Sukses

Lifestyle

Pernikahanku adalah Hal yang Pernah Indah pada Waktunya

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.

***

Oleh: Rhey Kanakava - Tasikmalaya

Juli beberapa tahun lalu beberapa hari sebelum hari ulang tahunku, menjadi hari yang paling bersejarah buatku. Aku memakai kebaya putih anggun lengkap dengan kain jarik yang coraknya indah serta berdandan cantik dengan riasan MUA handal di kota kelahiranku. Bersanding dengan dia yang paling berani menghadap orang tuaku untuk meminta anak perempuan yang doyan traveling, main biliar, baca buku, dan kadang menghilang tanpa kabar untuk jadi istrinya.

“Makanya dilamar biar nggak hilang-hilang lagi sekarang,” ujarnya menjawab pertanyaanku kenapa serius sekali ingin menikah, padahal pacarannya tidak sepanjang jangka waktu KPR yang ada di brosur-brosur.

Persiapan pernikahan kami itu penuh perjuangan kalau boleh diingat. Lumayan menguras emosi jiwa dan raga. Mengurus persyaratan nikah yang antar pulau-lah, yang masih sibuk dengan deadline pekerjaan-lah, mencari katering, souvenir, undangan dan tetek bengek lainnya hanya dilakukan berdua karena kami cuma punya satu sama lain. Tidak ingin merepotkan siapapun, pikirku waktu itu.

Aku sendiri tidak pernah membayangkan menikah. Padahal umurku sudah menjelang 30 waktu itu. Harusnya udah punya dua anak seperti sepupuku yang seumuran. Bukan aku tidak ingin mengikat janji berkomitmen dengan seseorang, tapi aku malas sekali membayangkan keribetan mempertemukan ayah dan ibuku dalam satu waktu.

Ya, mereka sudah berpisah lama tapi tidak bercerai, suasananya masih sangat tidak enak dan penuh drama. Kalau boleh menikah tanpa orang tua, tidak memikirkan omongan orang lain, tahan jadi bahan pergosipan di kota kecil ini, ya aku sih akan ambil risiko nikah kilat di KUA saja seperti Mbak MUA selebgram. Tapi kan tahun itu belum trending nikah macam begitu. Pokoknya bayangan pernikahan itu ada pelaminan yang penuh dengan hiasan bunga cantik, kemudian orang tua berdiri mengapit pengantin lalu bersalaman dengan para tamu yang hadir. Ah, langsung panas dingin, tanganku berkeringat, anxiety dadakan.

 

Menghadirkan Ayah dan Ibu

Calon suamiku tahu permasalahan ini, dia sangat baik coba mencari solusi yang bisa menyelesaikan permasalahan ini. Aku memang butuh ayahku untuk menjadi wali nikah tapi juga butuh ibuku untuk merestui dan ikut berbahagia di hari pernikahanku. Ketika melamar pun, calon suamiku waktu itu harus melakukannya dua kali di dua kota yang berbeda. Bukan acara besar hanya privat keluarga saja. Dia datang menemui ibuku untuk menyampaikan maksud dan tujuannya, setelah itu kami pergi ke kota di utara Jawa untuk menemui ayahku dengan tujuan yang sama. Dia rela menyetir berjam-jam dari kota istimewa ke Jawa Barat kembali ke Jawa Tengah demi melancarkan misi ini, mengejar waktu dan restu karena cuti kami tidak bisa diperpanjang lagi.

Pernah aku bilang, “Apa iya kita hadirkan ayah di KUA saja lalu ibu pada saat resepsinya?" Sebenarnya aku tidak bermimpi menikah muluk-muluk. Yang penting sah secara agama dan hukum. Tapi rasanya tidak mungkin, ayahku orang yang sensitif. Akan sangat sulit membuatnya mengalah satu hari saja karena sebenarnya impianku hanya One Fine Day with My Family. Tanpa rasa deg-degan, khawatir suara ayah dan ibu meninggi berdebat satu sama lain atau malah saling perang dingin saat makan bersama.

