Fimela.com, Jakarta Hukuman kebiri kimia dijatuhkan kepada Mohammad Aris atas kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak di Mojokerto, Jawa Timur. Penetapan hukuman kebiri ini sontak menyita perhatian publik sekaligus ditanggapi oleh beberapa pihak.
Komnas Perempuan menjadi salah satu pihak yang menentang ditetapkannya hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual. Dihubungi Fimela melalui sambungan telepon, Budi Wahyuni selaku Komisioner dan Wakil Ketua Komnas Perempuan mengatakan pihaknya sejak awal keberatan adanya hukuman pemberat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang tertulis pada Catatan Kritis 2016.
Advertisement
BACA JUGA
"Komnas Perempuan sendiri merasa ini (hukuman kebiri) bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain pemberatan pidana di penjara, ada semacam edukasi secara detail bagi pelaku kejahatan. Rata-rata yang melakukan perkosaan ini bagian dari konstruksi sosial yang tidak tepat. Sehingga edukasi seksual sendiri menjadi begitu penting," ujar Budi Wahyuni.
Dalam Catatan Kritis terhadap Hukuman Kebiri yang ditulis oleh Komnas Perempuan, hukuman kebiri dirasa belum tepat diberlakukan jika untuk memberi efek jera kepada sang pelaku. Selain itu, hukuman kebiri ini menjadi tidak relevan jika kejahatan seksual yang dilakukan bukanlah hubungan seks atau penetrasi.
Advertisement
Lebih baik diberi edukasi yang tepat
"Dari hukuman kebiri atas perilaku kekerasan seksual ini perlu dilihat lagi. Kekerasan seksual tidak selamanya dengan penetrasi, juga bisa dengan cara-cara lain. Tidak selamanya kekerasan seksual itu adalah penetrasi," lanjut Budi Wahyuni.
Meski hukuman kebiri ini dilakukan oleh pengawasan dokter dan layanan medis, namun masih menimbulkan pro dan kotra. Kacamata Komnas Perempuan sendiri menilai eksekusi hukuman kebiri di Indonesia belum mengerucut kepada siapa dan bagaimana pengaplikasiannya. Akan ada konteks di mana kejahatan seksual yang didasari oleh konstrusksi sosial yang salah tidak bisa diselesaikan dengan terapi biologis.
"Dorongan seksual sendiri ada banyak. Kalau ini direspon dengan terapi biologis juga tidak tepat. Meski hanya tiga bulan tapi dampak psikologisnya perlu dipikirkan juga," kata Budi Wahyuni.
Menurut Budi Wahyuni, dorongan seksual bisa diatur dengan latihan dan edukasi yang tepat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus turut andil dalam memberikan edukasi seksual di dalam kurikulum pembelajran.
Selama ini, ketika edukasi seksual diberikan hanya ada konotasi bahwa hal tersebut sama saja seperti mengajari hubungan seks. Padahal mendapat informasi dan edukasi seks yang baik, lengkap, dan benar menjadi hak setiap orang.
Simak video berikut ini
#GrowFearless with Fimela