Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Ana Hidayah - Indramayu
Tuhan Sudah Memperingatkanku Melalui Petunjuk Semesta, tapi Aku Mengabaikannya
Hai Sahabat Fimela, aku masih dalam kondisi berkabung. Ibuku baru saja menghadap Sang Pencipta tepat pada 17 Agustus lalu. Hari Jumat ini tepat 40 hari kematian beliau. Ibu, kait eratannya dengan kisahku bersama seseorang yang kini sudah tidak bersamaku. Bahkan hingga ajalnya menjemput pun, hati ibu masih diselimuti lara akibat perceraianku.
Pada saat itu, bertahun-tahun yang lalu, sebenarnya semesta sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakcocokan kami dalam pernikahan. Pertama, hubungan kami tidak direstui oleh seorang ustazah tempat aku menuntut ilmu. Saat itu aku masih terlalu muda, dan ustazah itu sangat mengkhawatirkanku karena aku masih terlihat polos. Dengan halus, ustazah itu meminta agar lelaki itu menemuinya terlebih dahulu sebelum melamarku. Tapi laki-laki itu tidak mau. Alasannya karena kalau sudah mendapat restu dari orang tua, kenapa harus menemui ustazah lagi? Dari situ, sebenarnya aku mulai ragu. Memangnya kenapa dia tidak mau menemui ustazahku? Kalau dia benar, harusnya kan tinggal temui saja, apa susahnya? Tapi oke lah, aku masih bisa terima. Mungkin dia benar, toh sudah direstui oleh keluargaku. Pernikahan kami tidak akan batal hanya karena tidak direstui ustazahku.
Kedua, selama tiga minggu persiapan pernikahan, aku selalu ribut dengan orangtuaku. Bapak dan ibu selalu saja komplain, yang seserahannya kurang banyak lah, yang maharnya kurang lah. Aku kesal, aku yang mau nikah kok mereka yang rempong sih? Lagian menikah itu kan yang penting berkahnya, untuk apa mengurus printilan yang sepele? Yang penting kan kelak dia bertanggung jawab.
Lagian, kalau memang bapak dan ibu nggak setuju, kenapa nggak dari awal aja menolak lamarannya? Aku sampai beberapa kali ribut sama orang tuaku karena apa yang mereka beri tidak sesuai dengan ekspektasi ibu. Menurut ibu, mahar itu simbol nafkah. Kalau saat ini memberi mahar saja mereka pelit, khawatir nanti dalam memberi nafkah pun begitu. Namun aku meyakinkan ibu, kalau itu hanya kekhawatiran ibu saja.
Ketiga, gaun pengantinku tidak sesuai dengan ekspektasiku. Gaun yang aku rancang sendiri, rusak karena si penjahit kurang halus dalam memotong polanya. Sehingga gaunnya hancur. Bagian bokong kedodoran, panjangnya kurang, udah gitu bagian kaki terlalu sempit. Nah, kebayang kan hancurnya kayak apa? Aku malu banget. Kayaknya baru kali ini ada pengantin yang di hari bahagianya malah cemberut kayak aku. Akhirnya setelah akad selesai periasnya menawarkan ganti gaun dengan gaun yang dia bawa. Tapi gaun itu pun ukurannya kekecilan. Pernikahan yang bikin bete!
Advertisement
Tanda-Tanda
Keempat, saat ijab qabul, mempelai priaku salah mengucapkan ijab qabul nggak tanggung-tanggung, sampai lebih dari 10 kali! Pernah dengar kan kalau salah mengucapkan ijab qabul lebih dari 3 kali itu pertanda buruk? Aku udah deg-degan terus saat itu. mana menahan malu dengan gaun yang nggak nyaman dan nggak banget itu, ditambah kesalahan ijab qabul mempelai pria yang sampai 10 kali. Apakah ini pertanda bahwa pernikahanku akan mengalami banyak masalah? Tapi demi bersatunya cinta kami, aku pun menampik pertanda yang begitu jelas itu. Sebenarnya ada satu yang mengganjal di hatiku, apa dia nggak ada persiapan apa-apa supaya lancar mengucapkan ijab qabul dalam satu tarikan napas? Kalau untuk pernikahan saja dia tidak mempersiapkan diri, bagaimana nanti kalau punya anak? Namun pikiran negatif itu pun aku tampik, demi resminya kami menjadi suami istri.
