Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: P - Sampit
Advertisement
Hampir semua orang sepakat bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Bukan hanya janji antara dua insan atau dua keluarga akan tetapi ada janji kita dengan Tuhan di dalamnya. Meski sebagian orang tidak percaya akan pernikahan bahkan tidak ingin menikah, tapi aku bukanlah salah satunya.
Setiap wanita menyukai keindahan, meskipun definisi keindahan itu sendiri berbeda menurut masing-masing individu. Sebagai wanita tentu saja aku menginginkan pernikahan yang indah dengan orang tercinta. Indah bukan berarti mewah, bagiku syukuran sederhana hanya dengan keluarga dan orang-orang dekat adalah keindahan itu. Akan tetapi sebagai manusia tentu kita sadar tidak semua keinginan bisa kita dapatkan.
Aku sering mendengar bahwa godaan demi godaan akan datang silih berganti sebelum pernikahan terlaksana. Apalagi bagi yang menjalin hubungan bernama "pacaran" sebelum menikah. Pada awalnya aku santai saja, tidak juga buru-buru menikah meski usiaku saat itu sudah mencapai angka 25. Meski sudah sekitar lima tahun kami berpacaran, kami berdua masih santai.
Aku masih menikmati pekerjaanku begitupun si dia, baru saja menyelesaikan pendidikan magister-nya. Tapi lain halnya dengan ibuku, beliau mulai khawatir dengan angka dua puluh lima, dan mulai mendesakku untuk melaksanakan pernikahan. Beliau beralasan bahwa beberapa anggota keluarga besar kami yang perempuan jika melewati angka dua puluh lima tahun belum juga menikah, maka pernikahan itu akan terjadi di usia sekitar tiga puluh tahun lebih. Dan ibuku tidak menginginkan itu. Ya, tidak ada yang salah dengan menikah di usiaku saat itu. Tapi yang terjadi adalah, kekasihku waktu itu baru saja resign dari pekerjaannya dan belum mendapat pekerjaan baru.
Advertisement
Mempersiapkan Pernikahan
Tentu saja aku sedikit khawatir dengan hal itu, karena menikah bukan hal yang main-main. Cinta saja tidak cukup. Kupikir ibuku akan sedikit bermasalah dengan hal itu tapi ternyata tidak, ibu bilang rezeki itu akan datang jika kita berusaha. Dan menikah sendiri merupakan salah satu pintu pembuka rejeki, jika sebelumnya rezeki masing-masing individu jika menikah akan ada rezeki istri di dalam rezeki suami, begitulah kata beliau. Singkat kata tanggal pun ditentukan tidak lama setelah itu.
Dari awal aku tidak pernah menginginkan pernikahan yang mewah, begitu juga dengan kekasihku. Bukankan tujuan pesta adalah bersyukur atas terjadinya pernikahan dan memberikan kabar pada saudara dan tetangga bahwa pernikahan sudah terjadi? Bahkan tidak masalah jika hanya ijab qabul tanpa pesta pernikahan.
Rupanya Tuhan menunjukkan jalan lain, suatu siang aku kebetulan membersihkan rak TV di ruang tengah rumah kami, kebetulan melihat sebuah album foto besar yang sebelumnya belum pernah aku lihat. Aku buka lembar demi lembar, ada fotoku kecil sampai fotoku wisuda sarjana. Di bawah foto itu tertulis, "Wisuda anakku, satu harapanku terpenuhi," tapi yang membuatku menangis adalah kalimat di balik halaman album foto itu.
Tertulis beberapa keinginan ibuku yang salah satunya berbunyi, "Membuat pesta perkawinan yang layak untuk anak perempuanku." Deg! Seketika itu mataku terasa panas, aku tahu jika aku berkedip sudah pasti ada air menetes dari mataku. Ternyata ibu ingin pesta pernikahan sampai beliau menuliskannya dalam daftar keinginan dan harapan beliau. Aku tahu pasti berat bagi beliau membesarkan aku sejak ayahku meninggal ketika aku masih SD. Dan apa hakku sebagai anak merampas keinginan dan harapan ibu? Keinginan itu juga tidak merugikan.
Pembicaraan pernikahan pun dilakukan, kami yang kebetulan beda pulau dan beda suku harus berusaha lebih keras. Tapi untung saja orang tua dan keluarga kami bukan orang yang kolot akan adat, yang penting adalah sahnya pernikahan. Dan aku sangat bersyukur karena itu aku dan calon suami tidak perlu menghadapi perdebatan panjang.
Merindukan Ayah
Setelah musyawarah dengan keluarga calon mempelai laki-laki, persiapan pernikahan pun dilaksanakan dengan bantuan kerabat tentunya. Meski ayahku sudah tiada tapi keluarga besar kami cukup bisa diandalkan untuk hal ini, tidak cuma tenaga dan pikiran tapi juga bantuan dana. Memang sudah menjadi tradisi bagi kami jika salah satu kerabat kami mempunyai hajat maka kami akan bergantian saling membantu.
Tidak hanya pernikahan, berlaku untuk acara lain juga. Jika tidak bisa memberi bantuan dalam bentuk rupiah, akan ada bantuan lain berupa sembako dan keperluan lainnya. Memang begitulah harusnya sebuah keluarga, kan? Saling membantu. Dengan begitu semua akan terasa ringan dan lebih mudah. Karena ayahku sudah tiada, aku menemui pakdhe, meminta tolong beliau untuk menjadi wali nikahku.
Selama ini jika datang ke acara pernikahan dan melihat mempelai beserta orang tua yang masih lengkap selalu terlihat membahagiakan dan bagus di bingkai foto. Hari pernikahan tiba, kupikir aku akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Rasanya sungguh tidak bisa dibilang enak menikah tanpa didampingi seorang ayah. Dan lagi, ayah dari calon suamiku juga sudah meninggal ketika dia masih SMA. Rasanya sepi, hanya ada ibu.
Hari itu rasanya sedih, aku tidak tahu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Rasanya sesak di dada, rasanya ingin ada ayah, rasanya ingin ada foto pernikahan dengan ayah. Rasanya tidak sempurna saja. Padahal aku sudah sekitar 20 tahun tidak bersama ayah, tapi aku rasa di hari pernikahanku itu adalah hari di mana aku paling merindukan ayah. Rindu yang tak pernah sampai. Dan ternyata calon suamiku merasakan hal yang sama. Ya, kami sama-sama merindukan sosok ayah untuk melengkapi kebahagiaan kami hari itu. Di hari itu juga kami berdoa semoga Tuhan memberi kesehatan dan memanjangkan umur kami hingga kami bisa mndampingi anak-anak kami menikah nanti.
Dari situ aku semakin sadar bahwa semewah apapun sebuah pesta, kehadiran orang-orang terkasihlah yang membuat sebuah pesta bernyawa. Pernikahan impian bak cinderela pun, akan memiliki lubang kosong di dalamnya jika keluarga kita tidak utuh. Tapi manusia mana yang bisa menolak takdir? Meski ayah tiada tapi aku bersyukur keinginan ibu terkabul.
Terima kasih Tuhan, telah menunjukkan satu lagi jalanmu untukku berbakti pada ibu, satu-satunya orang tua kandung yang masih ku miliki. Dan memang rezeki akan datang seiring dengan niat baik kita dalam sebuah pernikahan. Sekarang suamiku sudah mendapat pekerjaan yang mapan, begitu pula aku. Meski sebelum menikah aku meninggalkan pekerjaan lamaku, sekarang aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Terimakasih ibu, untuk setiap untaian doa untuk kami anak-anakmu.
#GrowFearless with FIMELA