Apa bisa kalian pura-pura berbaikan saja satu hari ini?

Aku tidak perlu ayah ibu bergandengan tangan atau duduk bersebelahan nanti, aku hanya ingin melihat senyum tulus satu sama lain memandangku penuh kasih sayang. Tapi sayang ini hanya calon suamiku saja yang mendengarnya. Aku tak pernah sampai hati mengatakan pada keduanya. Mereka masih belum selesai dengan segala permasalahan yang ada di antara keduanya. Di antara dua sisi yang sama-sama bikin kram otak, stres tenggat waktu segala persiapan pernikahan, dan kegalauan situasi dari keluargaku yang harus aku sendiri cari bagaimana cara menyelesaikan tanpa harus melukai salah satu pihak. Banyak doa kupanjatkan pada Allah supaya diberikan petunjuk.

Pernah Indah pada Waktunya

Kekhawatiranku terjawab, persoalan bukan karena acara adat siapa yang mau dipakai, warna seragam atau menu makanan dari catering melainkan Ibu keberatan dengan pelaminan, beliau panik kalau harus bertemu ayah dalam jangka waktu yang lama dalam satu ruangan bersama. Sudah tentu ibu tidak akan mau berdiri berdampingan dengan ayah. Aku berusaha memahami situasi yang dialami ibu, tidak mudah berhadapan lagi dengan seseorang yang menelantarkan anak dan istrinya sekian lama. Sebagian hidup yang ingin dia lupakan. Tapi beliau juga tidak ingin melewatkan hari pernikahanku.

Lalu kami sepakat tidak akan menggunakan pelaminan karena kami akhirnya memutuskan untuk melakukan acara akad di rumah saja dilanjutkan acara makan bersama sederhana. Alhamdulillah ibu setuju. Kami buat rencana acara yang simpel dan sederhana mungkin. Karena budget menikah pure dari kami saja tanpa bantuan orang tua dua belah pihak. Keluarga calon suami tidak banyak menuntut, mereka hanya menginginkan semua berjalan lancar.

Akad nikah waktu itu berjalan lancar, dihadiri hanya oleh keluarga, kerabat dan teman-teman dekat dua belah pihak dari kami berdua. Pagi buta heboh dibangunkan mbak MUA yang datang dengan peralatan lenongnya. Jelas dong harus datang karena sudah dipesan jauh hari untuk tanggal keramat ini. Tepat di kalendernya kutuliskan SAVE THE DATE dengan gambar hati. Dia ini adik teman kantorku dan kami sudah akrab satu dengan lainnya.

Tak lama teman-teman dekatku bermunculan. Ramai penuh sesak kamarku oleh mereka yang ketawa-ketiwi menggodaku kadang diselingi ghibah yang menggoda iman. Mereka memuji penampilan baruku yang manglingi. Lalu mereka mendampingiku layaknya dayang-dayang mengantarku di ke ruang akad. Ada ayah di hadapan calon suamiku yang tersenyum getir karena tegang dan ada ibu yang cantik dengan kebaya birunya di sisi kanan bagian keluargaku duduk beserta adik-adikku, tante, dan omku. Alhamdulillah mereka berkesempatan hadir menjadi saksi hari bahagiaku. Kami berdua berbahagia dalam suka dan duka selama 5 tahun perjalanan bersama.

Pada akhirnya pernikahanku adalah hal yang pernah indah pada waktunya. Allah mengizinkan itu semua terjadi karena satu alasan dan aku belajar dari itu. Mempersiapkan diri sendiri di posisi ibuku jika putriku menikah nanti. Kenangan membangun biduk rumah tangga yang berakhir dengan perceraian ini tidak pernah aku sesali karena ada malaikat cantik terlahir dari pernikahan ini. Walaupun hanya sesekali melihat salah satu foto yang tersimpan di folder laptopku, aku bisa melihat senyum tulus ayah ibu dalam foto itu. Terima kasih.

Tasikmalaya, 27 Juli 2019

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading