Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Sari Fitri Aprillia - Singkawang
Advertisement
Berawal dari pertemuan saat aku berkuliah di kota pelajar, dia lah lelaki asing yang pertama ku kenal di sana. Ternyata benar perkataan orang-orang, jodoh itu tak akan ke mana. Walau dia berasal dari kota Yogyakarta dan aku dari kota Singkawang Kalimantan Barat, yang namanya jodoh tak akan terhalang jarak.
Tepat pada bulan Oktober 2013 kami saling mengucap ikrar janji suci. Sah sudah kami menjadi pasangan suami istri. Tak terkira rasa bahagia yang kami rasakan saat itu. Tapi bahagia itu hanya sekejap, karena dua hari setelah menikah suami harus kembali kerja merantau ke kota beriman, Balikpapan. LDM (long distance married) yang terpaksa harus kami jalani dikarenakan aku juga masih bekerja di kota kelahiranku, Singkawang. Kami hanya bisa bertemu setiap tiga bulan sekali. Cita-cita ingin segera memiliki momongan pun tertunda.
Alhamdulillah di tahun kedua pernikahan, cita-cita ingin mempunyai momongan terwujud, kami dikaruniai seorang putri yang sangat cantik. Semakin tak terbendung rasa bahagia ini. Kami beri nama ia Aura. Enam bulan sudah usia Aura, kuputuskan untuk menyusul suami merantau ke Balikpapan. Sudah tak mampu rasanya menahan rasa rindu,dan memang sudah cukup bosan LDM-an.
Beberapa bulan kami jalani hidup bersama di sana, walaupun hanya mengontrak rumah sepetak, bisa dibilang kami sangat betah di sana. Selain kotanya bersih, aman, penghasilan suami juga lumayan, jadi aku tak perlu lagi bekerja, dan bisa fokus mengasuh anak saja. Akhir tahun sangat dinanti banyak orang, karena akan banyak orang merayakan kebahagiaan nantinya. Tapi tidak untuk kami.
Advertisement
Ujian demi Ujian Datang Silih Berganti
Akhir tahun 2015 merupakan musibah untuk keluarga kecil kami. Suami di-PHK dari perusahaan tempat ia bekerja. Memang terjadi pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran saat itu. Tak ada pesangon, hanya gaji pokok yang kami terima. Ya Allah, berat sekali cobaan-Mu. Kenapa sesingkat ini rasa bahagia yang kami rasakan. Tapi sebagai istri kupacu kembali semangat kerja suamiku. Mencoba melamar kerja kesana kemari. Apa saja jenis kerjaan itu, yang penting halal. Dan akhirnya suamiku mendapat tawaran menjadi tukang parkir. Tak ada lagi rasa malu, gengsi, karena yang ada di benak suamiku saat ini adalah dia harus bertanggung jawab untuk anak istrinya.
Di awal tahun ketiga pernikahan aku sudah tak sanggup bertahan di sana dan memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Sementara suamiku tetap tinggal di sana sebagai tukang parkir. Orangtuaku menyambut dengan sangat hangat, sehingga sedikit menghilangkan rasa maluku. Mereka sama sekali tak membahas musibah yang menimpa kami.
Dua bulan berlalu, suami pun menyusulku ke kampung halaman. Dengan berbekal sisa tabungan, kuberanikan untuk membuka usaha café kecil-kecilan di sebuah ruko. Bersamaan dengan usaha café, alhamdulillah suamiku mendapat panggilan kerja di sebuah instansi pemerintah. Walaupun hanya kontrak satu tahun, tetapi kami sangat bersyukur.
Pendapatan kami sangat lumayan dari usaha café, sehingga kami mampu membeli satu kendaraan roda dua dan menabung tiap harinya. Usut punya usut orangtuaku pernah membangun rumah untuk adikku yang sudah menikah. Tetapi sebelum rumah itu jadi, mereka sudah bercerai, sehingga rumah itu terbengkalai 5 tahun lamanya. Aku berpikir untuk memperbaiki rumah tersebut, untukku tinggali karena tidak mungkin aku kembali ke rumah orangtuaku lagi apabila sewa ruko ini selesai. Cukup banyak biaya yang aku keluarkan saat itu, hampir tak ada lagi sisa uang ditabungan.
Entah kenapa di akhir-akhir masa sewa ruko akan berakhir, pengunjung café mulai sepi, aku mulai pusing memikirkan bagaimana cara untuk memperpanjang masa sewa ruko nantinya. Tiba saatnya jatuh tempo untuk perpanjangan sewa ruko, dan ternyata harga sewa dinaikkan 50% oleh si pemilik. Air mataku menetes, tabunganku benar-benar terkuras habis. Tak mampu lagi membayar sewa. Akhirnya usaha cafeku pun tutup. Aku pindah ke rumah yang telah ku erbaiki.
