Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Khadijah Sudjana - Bandung
Advertisement
26 Februari 2019
Hari ini, sembilan tahun lalu adalah hari terakhir statusku sebagai wanita single. Masih kuingat dengan jelas bagaimana aku menjalani hari-hari sejak taaruf dengan almarhum suamiku hingga hari terakhir beliau menghembuskan napas.
Aku mengetahui tentang beliau ketika masih satu almamater ketika kuliah dahulu, di fakultas pertanian sebuah universitas di Jawa Barat. Meskipun angkatan kami terpaut jauh, lima tahun, di mana jika lulus dalam waktu normal tentu kami tidak akan bertemu. Namun, Allah takdirkan beliau lulus lebih dari 5 tahun. Tentu, ini adalah bagian dari skenario Allah agar kami bertemu, meski belum saling mengenal mendalam.
Bertemu beberapa kali dalam satu kegiatan yang sama, berpapasan di koridor kampus, namun pada saat itu aku hanya sebatas tahu, oh ini si akang fulan angkatan atas, senior di kampus dan di organisasi tempat aku beraktivitas. Entah, apakah saat itu beliau tahu namaku atau tidak, kalau mengenal wajah sih sepertinya iya.
Pertengahan 2008
Setelah aku lulus dan beliau lulus juga (akhirnya), otomatis kami tidak pernah bertemu lagi di kampus. Aku mulai disibukkan dengan “tuntutan” tanggung jawab pasca lulus kuliah, sindrom sporadis mencari kerja ke sana ke mari membuatku tenggelam dalam hal tersebut, dan tidak memikirkan hal lain. Hingga suatu saat ketika ada satu kegiatan, aku kembali bertemu dengan beliau, dan pertemuan tersebut berlanjut kepada takdir pertemuan lain.
Aku rasa, saat itu adalah pertemuan yang menjadi awal mula kehidupan kami selanjutnya. Sekitar pertengahan tahun 2008, aku sedang intens bertemu dengan kakak kelasku ketika SMA dahulu. Suatu hari ketika kami sedang bertemu, seperti biasa aku menuju rumah kakak kelasku tersebut, dan ternyata ada beliau di sana. Beliau adalah teman dari kakak kelasku dan suaminya. Pada saat itulah pertama kali-nya beliau menyapa diantara senyum simpulnya, “Mau meeting, ya?" “Iya,” jawabku singkat sambil tersenyum.
Sepanjang meeting hari itu, aku bisa mendengar sayup-sayup obrolannya bersama suami kakak kelasku dan agak sedikit terkejut dengan caranya berkomunikasi yang selalu diselingi candaan dan tawanya yang berderai, “Oh, kupikir orangnya jaim, ternyata kayaknya gokil si Akang ini mah,” gumamku dalam hati. Dan pertemuan-pertemuan seperti itu berulang beberapa kali di rumah kakak kelasku atau di beberapa kegiatan di kota kami, dan pertemuan ini masih dihiasi oleh senyum saja di antara kami atau sapaan sekadarnya.
Advertisement
Juni 2009 – Februari 2010
Hingga, tibalah pada pertengahan 2009, aku diterima kerja di salah satu kantor, dan aku menjadi jarang bertemu dengan kakak kelasku tersebut, dan otomatis jadi jarang bertemu juga dengan suamiku kala itu. Pada saat itu, di kantorku sedang ada rekrutmen untuk posisi tertentu dan meminta informasi tersebut di broadcast ke seluruh kenalan kami. Aku turut menyebarkan informasi tersebut melalui salah satu aplikasi messanger yang hits pada tahun tersebut. Salah satu orang yang menerima informasi yang kusebar tersebut, adalah suamiku.
Sejak saat itulah, kami sering berdiskusi melalui messenger. Diskusi banyak hal, mulai dari yang berat seperti politik hingga yang ringan semisal dimana yang jualan bakso rusuk yang enak, haha, kalau kata anak milenial, obrolan receh. Pada dasarnya karakter beliau memang supel, sehingga akupun merasa memang seperti ngobrol dengan teman pada umumnya, tidak ada pikiran apa apa yang menjurus kepada interaksi lawan jenis.
Suatu waktu di akhir bulan oktober 2009, beliau tiba-tiba berbicara sesuatu yang serius kepadaku, beliau menyampaikan ingin berbicara dengan guru ngajiku, “Ada apa ini?” bisik hatiku. “Ada apa ya, Kang?” tanyaku kepada beliau perihal rencananya untuk bertemu guru ngajiku.
“Oh, nggak apa apa. Cuma mau silaturahmi,” ujar beliau kepadaku. Hm, terlalu aneh buatku rencana tersebut, jujur, dalam hatiku mulai timbul harapan, “Jangan-jangan, beliau mau taaruf denganku.”
Singkat cerita, Alhamdulillah memang betul beliau berniat serius melamarku. Desember 2009 beliau melamarku dan berlanjut dengan pernikahan dua bulan kemudian.
Juli 2019
Hari ini, suamiku sudah tidak bersamaku lagi, beliau sudah dengan tenang dalam tidur panjangnya setelah berjuang bertahun-tahun menghadapi ujian sakitnya. Sembilan tahun masa pernikahan yang sangat indah, tentu sebagaimana layaknya pernikahan lain, ada masa masa up and down dalam pernikahan kami, namun alhamdulillah kami berhasil melewatinya.
Semoga, kamu yang membaca cerita ini akan merasakan indahnya pernikahan seperti yang aku rasa.
#GrowFearless with FIMELA