Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Tiara Agustina - Yogyakarta
Advertisement
Aku dan suamiku adalah teman SD. Kami sama-sama belajar di sebuah madrasah yang sederhana, satu kelas hanya terdiri dari 14 siswa. Maka tak heran, selama 6 tahun, hubungan pertemanan kami dalam kelas sangatlah erat. Setelah lulus pun, kami berdua masih bersahabat, termasuk dengan keluarga. Kadang dia main ke rumah bersama ibunya, yang telah lama ditinggal oleh ayahnya ketika masih SMP.
Satu hal yang membuatku tertarik adalah sikap bakti pada ibunya. Bagiku, laki-laki yang selalu mengajak ibunya keluar kemanapun dia pergi, tak hanya sekadar berbelanja, adalah sikap yang luar biasa. Entah kenapa sikap itu begitu membekas dalam hati ini. Persahabatan berlanjut hingga kami dewasa. Perasaan ini masih terawat dengan indah hanya tak mendapatkan sambutan.
Cinta dalam hati memang menyakitkan, apalagi setelah aku tahu dia memiliki kekasih ketika masih SMA. Kami berpisah ketika aku menerima beasiswa kuliah D3 di salah satu kampus di daerah Jawa Barat. Berpisah raga, namun tetap terjalin via udara. Rasa ini masih saja terpatri dalam hati. Cinta lain yang hadir, hanya sekadar persinggahan sementara. Tahun 2011, agaknya Tuhan ingin membawaku pada takdir yang lain. Tiba-tiba saja, dia berkirim SMS, menyatakan perasaannya padaku. Begitu cepat, proses itu terjadi. Kami pun menjalani hari-hari sebagai pasangan.
Pernikahan adalah cita-cita luhur bagi setiap insan yang menjalin kasih, begitu pula dengan kami. Namun ternyata, jalan menuju ke sana tidaklah mulus. Kerikil tajam, jurang telah menghadang, menunggu kami untuk menakhlukkannya. Tahun 2015, calon suamiku menjalani bisnis investasi bersama kakak dan rekan kakaknya. Awalnya aku sempat ragu, karena dari pemaparannya, keuntungan yang ditawarkan begitu menggiurkan di setiap modal yang ditanamkan. Bisnis itu melibatkan modal-modal investor yang tidak lain berasal dari saudara, teman kantor, dan relasi calon suamiku.
Satu dua bulan semua berjalan dengan lancar, modal dan keuntungannya telah dibayarkan. Namun, memasuki bulan Februari 2016, laksana bangkai, pasti akan tercium juga. Sesuatu yang aku khawatirkan sejak dulu terbukti. Modal yang terkumpul dibawa lari rekan bisnisnya. Calon suamiku harus mengembalikan modal tersebut sebanyak Rp200 juta. Tabungan dan semua yang dia punya habis semua. Harga diri telah hilang, di kantor pun dia seakan tak berani menampakkan diri. Namun itu semua tak membuat langkahnya gentar, dia tetap menjadi laki-laki yang bertanggung jawab walau sejatinya bingung darimana mendapatkan uang sebanyak itu.
Advertisement
Ujian Harus Dihadapi
Seolah ujian belum berakhir, akhir Januari 2017, ayahku dipanggil Yang Maha Kuasa. Di kala suasana berkabung, dia datang membawa kabar yang tak kalah mengejutkan. Dia berniat menikahiku pada tahun itu juga. Tak terbayangkan, di kala kondisiku yang tak pasti, keluarga yang dirundung duka, kondisinya yang terlilit hutang dan masalah, justru niatan mulia itu datang.
Sejak tahun 2015, dia memang telah memiliki niat untuk menikahiku, hanya saja aku terus menolaknya dengan alasan belum siap. Namun, tidak kali ini, entah kenapa hatiku juga merasa mantap menerima ajakannya untuk menikah, seolah apa yang terjadi tak menjadi pertimbangan yang besar pada saat itu. Aku hanya berkata dalam hati, Tuhan jika ini memang jalan terbaik dari-Mu, mudahkanlah, karena saat ini, aku hanya bisa mengandalkan-Mu.
Singkat cerita, Tuhan dan semesta memang telah merestui niat kami berdua. Tangan-tangan-Nya mulai bergerak dari arah yang tak terduga. Aku mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga kontrak dan mulai berkerja pada bulan April. Kondisi keuangan keluarga yang sebenarnya tak mampu mengadakan hajatan besar, semuanya dipermudah.
Calon suamiku juga bisa menabung sedikit demi sedikit dan mendapatkan bonus dari pekerjaannya. Persiapan pernikahan, mulai dari pembelian seserahan walaupun sederhana, tapi masih dalam tahap yang wajar. Semua kami lakukan berdua, inilah perjuangan demi sesuatu yang berharga. Aku berjuang dengan orang yang tepat. Kami dijodohkan dengan vendor-vendor yang terjangkau dan berkualitas seperti rias pengantin, undangan, dekorasi, souvenir. Pembayaran dapat dilakukan setelah acara selesai. Banyak teman dan saudara yang membantu, baik dari segi tenaga, dana, dan lainnya. Dari sesuatu yang aku anggap mustahil, tapi terjadi melebihi harapan yang ada dalam benakku.
Hari Minggu, tanggal 10 Desember 2017, kami mengingat janji di hadapan Tuhan, mengikrarkan janji pernikahan. Rangkaian adat pernikahan secara adat Jawa, kami lalui dengan suka cita. Tebar senyuman dan iringan doa memenuhi langit pada saat kami menikah. Keluargaku bisa mengadakan acara hajatan selama empat hari, kami berdua bisa mengadakan resepsi pernikahan dengan meriah tanpa meninggalkan utang. Itu pun masih bersisa untuk bulan madu ke daerah Jawa Tengah.
Setiap kita wajib memiliki impian, karena kita tidak tahu, jalan Tuhan yang mana yang akan membawa kita mencapai apa yang kita harapkan. Selama kita meyakini kebesaran Tuhan, tak ada yang tak mungkin. Kalau aku saja bisa mewujudkan pernikahan impianku, kamu juga pasti bisa.
#GrowFearless with FIMELA