Bertahan Bersama
Tahun 2017 adalah tahun keempat usia pernikahanku, seolah tiada habisnya derita yang kami terima, bagaimana tidak, masa kerja suami telah usai kontraknya. Tak ada lagi pemasukan yang kami terima. Setiap hari aku meratapi nasib kami. Untuk makan sehari-hari saja kami tak punya uang. Ditambah lagi aku positif hamil hampir empat bulan kala itu.
Aku merasa seperti benar-benar berada di titik terendah kehidupan. Tapi aku tak putus asa, dengan pinjaman modal Rp 150.000 dari Ibuku, aku mencoba berjualan menu sarapan pagi. Hari pertama jualan, aku dan suami begitu bersemangat. Ada beberapa pembeli yang mampir. Siang harinya, aku sibuk mencuci piring, suami juga membantu, tak lama terdengar suara tangis yang tak biasa dari anakku Aura. Aku pun bergegas keluar. Bagai tersambar petir melihat anakku memegangi bibirnya yang bersimbah darah. Aku berteriak memanggil suamiku, kupeluk erat Aura sambil terduduk, kakiku terkulai lemas melihat bibirnya yang robek terkena sudut meja saat bermain. Aku meraung, menangis, dan menjerit. Dan langsung bergegas ke rumah sakit terdekat, dan hasilnya bibir Aura mendapat dua jahitan.
Sepulangnya, kutidurkan Aura. Aku terisak, kuciumi keningnya seraya meminta maaf kepadanya, karena telah lalai. Hari pertama aku dan suami ingin mencari nafkah, tetapi pada hari itu juga anakku terluka. Semakin tak mampu rasanya menghadapi cobaan ini. Setelah Aura pulih, aku memutuskan untuk berjualan makanan online, batagor ikan tenggiri. Resep kuperoleh dari sahabat suami yang mempunyai warung batagor sangat laris di Yogyakarta.
Alhamdulillah, percobaan pertama 20 bungkus terjual. Setiap hari aku mengolah batagor, sedangkan suami yang mengantar pesanan. Rasa lelah, keluhan sakit saat hamil tak lagi kuhiraukan. Aku harus menyemangati suamiku, aku yakin dia juga sedih dengan keadaan kami yang seperti ini. Penghasilan kami dari berjualan batagor hanya cukup untuk mengembalikan modal dan makan sehari-hari. Tidak pernah cukup untuk ditabung. Sebenarnya, bisa saja orangtua kami membantu sejumlah uang untuk sedikit membantu kami, hanya saja aku dan suami berprinsip jika kami tak bisa memberi uang untuk orangtua, maka jangan sampai kami meminta.
Usia Aura sudah tiga tahun, adiknya Feeza sudah dua bulan. Kata orang, banyak anak banyak zejeki. Dan benar saja, di pernikahanku yang kelima ini, suamiku terpanggil kerja kembali di tempat yang sama. Walaupun lagi-lagi hanya berstatus tenaga kontrak selama satu tahun. Aku sangat bersyukur. Dan aku tak lagi berjualan saat itu. Aku fokus mengasuh anak dan suamiku fokus bekerja mencari nafkah untuk anak istrinya.
Saat keadaan tersulit dulu, aku yakin suamiku pasti merasa sangat bersalah, terpukul, malu, tak percaya diri, dan merasa gagal sebagai suami. Tetapi sebagai istri aku selalu memberinya semangat, tak banyak mengeluh, bahkan tak sedikitpun terlintas bahwa aku akan meninggalkannya. Aku selalu mengingatkannya, bahwa kami harus banyak bersyukur, banyak yang lebih susah dibandingkan kami, kami harus banyak berdoa, dan harus selalu bersabar, akan tiba saatnya nanti masa sulit ini terlewati.
Alhamdulillah, di usia pernikahan kami yang keenam ini, suamiku diangkat menjadi honorer tetap, berkat kegigihan dan keuletannya dalam bekerja. Sedangkan aku, mulai mengajar les untuk anak-anak SD. Kini, Aku merasa sepertinya roda kehidupan kami mulai sedikit berputar. Akan kutanamkan kepada anak-anakku kelak, bahwa tak ada yang tak mungkin jika kita mau berusaha. Jangan malu, jangan gengsi dengan pekerjaan yang halal. Harus banyak banyak bersyukur, harus selalu bersabar, karena sabar tiada batasnya. Dan sabar itu pasti berbuah manis.
#GrowFearless with FIMELA