Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: L - Yogyakarta
Advertisement
Menikah itu katanya nggak gampang. Pasalnya, kita harus menyiapkan mental yang kuat sekaligus anggaran yang tidak sedikit supaya bahtera pernikahan bisa tetap berlayar. Belum jika orang tua ingin menyelenggarakan perayaan yang “tidak malu-maluin keluarga”. Pada zaman sekarang, acara yang terlihat kurang greget di media sosial rentan menjadi bahan obrolan. Ada-ada saja deh komentar netizen jika segala sesuatu tidak sesuai dengan standardnya.
Beruntung, saat kami menikah pada 2015 lalu, perihal kejulidan tersebut belum menjadi tren. Entah ya, kalau ada omongan-omongan yang tidak sedap di belakang. Selama ini sih belum pernah sampai ke telinga kami. Padahal, kalau diingat-ingat, ada macam-macam kekurangan yang terjadi—dan baru saya sadari serta sedikit saya sesali sekarang. Yah, bagaimana lagi, kami memang tidak menggunakan jasa wedding organizer karena keterbatasan dana.
Saya dan suami mulai dekat pada Januari 2014. Kami berpacaran sekitar 1,5 tahun sebelum menikah. Tidak terlalu lama, bukan? Ya, karena secara usia, kami berdua sudah sama-sama matang. Waktu menikah, saya berumur 29 tahun dan suami berumur 34 tahun. Kami berdua juga sama-sama mencari pasangan hidup, bukan lagi “pacar”. Jadi, ketika akhirnya bertemu dan saling klop, langsung merencanakan pernikahan.
Advertisement
Persiapan sejak Bertahun-tahun Lalu
Kami benar-benar mulai mempersiapkan tetek-bengek pernikahan pada awal 2015. Waktu yang kami miliki kurang lebih 6 bulan. Eits, tapi soal dana, persiapannya sudah bertahun-tahun sebelumnya. Terutama suami, yang memiliki tabungan yang cukup besar untuk ukuran saat itu. Saya cukup kaget karena pola hidupnya sangat sederhana setiap hari. Sebagian besar gajinya ternyata ditabung hingga nominalnya cukup WOW. Suatu kali, ketika dia dengan jujur memberitahukan “hartanya” tersebut, saya tertegun dan terharu. Betapa dia begitu menahan diri untuk tidak berfoya-foya demi mempersiapkan biaya pernikahan.
Bagaimananapun, saya bahagia. Namun, di sisi lain, saya juga khawatir. Saya lahir dari keluarga dengan adat yang cukup kental. Ada “mahar” yang tidak sedikit yang perlu dibayar oleh calon mempelai laki-laki. Sementara itu, keluarga calon suami waktu itu termasuk kalangan biasa-biasa saja dan berusia senja. Calon suami pun merasa berat jika harus melibatkan orang tua dalam urusan ini.
Saya jelas berada dalam kondisi yang terhimpit. Saya sama sekali tidak memperhitungkan latar belakang ekonomi calon suami. Namun, tidak mudah untuk memberi pengertian kepada keluarga bahwa “kami” tidak sanggup untuk menyediakan mahar yang besar. Iya, pada saat itu, saya telah memposisikan diri dalam satu lingkaran dengan calon suami karena saya sadar bahwa biaya pernikahan yang besar ini akan menjadi tanggung jawab kami berdua kelak. Utang yang menumpuk usai acara pernikahan harus kami bayar bersama-sama.
Waktu berjalan. Negosiasi alot terjadi. Saya berusaha untuk menghalau rasa bersalah karena tidak mampu “membanggakan” orang tua dengan melaksanakan acara pernikahan yang wah. Dengan prinsip bahwa kami tidak mau berutang sama sekali karena pernikahan. Biarlah, acara pernikahan berjalan biasa-biasa saja.
Tanpa Utang
Ini tidak mudah. Bukan hanya membuat orang tua mengalah, saya pun harus menyimpan keinginan untuk melaksanakan perayaan pernikahan di sebuah gedung. Dengan segala pertimbangan, pernikahan kami hanya dilangsungkan di rumah calon suami. Itu pun dengan dekorasi seadanya. Katering? Tidak ada. Pernikahan tersebut benar-benar dilakukan seperti halnya pernikahan di desa. Sederhana.
Saat itu, saya sedikit merasa menyesal. Apalagi jika mengingat para kenalan kami yang datang dari tempat jauh. Rasanya, saya belum memberikan sesuatu yang terbaik, mulai dari menu makanan yang disediakan, suvenir, tempat acara yang seadanya, dan sebagainya. Namun, saya harap, hal tersebut tidak menimbulkan rasa kecewa. Jujur saja, dalam melangsungkan pernikahan, tidak semuanya bisa sesuai keputusan calon pengantin. Beberapa hal, seperti urusan lokasi acara dan makanan, di-handle oleh keluarga besar. Kami tentu bersyukur untuk bantuan itu. Jadi, kami berusaha untuk mencukupkan diri dengan yang tersedia.
Setelah menikah, kami baru menyadari bahwa keputusan untuk menyelenggarakan pernikahan sederhana adalah suatu keputusan yang sangat tepat. Dengan bangga, kami bisa mengatakan bahwa kami menikah tanpa utang sama sekali. Bahkan, kami masih menyimpan sedikit uang untuk memulai hidup baru yang tidak mudah. Kondisi ini begitu melegakan hati. Kami merasa siap untuk melangkah dalam irama yang baru.
Untuk para kenalan kami yang saat itu menjadi undangan, saya mengucapkan terima kasih atas segala dukungannya. Mohon maaf jika apa yang kami berikan hanya berwujud sederhana. Suatu saat nanti, dalam situasi yang berbeda, izinkan kami untuk membalasnya.
#GrowFearless with FIMELA