Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Dwi Astuti - Jakarta
Advertisement
Melepas Karier untuk “Karier” Seumur Hidup
Sejak kecil aku selalu membayangkan diriku nanti di masa depan akan berkutat dengan komputer dan berada diruangan yang disebut kantor, punya banyak teman, dan mungkin aku juga bisa berbagi dengan yang lain dari apa yang aku usahakan tersebut. Tapi pandanganku mulai berubah sejak ibu meninggal.
Kesedihan dalam waktu itu membuatku tersadar bahwa apa yang membuatku kuat dan bertahan sampai sekarang adalah usaha ibu dalam mendidik dan membekaliku dengan ilmu-ilmu yang sudah beliau ajarkan. Bayangan indah mengenai duduk di sebuah kursi selama 8 jam kurang lebih berubah menjadi bait-bait doa semoga nanti aku diberi kesempatan untuk merawat suami, anak, dan keluargaku secara penuh. Mengikuti semua perkembangan anakku dan menemani suamiku dalam setiap keadaan. Seperti tak lagi menginginkan embel-embel dunia, ambisi untuk mendapatkan ini dan itu, aku hanya ingin anakku tumbuh berkepribadian kuat dan bijak, ingin suamiku merasa senang mempunyai istri seperti aku dan mempunyai keluarga yang rukun dan harmonis, seperti yang aku rasakan dulu semasa ibu masih hidup.
Tapi keinginan itu seperti maju dan mundur, setelah aku menjadi mahasiswa jiwa-jiwa idealis sebagai wanita karier terkadang mengembang, tapi sering juga meredup jika aku ingat bagaimana segala jasa ibu. Akhirnya aku putuskan untuk melamar pekerjaan selagi masih kuliah, entah mengapa seperti ada dorongan dalam diriku untuk memuaskan diri mencari ilmu selain kuliah dan pengalaman sebanyak-banyaknya sebelum aku menikah, seperti aku sedang mempersiapkan sesuatu yang besar nanti.
Bertemu degan banyak orang dan harus bekerja dengan atasan yang membebani pekerjaan di luar kemampuan ternyata membuatku banyak belajar, ini berat, tapi aku merasa bersyukur menjalaninya. Aku sempat keluar masuk perkerjaan karena harus mencari pekerjaan yang memungkinkan aku tetap bisa menjalani kuliah dengan baik, dan dari segala pekerjaan itu yang membuatku mantap menjadi stay at home mom adalah ketika aku menjadi guru privat.
Advertisement
Bekerja
Aku bertemu berbagai macam murid, berkutat dengan kesulitan belajar dan kepribadian unik mereka. Tak mudah ternyata membimbing seorang anak, ibuku dulu pasti sudah bekerja sangat keras. Dari kebanyakan mereka yang berkepribadian temperamen maupun yang ter-bully sebenarnya selalu merindukan ibunya, menginginkan pendampingan ibunya, pelukan hangat untuk meredam sifat temperamen yang belum mereka kuasai, dan juga kehadiran ibu saat mereka menjadi korban bullying. Anak-anak ini mungkin merasa tabu dan tidak bisa mengutarakan isi hatinya karena merasa tidak dekat dengan ibu mereka sendiri. Tuhan menunjukkan kepadaku apa yang tidak pernah aku rasakan selama menjadi anak, apa ini sebuah petunjuk?
Menjelang semester akhir, keadaan ekonomi keluargaku memburuk, ayah yang merupakan tulang punggung mengalami kecelakaan sehingga tidak bisa bekerja, aku yang merupakan satu-satunya anak menjadi kalang kabut. Aku harus memikirkan bagaimana aku tetap bisa bertahan di perantauan dan juga bapak di tempat asalku. Di tengah skripsi yang tidak memungkinkan aku untuk bekerja yang terikat dengan jam kerja, aku benar-benar stres karena bukan hanya hidup saja yang harus disupplai, skripsiku pun membutuhkan dana.
Kelaparan dan dimarahi bapak kos karena tunggakan menunggak, setiap hari selalu saja ada yang menyindir karena menganggap aku tidak beretika dengan tetap tinggal namun belum mampu membayar kos. Skak mat! Aku seperti mati tapi masih bernapas. Otakku berputar-putar, tak mau kalau hal ini terjadi pada anakku, aku harus memiliki pekerjaan yang mapan, jika sewaktu-waktu terjadi padaku, anakku nanti masih bisa tertolong dan tidak susah seperti ini. Paling tidak pelajaran lain yang bisa aku ajarkan ke dia nanti adalah jika dia tidak mengetahui dan membantu kesusahan orang lain, dia tidak langsung menghakimi secara negatif orang yang belum ia kenal kehidupan dan latar belakangnya.
Tuhan Maha Adil, dengan segala kususahan yang aku rasakan saat itu, pertolongan Dia turunkan satu pe rsatu, aku merasa sangat terbantu dengan malaikat-malaikat tak bersayap yang Dia kirim. Waktu kelulusan makin dekat, aku lega segala drama kehidupan mulai menemukan titik terangnya.