Kelima, satu hari setelah pernikahanku, si suami tiba-tiba dipanggil oleh orangtuanya disuruh pulang. Aku tidak ingat saat itu alasannya apa. Yang jelas, aku sudah melarangnya pergi. Nggak baik, masih pengantin baru udah pergi-pergi gitu. Hanzalah sahabat Rasul saja dilarang pergi berperang oleh Rasulallah karena dia baru saja melangsungkan pernikahan. Takut ada apa-apa. Benar saja, saat Hanzalah ngotot ikut berperang, dia syahid. Itu skala perang yang membela agama dan negara, dilarang sama Rasul. Apalagi dia yang hanya karena urusan sepele. Tapi, satu hal yang membuatku sakit hati adalah ketika terucap kata-kata dari mertuaku, "Kamu memilih orangtuamu atau istrimu? Laki-laki mah harus lebih (memilih) ke orangtua meskipun dia udah nikah. Beda sama perempuan. Dia yang harusnya nurut sama kamu! Dalam hal nafkah juga gitu, orangtua dulu baru istri!”
Seketika itu tangisku langsung pecah! Dari serangkaian kejadian di atas, kenapa semuanya baru terlihat jelas sekarang? Setelah aku sah menjadi istrinya? Baru hari pertama, dia sudah membuatku menangis. Bagaimana hari-hari berikutnya? Yang lebih parah lagi, dia tidak sedikit pun mempedulikan air mataku! Dia tetap pergi, dengan urusan sepele yang membuat ibunya berkata seperti itu. Besoknya dia datang, merayuku, dan aku luluh.
Dia Bukan Suami yang Baik
Bertahun-tahun kemudian, setelah kelahiran anak pertamaku, kami bahagia. Hanya ibuku yang bermuka masam. Di tengah kebahagiaanku, ibu berbisik, “Suamimu nggak punya uang apa buat bayar rumah sakit?” Ternyata biaya rumah sakitku dibayarin ibu! Aku malu di hadapan ibu, tapi juga nggak enakan sama suami.
Dua tahun kemudian, anak keduaku lahir. Ini adalah persalinan paling tragis yang aku alami. Saat aku melahirkan anak keduaku, ayahnya anak-anak (aku malas menyebutnya suami, aku berharap aku tak pernah menikah dengannya) terlibat kasus penipuan. Menyebalkannya, yang dia lakukan hanyalah tidur-tiduran di rumah. Tidak bekerja, rumah digedor orang-orang yang menagih pertanggungjawaban dia, udah gitu, terkadang dia bersembunyi, sehingga aku yang masih lemah karena melahirkan ini yang harus menghadapi orang-orang itu. Stres? Pasti. Aku bahkan dituduh memakai uang mereka untuk menyewa rumah dan biaya persalinan. Padahal aku nggak mengambil sepeser pun. Malah uang tabunganku yang aku siapkan untuk persalinan juga diambil bapaknya anak-anak.
Udah gitu, aku udah berkorban sedemikian ekstremnya, boro-boro dia menghargai pengorbananku. Suatu hari di rumah ibuku, dia ngomong dengan sangat keras. Aku yakin ayah ibuku mendengar. Dia bilang, “Sku mau sedekah ke anak yatim,” katanya.
“Anak yatim siapa?” kutanya. Tadinya aku akan bilang, beramal dan bersedekah apa pun akan sia-sia kalau anak istrimu sengsara! Tapi tidak lama dia jawab, dia menyebutkan nama kedua orang tuanya.
“Mereka anak yatim kan?” katanya.
Aku udah males, pasti akan berdebat panjang. Aku melengos dan pergi tidur. Yang paling membuatku tidak enakan, ada kedua orang tuaku di sana. Mereka pasti mendengar, tapi mereka diam saja. Aku bukan tidak menyetujui dia berbakti kepada kedua orang tuanya dengan cara memberi uang, tapi, perkataan orangtuanya dari awal pernikahan hingga sekarang yang membuatku sakit hati. Makanya, hingga sekarang dia lepas tanggung jawab pun tidak lepas dari pengaruh dari orangtuanya. Selain juga pengaruh dari istri barunya.
Aku udah nggak tahan lagi, aku bilang ke bapak, aku ingin cerai. Tapi bapak bilang, “Jangan." Kenapa bapak masih sebaik itu sih ke dia? Padahal dia udah bikin bapak dan ibu capek hati dengan sikap dan perkataannya. Tapi aku menghargai saran dan nasihat bapak, aku bertahan.
Dia semakin menjadi ketika bapak udah nggak ada. Bapak meninggal karena penyakit komplikasi. Aku sempat dikatain anak yang nggak peduli dengan bapaknya karena aku telat datang ke pemakaman bapak. Padahal aku telat karena menunggu dia yang nggak mau bangun untuk pergi ke pemakaman bapak. Bebal banget kan dia jadi orang? Nggak menghargai orang lain yang lagi berduka! Keinginanku untuk bercerai masih sangat tinggi. tapi aku nggak enakan, karena ibu baru saja berduka. Jadi aku masih bertahan hingga saat itu.
