Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Elmina Panjaitan - Medan
Advertisement
Awalnya aku tidak menyangka untuk menghadapi momen terindah di dalam hidupku, sekali seumur hidup yaitu pernikahanku. Aku dan suami diberkati pada Sabtu, 08 Juni 2019. Setiap wanita menginginkan pernikahan yang istimewah, meriah, dan penuh sukacita.
Aku lahir sebagai anak perempuan sendiri di dalam keluarga. Aku anak ke-5 dari 6 orang bersaudara dan mereka semua lelaki. Sejak kecil, aku memimpikan menikah dengan lelaki yang menerima aku dengan kondisi apapun baik sakit penyakit atau pun materi yang aku miliki. Bersyukur aku menemukan pria yang menerima aku dengan kondisi apapun itu. Dia mampu memotivasiku, memberikan semangat saat aku tertawa dia ikut tertawa dan saat aku meneteskan air mata dia ikut meneteskan air mata.
Pada bulan Oktober 2018 keluarga mulai dilanda gelombang kesedihan, karena papaku divonis mengalami kanker tiroid stadium 3 oleh dokter dari luar negeri. Tentu pembiayaan untuk itu sangatlah mahal dan sebenarnya aku dan keluarga suami sudah merencanakan pernikahan sejak Agustus 2018. Aku harus membagi waktuku untuk mengerjakan thesis, karena aku melanjutkan perkulihan dengan biaya yang mahal, lalu aku harus bekerja dari pagi sampai sore.
Pembiayaan yang harus aku tabung sejak saat orangtua aku terdeteksi sakit, maka aku harus mandiri dengan tidak merepotkan mereka lagi. Aku melengkapi perlahan persiapan itu, terkadang di dalam hati cemburu itu muncul bahkan pesimis yang membuat diriku tidak semangat. Kami pun melewati tahun baru tanpa Papa yang sedang berobat inap di Kuala Lumpur. Memasuki tahun 2019, seharusnya menjadi tahun sukacitaku untuk melangkah menuju rumah tangga yang indah tetapi aku lewati seperti kondisi yang ada.
Advertisement
Merawat Papa
Perlahan tidak terasa bulan Februari tiba, Papa yang sudah menjalani kemotrapi 6 kali, Sinar X ray 50-an kali tidak membuat putus asa dalam hidupnya. Papa pulang ke rumah dengan kondisi yang dalam hatiku tak terima. Papa harus bernapas melalui pipa di leher, konsumsi makanan melalui hidung dengan bantuan pipa beberapa meter serta tak dapat berjalan. Aku mendekatinya dan memeluknya sambil menangis. Sungguh, akankah ini menjadi pergumulanku?
Dokter menyatakan Papa untuk berobat jalan di apartemen, tetapi beliau memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Hitungan beberapa bulan lagi, akan kuterima kondisi begini. Begitu banyak kontra untuk menghadapi pernikahanku bahkan beberapa keluarga ingin membatalkannya karena alasan bagaimana menikah, kondisi Papa begini. Perasaanku sangat kacau bahkan aku harus lebih kuat dan semangat walau terus mencucurkan air mata minta pertolongan dari Tuhan agar aku mampu menjalani semua.
Aku tetap bekerja, mempersiapkan pernikahanku mulai dari hal terkecil hingga hal besar, dilanjut lagi kuliah lalu ke rumah sakit untuk merawat, mempersiapkan apa yang diperlukan karena papa berulang kali masuk rumah sakit. Begitulah siklus sepanjang hari yang ku nikmati dan syukuri. Papa sudah hampir 5 bulan hanya tergeletak di tempat tidur tanpa bisa bicara.
Aku mulai memasuki tahap pertunangan, perasaanku kacau saat melihat papaku tak dapat berbicara, tidak ada perkembangan bahkan lebih parah dan hanya tidur di tempat tidur tanpa melihat anak perempuan satu-satunya untuk pertunangan. Aku menangis di kamarnya sepuas-puasnya saat berkata, “Cantiknya aku, Pa?” lalu aku melap air matanya karena beliau juga menangis.
Aku bertekad, sebelum aku menikah papa harus bisa bangkit dari tempat tidur dan dapat melihat aku dengan gaun putihku. Saat itu, aku dengan profesi sebagai pendidik libur selama seminggu. Aku manfaatkan untuk merawat papa secara penuh. Aku memotong kuku, rambut, memandikan, memberikan makanannya, karena aku ingin papa terlihat tampan saat putri satu-satunya menikah.
Keajaiban Itu Terjadi
Flashback masa kecilku, dahulu saat aku kecil dia yang merawatku, kini aku menjadi posisinya dan harus meneteskan air mata. H-2 pernikahan, aku memercayai Tuhanku sebagai pemulih untuk papaku. Aku mendoakannya terus dan mengajak papa berdoa bersama. Aku sangat terkejut saat sore harinya, papa meminta kursi roda untuk belajar duduk. Tanpa pikir panjang, aku memapahnya sambil menangis sukacita.
Aku sangat mengucap syukur, keajaiban terjadi dalam momen istimewaku, papa yang selama 5 bulan tidak pernah duduk akhirnya bisa duduk dan berjalan. Suatu mukzijat yang ajaib yang aku rasakan. Papa bisa melihat aku dengan gaun putihku. Aku bersyukur, ternyata yang istimewa dan sukacita dalam pernikahanku adalah semangat Papa melawan sakit demi melihatku menikah.
Aku menjadikan ini motivasi bagi siapapun yang mengeluh atau bersedih hati untuk menjalani hari-hari terkhusus pernikahannya. Sebenarnya, pernikahan yang sejati tidak terukur dari mewahnya, hebat dan materi tetapi sukacita harus sampai meneteskan air mata untuk bangkit dari kesedihan. Semua masalah dapat terlewati jika dari diri kita ada semangat dan percaya bahwa Sang Pencipta mengerti setiap tetesan air mata kita. Believe and trust it. Aku sengaja melampirkan fotoku bersama Papa agar termotivasi bahwa tiada yang mustahil di dalam hidup ini. Beban serasa lepas seketika.
#GrowFearless with FIMELA