Aku mulai rajin mencari job posting, dan dengan kuasa Tuhan aku memperoleh pekerjaan yang kuinginkan. Pertolongan Tuhan datang kembali, dan itu adalah sesuatu yang benar-benar aku pasrahkan kepada Tuhan, jodoh.
Melepas Karier
Dengan segala permasalahan kehidupan, perkuliahan dan tempat diperantauan rasanya sudah menyita seluruh jiwa dan perhatianku. Aku hanya berpasrah tentang jodoh tanpa aku melakukan usaha pendekatan ke lelaki, selama ini aku selalu menghindar ketika ada lawan jenis yang mendekat. Selalu ada kenakinan bahwa ada seseorang yang bisa menerima segala kekuranganku, bisa membimbingku dan juga anak-anak kami nanti. Dan intuisi itu tiba-tiba tertuju pada seeorang yang tidak pernah aku kenal dan tidak pernah aku temui sebelumnya.
Dia bukan laki-laki yang pandai berkata manis, bukan laki-laki yang mengutamakan tampilannya dari ujung kaki sampai rambut, bukan orang yang suka berbicara untuk dipuji, for me he is the real gentle man. Perkenalan kami diiringi diskusi-diskusi ringan yang mengalir begitu saja, tidak ada rasa bosan rasanya, every time is priceless moment. Hanya saja selalu muncul bergolakan dalam hati, aku selalu ingin mundur dari rasa nyaman ini tapi hatiku semakin lama semakin kuat dan yakin bahwa laki-laki inilah yang tepat untuk melengkapi hidupku.
Singkat cerita dia lalu datang menemui ayahku, melamarku. Tidak ada bunga, tidak ada lantunan musik, semua keindahan itu hidup ada di hatiku, sederhana namun sangat bermakna. Permasalahan pun muncul ketika aku menyinggung masalah pekerjaan, tapi dia tidak mengetahui kondisi keluargaku.
Dia kurang menyukai wanita karier, tapi aku bekerja untuk menghidupi keluarga karena aku lah satu-satunya yang bisa diandalkan. Aku mulai ingat kembali doaku di masa lampau, dan doa ibu untuk jodohku. Doa di mana aku ingin merawat keluargaku sepenuhnya yang mana memungkinkan aku tidak melewatkan perkembangan anakku dan doa ibu bahwa suamiku kelak adalah orang yang bisa membimbing dan menyayangi aku dengan tulus. Apakah ini wujud doa yang sudah terpanjatkan?
Semakin aku meminta petunjuk Tuhan, keyainanku padanya semakin memuncak, aku yakin dia lah orangnya, orang yang tepat untuk membimbingku dan juga keluarga kami. Aku memutuskan untuk resign setelah lamarannya dan bersiap untuk proses selanjutnya. Namun hubungan kami yang semula selalu dipenuhi rasa pengertian menjadi selalu sering berdebat.
Advertisement
Berjuang Bersama-sama
Kami semakin sering bertengkar hanya karena hal-hal sepele dan entah kenapa merembet masalah pekerjaan. Dia selalu mempertanyakan keikhlasanku untuk menjadi istri yang tidak bekerja di luar rumah. Aku merasa Tuhan sedang menguji keyakinan dan komitmen kami, di tengah pertemuan keluarga dan hari pernikahan yang telah ditentukan. Kami yang hanya bertemu sebulan sekali ditambah komunikasi yang selalu berakhir dengan pertengkaran membuatku juga ikut terpancing jika tiba-tiba ia marah.
Aku merasa frustasi, selama ini aku sudah berperang dengan orang-orang di sekitarku yang menyayangkan jika aku tidak bekerja sementara akulah anak orangtuaku satu-satunya yang seharusnya bisa diandalkan tidak jarang mereka mencemooh aku seperti ini dan itu. Tapi itu tak begitu berpengaruh menurutku karena ayahku pun ikhlas jika aku tidak bekerja karena ayah juga tipe laki-laki yang menginginkan istrinya di rumah, namun orang yang aku harap bisa mempercayaiku, calon suamiku kini meragukanku.
Kami hanya bertemu sebulan sekali, karena pekerjaannya yang mengharuskan ia bekerja di luar provinsi. Tiga bulan sebelum pernikahan kami bertemu, tidak ada masalah seputar persiapan penikahan hanya mental dan komitmen kami saja yang benar-benar diuji. Sedikit awkward karena dalam komunikasi lewat chat kami sering bertengkar, tapi pada kesempatan itulah kami saling mengutarakan isi hati yang tidak bisa dijelaskan lewat barisan huruf dalam handphone.
Sebelum pernikahan itu dilaksanakan akhirnya kami memperoleh pelajaran yang mendewasakan, bahwa menyatukan dua isi kepala, dua budaya, dua kehidupan yang bertolak belakang itu tidak mudah. Pernikahan bukan sekadar seberapa besar pengorbanan untuk siapa, tapi berjuang bersama-sama untuk kehidupan bersama.
#GrowFearless with FIMELA