Hingga suatu hari, kesabaranku telah sampai pada puncaknya. Saat itu aku berpikir keras bagaimana caranya bisa nyicil membayar pertanggungjawaban kepada korban-korban penipuan bapaknya anak-anak. Aku hendak menjalankan sebuah bisnis. Aku izin kepada ibuku untuk meminta modal untuk membuka usaha itu, tapi ibu tidak memberi. Aku nggak kehabisan akal, aku meminta izin kepada ibu untuk memakai surat tanah warisan dari bapak untuk aku gunakan, aku hendak mengajukan pendanaan ke bank. Tapi ibu bilang, daripada ke bank, mending digadaikan ke tetangga aja. Soalnya di bank persyaratannya rumit, udah gitu ada jatuh tempo segala. Kalau di tetangga, nggak ada bunga, udah gitu jangka waktunya fleksibel, bisa dibayar kapan pun kalau kita punya uang.
Oke, aku menyetujui usulan ibu. Didapatlah sejumlah uang. Namun di tengah perjalanan, aku ragu untuk menggunakan uang itu. Aku menyimpannya saja, tidak mempergunakannya. Hanya beberapa saja untuk keperluan anakku. Karena aku udah lama nggak mendapat uang jajan dari bapaknya anak-anak.
Sampai suatu hari, tumben-tumbenan aku sama bapaknya anak-anak kompak. Kami ingin membeli mobil untuk usaha narik taksi online. Kebetulan ada temen dia yang mau menjual mobilnya murah. Tapi jujur aku masih ragu untuk menggunakan uang itu. Aku masih berpikir untuk menyimpannya saja dulu. Tapi kalau aku simpan terus, yang ada bapaknya anak-anak keenakan, nggak usah kerja, tinggal pakai saja uang itu untuk makan. Terus kalau uangnya abis, mau nebus tanah itu pakai apa? Karena kekhawatiranku yang berlebihan, akhirnya aku setuju lah untuk menggunakan uang itu buat beli mobil.
Sebenarnya ada banyak tanda-tanda juga dari semesta kalau membeli mobil itu bukan hal yang bijak. Pertama, mobil temen dia itu tiba-tiba aja udah laku. Kami nggak jadi membeli mobilnya. Saat itu aku lega. Tapi tiba-tiba bapaknya anak-anak nemu mobil lain yang membuat dia langsung jatuh hati sama mobil itu. Langsung lah dia bayar cash mobil itu! Seharusnya kan komunikasikan dulu sama aku, aku udah yakin atau nggak untuk membeli mobil itu. Kenapa dia bertindak seenaknya sendiri? Lagipula, kenapa nggak test drive dulu sih? Tes beberapa hari, apakah mobil itu sehat atau nggak. Ini main bayar cash aja, pake duit orang pula! Eh... ternyata, itu mobil rongsok. Ada aja masalahnya. Yang karburator bocor lah, aki boros, AC panas, oli bocor. Beli mobil itu bukannya untung bisa dipake usaha, malah tekor buat perbaikan doang. Terakhir, dia (pura-puranya) menjual mobil itu ke bengkel, dihargai murah sekali. Setelah dia potong sana-sini, dia memberiku uang Rp10 juta dari hasil penjualan mobil itu.
Advertisement
Bercerai
Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana pertanggungjawabanku kepada ibu? Kenapa sih dia selalu bersikap ceroboh? Kenapa sih dia selalu membiarkan keluarga ini terlibat dalam masalah? Kenapa sih dia tidak pernah bertanggungjawab atas perbuatannya? Kenapa sih dia selalu bertindak sendiri, nggak mau dengerin aku? Oh, rupanya kekhawatiranku saat hari pernikahanku itu benar.
Kalau untuk ijab qabul saja dia tidak mempersiapkan diri, bagaimana ke depannya? Bagaimana kalau dia tidak pernah mempersiapkan masa depan anak-anak kami? Sampai di sini aku mengerti. Dia selalu bertindak semaunya. Dia tidak pernah memikirkan kami anak istrinya. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku berpikir, pernikahan ini tidak akan berhasil. Keinginanku untuk bercerai pun mantap. Tapi aku masih maju mundur, menunggu hal apa lagi yang akan dia lakukan?
Aku bertanya kepadanya, “Apa rencana kamu untuk menebus tanah yang digadai itu? Kita udah nggak punya apa-apa. Uang kita sudah diinvestasikan seluruhnya untuk mobil sialan itu!” kubilang.
