Fimela.com, Jakarta Belakangan ini, isu RKUHP ramai dibicarakan. Sebab, rancangan undang-undang tersebut dinilai kontroversial dan merugikan perempuan. Salah satu contohnya, Pasal 470 dan 471 mengenai Pengguguran Kandungan. Pasal ini menyebutkan, jika perempuan menggugurkan atau mematikan kandungannya, atau meminta orang lain menggugurkannya akan terkena pidana penjara paling lama 4 tahun.
Dalam pasal tersebut, juga dijelaskan mengenai hukuman bagi siapa saja yang melakukan aborsi tanpa persetujuan perempuan hamil, maka pelaku akan terancam 12 tahun penjara. Sementara itu, ketika aborsi menyebabkan kematian pada perempuan hamil, pelaku aborsi akan terancam hukuman penjara 15 tahun lamanya.
Advertisement
BACA JUGA
Aborsi memang telah lama dilarang di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, dalam ayat 2 pasal tersebut, terdapat pengecualian untuk para korban pemerkosaan dan ibu dalam keadaan gawar darurat. Pada Pasal 76, juga terdapat penjelasan bahwa pratik aborsi untuk korban pemerkosaan dapat dilakukaan saat usia kehamilan maksimal 6 minggu.
Advertisement
Bertentangan dengan UU Kesehatan Pasal 75 dan 76
Pendiri dan Peneliti Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), ATashendartini Habsjah mengatakan pasal yang dibuat tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan Pasal 75 dan 76.
"Kita sudah punya UU kesehatan yang baik, ditambah peraturan menterinya. Dan kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) 2016 khusus untuk layanan aborsi bagi kasus perkosaan. Jadi sebenarnya bukan urusan pidana," ujar Pendiri dan peneliti Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Atashendartini Habsjah, paparnya kepada Fimela.com, belum lama ini.
"Sudah diperkosa, hamil, harus menanggung bayi yang tidak diinginkan, aborsi, dikriminalisasi pula karena tindakannya. Kriminalisasi terhadap pelaku abosi dan pemberi layanan tanpa melihat alasannya sangat merugikan," tambahnya.
3 Dampak Disahkannya RKUHP
Atashendartini juga mengungkapkan, dampak jika peraturan baru tentang aborsi tersebut disahkan:
1. Mengabaikan layanan aborsi
Pasal tersebut, ungkapnya membuat pemerintah akan mengabaikan penyediaan layanan aborsi yang aman untuk perempuan. Khususnya untuk korban pemerkosaan.
“Layanan aborsi ilegal dan tidak aman justru tetap akan meningkat. Secara tidak langsung hal ini dapat menempatkan kehidupan perempuan semakin berisiko,” paparnya.
2. Praktik aborsi ilegal
Maraknya praktik aborsi ilegal di klinik-klinik bersalin yang menawarkan biaya yang tinggi, hingga melakukan percobaan pengguguran sendiri kehamilannya dengan cara-cara tidak aman. Menurutnya, hal ini tentu berkontribusi signifikan terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yang mencapai 307 dari 100 ribu kelahiran hidup setiap tahunnya.
3. Menyebabkan kematian
Atashendartini melanjutkan, jika ini juga bertentangan dengan komitmen Presiden di SDG's (Sustainable Development Goals) soal menurunkan AKI, di mana Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) menyumbang 75 persen angka kematian ibu.
Bukan cuma kematian, korban pemerkosaan yang mengakses aborsi tidak aman tentu merasa kesakitan saat aborsi dilakukan. Kalau aborsi tidak berhasil, risikonya adalah kecacatan pada bayi yang dilahirkan.
#Growfearless with FIMELA