Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Fera Nofiana - Yogyakarta
Aku Ikhlas Apabila Perbedaan Ini Membuat Kita Tak Bisa Bersama
Aku adalah wanita berusia cukup dewasa, di mana hampir sebagian teman-temanku sudah menikah dan memiliki anak. Sedangkan aku, masih kesana kemari mengejar karier. Kehidupan percintaanku selama ini tak begitu menarik. Mencintai tapi tak dicintai balik, dicintai tapi aku yang tak mencintainya, dan kisahku yang paling menyakitkan di sini adalah ketika aku dan dia sama-sama saling mencintai tapi tak bisa bersama.
Dia adalah teman lamaku. Dulu, aku tak pernah peduli dengannya. Walaupun sebenarnya aku sudah tahu bahwa dia memiliki perasaan padaku. Setelah sekian lama, aku kira dia akan menyerah tapi nyatanya dia tetap berusaha. Setelah lulus sekolah, dia meminta nomor teleponku dan kami saling berkomunikasi jarak jauh karena dia bekerja di luar kota.
Awalnya aku masih tak peduli dengannya, seperti halnya teman biasa, aku membalas pesan sekadarnya. Setelah tiga tahun, dia masih terus menghubungiku. Karena sering terbiasa dengannya, perasaan cinta timbul dengan sendirinya. Aku mulai sangat dekat dengannya, kami mulai saling bertukar cerita pribadi seperti halnya orang menjalin hubungan padahal tanpa status apa pun. Aku sering bertanya-tanya, mengapa dia tak mengungkapkan perasaannya setelah sekian lama?
Aku pernah mengajaknya untuk datang ke rumah bertemu dengan keluargaku, tapi dia selalu menolak. Dan aku sempat berpikir buruk tentangnya, karena itu selama satu tahun kami tak berkomunikasi. Aku selalu berpikir bahwa dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya dan dia mendekatiku hanya untuk pelampiasan. Tak hanya itu, ada banyak hal yang membuatku merasa benci kepadanya. Tapi suatu waktu ada suatu kejadian yang membuat kami kembali saling berkomunikasi. Kejadian kerusuhan pemilu yang sempat heboh di pertengahan tahun. Ya, aku mengkhawatirkannya lebih dari aku mengkhawatirkan diriku sendiri. Aku menghubunginya terlebih dahulu dan menanyakan keadaannya. Saat itu, rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Takut jika suatu hal yang tidak diinginkan terjadi kepadanya.
Advertisement
Aku Merasa Dia Untukku
Karena aku terus berpikir buruk, akhirnya aku menanyakan banyak hal pribadi kepadanya. Dia menjelaskan dengan sabar kepadaku mengenai kisahnya itu. Ternyata aku salah. Aku terlalu overthinking. Dia tak seburuk yang aku kira. Dia sabar, tak pernah mengekang ,dan sosok yang penyayang. Baktinya kepada orangtua dan dedikasinya dalam pekerjaan membuatku malu dengan diriku sendiri. Dia hampir tak pernah marah, tapi kadang-kadang cueknya bikin ngelus dada. Aku selalu berpikir buruk, seperti kalau-kalau di tempat kerjanya banyak wanita yang lebih menggoda atau mungkin dia sebenarnya sudah punya wanita idaman lain.
Tapi dengan rasa percaya diri, aku yakin bahwa dia ditakdirkan untukku. Terlalu percaya diri memang, tapi nyatanya begitu. Tepat setelah hari raya, aku meminta waktunya untuk membicarakan kelanjutan hubungan tanpa status ini. Aku lelah dengan hubungan tarik ulur selama kurang lebih 3 tahun ini. Aku bertanya kepadanya bagaimana sebenarnya perasaan dia selama ini kepadaku. Dengan terlalu percaya diri aku membuka balasan pesannya, dan dia berkata, “Kita hanya bisa menjadi sahabat."
Perasaanku campur aduk, rasanya antara ingin marah, mengumpat, dan menangis. Aku tidak terima, jadi selama ini dia hanya menganggapku sahabat. Dengan menahan tangis aku mengiriminya pesan sedikit bernada marah. Aku tidak terima, dia memberikan seseorang harapan dan dengan mudahnya dia menghancurkannya dengan satu kalimat pendek. Setelah sekian lama tak berstatus tapi saling peduli, perhatian-perhatian kecil itu, dan semuanya hanya sekadar candaan.