Dia marah. “Udah lah, kan masih ada ibu kamu!” katanya. “Jual aja tanah itu, beres kan?” lanjutnya.
Lancang sekali mulut dia! Dengan tangis yang tak henti-henti, aku pulang ke rumah ibuku. Aku berlutut, meminta maaf kepadanya. Aku meminta maaf untuk dua hal. Pertama karena aku tidak bisa membayar utang itu, kedua aku meminta maaf karena ingin meminta izin untuk menceraikan laki-laki nggak tahu diri itu. Ibuku marah besar. Mengetahui hal itu, memberi celah kepada bapaknya anak-anak untuk semakin menyakitiku. Dia memfitnahku kalau aku adalah anak yang dibenci oleh keluarganya karena sikapku. Padahal keluargaku membenciku gara-gara dia! Lalu dia pamer cewek baru, diajaknya cewek itu kondangan ke nikahan temen-temennya. Dia mengaku kalau dia sudah bercerai denganku. Padahal masukin berkas ke pengadilan pun belum!
Aku marah besar. Dengan perasaan campur aduk, aku memantapkan hati mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Memangnya kamu pikir aku nggak berani apa ngelakuin hal ini? Aku lega udah cerai dari dia. Jujur, nggak ada penyesalan sama sekali. Yang menjadi penyesalanku satu-satunya hanya ibu, beliau harus menghabiskan masa tuanya untuk membayar utangku. Sebenarnya karena kekerasan hati ibu juga yang nggak mau kehilangan tanah itu. Dia terlalu cinta dengan tanah itu. Bahkan lebih dia cintai daripada anaknya. Aku kelaparan aku stres dia nggak peduli. Dia lebih peduli dengan harta-hartanya. Bahkan saat ibu kritis, dia tidak mau memberi tahu di mana dia menyimpan uang. Padahal maksudnya, itu untuk bayar rumah sakit!
Beliau punya banyak simpanan gabah di gudang, pernah aku meminta izin untuk menjual gabah-gabah itu untuk modal aku ngontrak, biar aku bisa bekerja di kota. Nggak, dia lebih memilih gabah-gabah itu membusuk sampai tidak laku daripada dia berikan kepadaku. Dia suka melihatku menderita. Karena dia ingin menghukumku. Uang sudah membuat ibuku bersikap lebih buruk dari ibu tiri. Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Aku menulis dan menerbitkan buku, membuat film, banyak kreativitas yang aku kembangkan selama aku hidup tanpa suami. Dari segi personality, aku jauh lebih berkembang dari sebelumnya.
Kini, ibu sudah tiada. Beliau meninggal karena penyakit ginjal dan lambung yang dideritanya. Saat itu beliau menderita katarak, aku udah menyarankan, jangan dulu operasi katarak, kita sembuhin dulu lambung sama ginjalnya. Karena penyakit itu yang bisa menyebabkan kematian. Aku belum pernah mendengar kasus orang meninggal karena katarak. Kalau menyebabkan kebutaan iya. Makanya, menurutku yang penting kebugaran dulu lah. Obati penyakitnya yang udah parah itu. Tidak, ibu masih marah. Ibu nggak mau mendengarkan perkataanku. Akhirnya pada tanggal 9 Agustus beliau anfal, dilarikan ke rumah sakit, dan pada tanggal 17 Agustus beliau meninggal.
Aku seperti kosong. Nggak percaya beliau yang sedang menghukumku itu ternyata merasakan sakitnya sakaratul maut. Namun saat menjelang ajalnya beliau tersenyum kepadaku. Minta aku ngajiin, dan beliau memegang tanganku. Baru kali itu aku menangis untuk ibu. Kenapa nggak dari dulu sih Bu, menunjukkan kasih sayang seperti itu? Kenapa harus membenciku selama ini?
Itulah kisah percintaan tragisku karena tidak menghiraukan petunjuk semesta. The point is, dengarkan tanda-tanda semesta untuk menerima seseorang ke dalam hidupmu. Terkadang Tuhan memberikan petunjuk lewat persetujuan orang tua, persetujuan seorang guru, bahkan melalui baju pengantin. Selagi masih bisa menyelamatkan dirimu, selamatkanlah. Jangan tunggu kamu babak belur di tangan orang yang memang tidak Tuhan ciptakan untukmu. Yang bukan untukmu, sebaik apa pun dia, secinta apa pun kamu kepadanya, lepaskanlah. Karena, percayalah kalau dia jodohmu, dia tidak akan pernah menyakitimu.
#GrowFearless with FIMELA