Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta
Saat ini masyarakat tengah fokus kepada salah satu institusi negara bidang legislatif, yaitu DPR. Yang membuat masyarakat semakin memantau kinerja DPR adalah bagaimana institusi ini mengklaim pekerjaannya dalam merevisi KUHP hampir selesai. Pihak DPR mengatakan hampir selesai karena telah membuat jadwal untuk mengesahkan RKUHP pada tanggal 24 September 2019. Sejak tahun 2018 lalu memang ada perubahan sekitar 700 pasal. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Teuku Taufiqulhadi dari Fraksi NasDem.
"Sekarang kita sudah selesaikan 100 persen, sudan sekitar 700-an pasal lebih," kata Taufiq di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/6/2018) dilansir dari Liputan6 (3/6/2018).
Advertisement
Namun klaim tersebut ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Sebut saja beberapa pasal yang dianggap kontroversial seperti pemidanaan aborsi, penghinaan terhadap presiden, perzinahan, dan LGBT. Masyarakat menjadi resah bilamana pasal-pasal dalam KUHP yang baru malah menimbulkan ketakutan publik, terancamnya demokrasi, ketidakberpihakan terhadap korban dan menyudutkan beberapa kelompok masyarakat.
BACA JUGA
Advertisement
Fokus RKHUP Agar Relevan Untuk Masyarakat
KUHP sebagai hukum yang menjadi dasar tentang pemidanaan seharusnya tidak hanya bersifat retributif saja. Yang dimaksud retributif adalah sekadar memberikan hukuman tanpa mempertimbangkan tindak pencegahan dan rehabilitasi bagi pelaku dan keadilan untuk korban. Salah satu Dosen Kriminologi UI, Dr. Anggi Aulina Harahap Dipl.-Soz berpendapat bahwa RKUHP harus melihat banyak aspek dalam masyarakat.
Melihat bahwa penghukuman saja tidak akan merubah kondisi sosial suatu masyarakat tanpa ada upaya pembenahan, apalagi dari sistem hukumnya. Saat ini memang sudah diwacanakan untuk mengusung sistem hukum yang bersifat restoratif. Artinya fokus tidak hanya penghukuman dan pelaku saja, tetapi bagaimana hukuman diciptakan untuk membuat kondisi sosial yang pernah 'rusak' akibat suatu tindakan bisa kembali seperti semula dan lebih baik di masa yang akan datang.
Dua Pasal Yang Sangat Ditentang
Karena akan disahkan dalam beberapa waktu ke depan, penolakan mengenai beberapa pasal yang justru memperburuk kondisi hukum terus disuarakan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat dan lembaga bantuan hukum berfokus pada dua pasal seperti pemidanaan terhadap pelaku aborsi dan penghina presiden dan wakil presiden.
Sebut saja ICJR (The Institute for Criminal Justice Reform) yang sangat menentang pasal pemidanaan untuk aborsi, Melansir laman BBC Indonesia (3/9), rancangan terbaru RKUHP pada 28 Agustus 2019 Pasal 470, menyatakan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal empat tahun.
Pasal ini dianggap sangat bertentangan dengan UU Kesehatan tahun 2009 Pasal 75 ayat (2). Memang pihak DPR mengatakan ada kondisi khusus yang diperbolehkan dalam RKUHP, namun kondisi khusus tersebut bukan untuk korban perkosaan. "Di dalam konteks Islam ketika itu sudah 40 hari itu tidak boleh digugurkan lagi," kata Taufiqulhadi selaku anggota Komisi III DPR RI. Padahal dengan tidak mempertimbangkan kondisi psikologis dan fisik korban perkosaan yang hamil, bisa memperburuk keadaan korban. Hal ini juga bisa meningkatkan angka perkawinan anak dan tindak aborsi ilegal karena korban takut dipidana jika melakukan aborsi secara terbuka.
Pasal selanjutnya tentang penghinaan terhadap harkat dan kehormatan presiden di nomor 218, 219, 220. Kembali ditegaskan oleh Taufiqulhadi bahwa ketiga pasal ini merupakan delik aduan, sehingga tidak diproses jika tidak ada pengaduan mengenai konteks yang dicantumkan. Walaupun begitu, pasal ini bisa dibilang bersifat anti kritik dan mendorong kemunduran demokrasi. Kritik terhadap presiden bisa saja dikategorikans sebagai penghinaan jika ada yang delik aduan semacam itu.
Advertisement
Apa yang Seharusnya Dipertimbangkan untuk RKUHP
Untuk melihat apakah RKUHP yang diklaim DPR sudah nyaris selesai, perlu ada peninjauan ulang secara keseluruhan apakah pasal-pasal yang dirubah sudah layak secara hukum dan bisa diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Dr. Anggi menyebutkan setidaknya ada 4 landasan utama sebuah KUHP. Landasan yang dimaksud oleh Dr. Anggi saat dihubungi penulis dan merujuk dari salah satu tulisannya adalah sebagai berikut :
- KUHP sebagai sebuah peraturan seharusnya bukan sekadar urusan pemidanaan saja. Lebih jauh dari pada itu, KUHP juga harus melihat aspek lain seperti korban. Karena tidak jarang, dalam suatu sistem peradilan pidana yang menjadi fokus hanya pelaku, namun sedikit perhatian untuk korban dan kerugian yang dialaminya.
- KUHP sebagai rehabilitasi masyarakat. Dalam suatu aturan, ada dua pertimbangan yaitu penggentar dan penjeraan. Penggentar artinya peraturan memiliki kekuatan untuk membuat masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum. Kemudian penjeraan berarti masyarakat yang terjerat hukum merasa jera dan mendapatkan sanksi yang sesuai dengan kesalahannya. Selain sanksi, penjeraan juga berfokus untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik dan itu merupakan bentuk pelaksanaan rehabilitasi.
- KUHP harusnya menjadi upaya preventif terjadinya suatu kejahatan. Dr. Anggi merujuk hukum yang ada di Jerman, khususnya pidana setempat, bahwa harus ada klasifikasi yang jelas. Seperti bagaimana pelaku harus dihukum, penerimaan pelaku saat sudah selesai menjalani masa hukuman, dan kejahatan serupa tidak terjadi kembali.
- Seharusnya dalam penyusunan RKUHP ada semacam guideline, klasifikasi tingkat keseriusan kejahatan, kepastikan kodifikasi, dan apa yang disebut dengan 'political will' yang disesuaikan kebutuhan masyarakat.
Dari keempat landasan pemikiran tersebut, Dr. Anggi mengatakan fokus RKHUP bisa lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok rentan yaitu perempuan dan anak. Karena banyak sekali kerugian yang kelompok tersebut rasakan akibat kejahatan KDRT, kekerasan domestik, dan kejahatan struktural (kondisi yang sengaja dibuat untuk merugikan suatu kelompok).
#GrowFearLess with Fimela