Seperti halnya wanita biasa, aku juga bisa jadi bucin. Aku merayunya, aku berjanji tak akan merepotkannya dan aku juga akan menjadi wanita yang baik, mandiri, dan tidak aneh-aneh. Dia membalas bahwa aku tak perlu jadi orang lain, cukup jadi diriku sendiri karena dia menyukaiku karena aku adalah aku. Dia mengatakan bahwa aku adalah wanita yang berbeda, aku sederhana, tak aneh-aneh, baik, dan lain-lain.
Terhalang Perbedaan
Dia mengaku bahwa sudah lama sekali sejak di bangku sekolah dia suka kepadaku tapi tak sanggup untuk mengungkapkannya. Sudah lama dia ingin bersamaku tapi ada satu hal yang membuatnya bimbang. Dia mengatakan ada hal yang ingin dia raih dan belum berpikir untuk sebuah pernikahan. Dan aku pun masih tidak bisa menerima alasan itu, tapi akhirnya dia memberikan satu alasan yang membuatku berpikir untuk menyudahi percakapan itu. “Kita berbeda."
Dia menjelaskan bahwa ada perbedaan yang tidak bisa kita satukan, yaitu perbedaan aliran agama. Bagi kami, perbedaan aliran itu adalah suatu penghambat yang tidak bisa ditoleransi walaupun kami berada di satu agama yang sama. Ketimpangan itu membuatku bungkam dan tak mau berkomentar apapun.
Aku diam sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk tetap tenang. Dengan langkah berat dan ragu, aku berjalan menuju tempat di mana orangtuaku sedang mengobrol. Dengan nada berat dan menahan tangis, aku mengatakan bahwa kami tak bisa bersama. Aku jabarkan alasan itu dan orang tuaku mengatakan, “Tidak." Baiklah, ini sudah menjadi akhir.
Orangtua kami pun tak menyetujuinya. Aku sangat terpukul dan dengan berat hati aku menutup percakapan itu dengan saling mendoakan. Padahal ada sesuatu yang ingin aku tanyakan, dan rasanya ini belum berakhir. Pertanyaan itu adalah, “Jika kamu tahu kita tidak bisa bersama karena perbedaan ini, mengapa kamu tetap mendekatiku? Apa kamu hanya ingin balas dendam, atau hanya ingin main-main saja?” Tapi sudahlah, semua sudah berakhir. Aku tak ingin memperpanjang cerita, lebih baik aku tidak tahu yang sebenarnya daripada akhirnya akan lebih menyakitkan.
Advertisement
Harus Berpisah
Selama kejadian itu aku menutup diri, menghilang dari peradaban medsos alih-alih menenangkan diri. Aku memutuskan untuk pergi ke luar kota untuk mencari ketenangan dan suasana baru. Selama di kota itu, aku mengistirahatkan diri dan menutup diri untuk siapapun. Aku kembali menolak beberapa lelaki yang berniat melamarku. Walaupun aku pergi, kenangan-kenangan itu terus mengikuti. Aku sulit membuka hati untuk siapa pun. Belum ada yang bisa menggantikan kesabaranmu ketika menghadapiku. Aku suka ketika kamu bilang, “Halo, kenapa kok sedih, coba sini cerita.” “Cerita sini, cerita apa aja deh yang penting kamu cerita.”
Aku sebenarnya tak menginginkan apa pun dari pasanganku kelak, aku hanya ingin seseorang yang bisa sabar, penyayang, tidak kasar, dan menerima semua kekuranganku. Kamu mewakili semuanya, tapi ternyata takdir berkata lain. Semoga kelak ada wanita yang dipilihkan untukmu yang lebih dariku. Terkadang, kita dipertemukan dengan seseorang karena suatu alasan. Walaupun tak bisa bersama dengannya, setidaknya dengan perpisahan ini kita belajar arti menghargai perasaan orang lain. Dan tentu saja, pelajaran untuk mengikhlaskan sesuatu yang sejatinya belum dapat kita miliki. Awalnya memang sulit, tapi perlahan-lahan kita akan mulai terbiasa.
Kamu, mencintaiku dalam diam selama bertahun-tahun dan berakhir dengan kisah seperti ini. Maafkan aku, semoga kamu bisa bahagia dan aku pun begitu.
#GrowFearless with FIMELA