti rugi kerusakan betor yang telah kami tabrak. Sejak saat itu, aku sering bertanya dalam hati, apakah hanya aku yang mengalami perjalanan cinta serumit ini? Kami akhirnya lulus kuliah dan masing-masing telah bekerja. Saat itu aku mengajar di salah satu kampus swasta di bidang kesehatan dan dia bekerja di sebuah bank swasta yang cukup punya nama. Aku sempat khawatir dia bekerja di sana, aku takut dia membuat masalah karena kondisi penyakitnya, tapi harus bagaimana lagi, dia juga berhak untuk hidup dan meneruskan perjalanannya. Yang aku lakukan hanyalah selalu mencoba mengingatkannya melalui telepon karena kami sudah berada di kota yang berbeda.
Setelah setahun bekerja dan menjalani long distance relationship, dia ingin menikahiku dan memintaku untuk menanyakannya ke orangtuaku yang sudah mengenaalnya namun tidak tentang penyakitnya. Otakku langsung berpikir keras bagaimana aku mengatakan kepada orangtuaku dan apakah mereka akan bisa menerima. Aku tidak ingin membohongi orangtuaku. Aku lantas mencoba mengatakan keadaan yang sebenarnya kepada orang tuaku. Singkat cerita, mereka memintaku dengan baik agar aku menjauhi dia perlahanlahan karena takut akan bahayanya dan kalau kalau penyakit itu diturunkan.
Akhirnya aku dengan tegas memutuskan hubungan dengannya pada saat itu, karena bagiku seperti tidak ada harapan kalau orangtuaku sudah berkata tidak. Aku tidak ingin perlahan-lahan menjauhinya, karena itu terlalu menyakitkan. Aku ingin itu segera terjadi. Tentu bukan main sedih yang aku alami. Sempat dia mengajakku untuk “kawin lari”, dan tentu saja aku tidak setuju. Kami jalani kehidupan kami masing-masing. Sampai setelah beberapa tahun kemudian dia menghubungiku dan mengatakan ada perempuan yang sedang ia dekati dan ingin dijadikannya pendamping hidupnya kalau diriku memang benar-benar tidak mau dengannya.
Empat tahun berlalu setelah kami berpisah, dia masih mengharapkan cintaku, tapi tidak juga bisa kukatakan “ya” untuk menikah dengannya. Satu hal yang aku ingat kata terakhirnya melalui sambungan telepon, “Kau adalah wanita yang tidak bisa berada di dekatku sampai masa tuaku, tetapi kau adalah wanita yang akan selalu ada di dalam hatiku sampai akhir hayatku." Ya, dalam cinta kita memang harus berkorban, walaupun kelak dia tidak menjadi milik kita. Karena sejatinya kita hanyalah milik yang Maha Kuasa. Semoga kisahku ini bisa menginspirasi wanita di luar sana bahwa tidak akan ada penyesalan dari setiap perbuatan baik, yang ada ialah kenangan indah dan catatan pahala di akhirat kelak. Bahwa tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini, tapi kita lah yang harus saling menyempurnakan kekurangan-kekurangan itu. Aku bahagia melihat dia bahagia dengan keluarga kecilnya saat ini.
#GrowFearless with FIMELA