Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: P - Ngawi
Advertisement
Bagiku persiapan pernikahan lebih dari sekadar kata rumit, njlimet, drama, dinamis, gengsi dan penuh dengan surprise. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya kalau mempersiapkan pernikahan ternyata akan penuh dengan cerita yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Terkenang setiap prosesnya, mulai dari pendekatan sebagai teman, mendoakan sebagai pacar/teman dekat, minta persetujuan orangtua untuk pacaran, tunangan dan akhirnya menikah. Kami jalani itu semua dari tahun 2011 dan akhirnya menikah tahun 2018, kurang lebih 7 tahun.
Aku anak pertama perempuan dari pasangan suami istri yang berlatar belakang guru, lulusan terpelajar dan PNS, tentu orangtuaku punya standar khusus untuk calon menantunya kelak. Ditambah lagi aku adalah anak pertama perempuan yang lulus dengan background pendidikan S2 atau master di salah satu perguruan tinggi negeri dengan beasiswa.
Bukan sulit lagi, tapi sangat sulit di awalnya meyakinkan kedua orangtuaku untuk menerima Diyan sebagai pacar dan akhirnya pasangan hidupku. Respons orangtuaku ini bukan tanpa alasan. Beliau-beliau ini punya alasan yang kuat dan menyodorkan padaku alasan-alasan mereka. Bahkan mereka langsung survei ke rumah keluarga calon pasanganku, melihat ke sana, dan tanya ke tetangga tentang background keluarga Diyan. Wah… ini jelas tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Orangtuaku sangat serius dan tidak main-main.
Hasil dari survei orangtuaku setelah dari sana adalah mereka kurang yakin dengan pria yang aku pilih ini. Kenapa? Karena menurut yang mereka dengar, bapak Diyan memiliki gangguan mental yang membuat sering marah-marah tidak jelas dan beliau hanya bekerja sebagai tukang becak. Sedangkan ibu Diyan hanya sebagai orang yang membantu masak saat pernikahan di desanya dan membantu menjual barang bekas. Kondisi-kondisi yang disampaikan orangtuaku ini tidak terlalu membuatku kaget.
Hanya saja ketika disebutkan bahwa bapak Diyan punya gangguan mental, aku baru mendengarnya dan langsung aku konfirmasi. Tentu dia kaget dan bilang bahwa tetangga yang ditemui orangtuaku itu punya hubungan yang tidak terlalu baik dengan keluarganya. Diyan juga meluruskan bahwa bapaknya, memang marah-marah, tapi tidak sampai stress atau gangguan mental. Aku pun sudah mengetahui kondisi rumah dan saudara perempuannya yang lain. Adik perempuannya hanya tamatan SMP, tangan penuh dengan tato, hamil di luar nikah, dan sudah bercerai dengan suami pertamanya.
Advertisement
Tunangan
Bisa dibayangkan dari teman biasa, teman dekat/pacar, tunangan dan akhirnya kami menikah adalah sebuah anugerah dari Sang Maha untuk kami. Tidak menyangka, namun kami tetap imani dan jalani setiap alur prosesnya.
Persiapan dari kami tunangan ke pernikahan kami jalani kurang lebih satu tahun. Kami bertunangan tanggal 10 September 2017, penuh dengan rasa syukur dan drama, hehe. Kenapa? Jadi singkat cerita, saat tunangan nanti rencananya calon pria akan memakaikan cincin kepada calon wanita yaitu aku. Tapi tiba-tiba aku dapat pesan What's App dari Diyan yang sudah dalam perjalanan. Isi pesannya, “ Nanti tidak jadi pakai cincin ya.”
Huwaaaa… langsung aku tanya, "Kenapa?" "Cincinnya lupa dibawa," jawabnya. Duh, kami langsung panik dan akhirnya ibuku bilang, "Nduk, pakai cincin bapak ibu aja ya.” Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. “Dagelan-dagelan!” itu yang kukatakan dalam hatiku.
Semua orang yang datang pun sudah tahu cincinnya ketinggalan. Tapi pas itu mereka yang hadir pura-pura tidak tahu. Akhirnya singkat cerita kami pun memakai cincin nikah orangtuaku. Cincin ibuku pas banget waktu kupakai, tapi cincin bapakku tidak pas waktu dipakai Diyan. Langsung orang-orang satu ruangan tertawa semua.
Setelah acara tunangan itu, kami bergumul tentang finansial untuk persiapan pernikahan satu tahun ke depan. Saat itu aku seorang dosen di Universitas Swasta di Solo dengan gaji yang sangat pas. Sedangkan Diyan baru mendapat kerja sebagai Guru di SMA swasta di Surabaya. Kami jalani tunangan dengan LDR, aku di Solo dan Diyan di Surabaya.
Kami berdua sepakat bahwa semuanya tidak kami tanggungkan kepada orangtua kami. Jadi kami mengatur beberapa hal, seperti bagian dokumentasi pernikahan (foto, shooting, dan foto prewedding), souvenir, make up, baju nikah, seserahan, cincin nikah, dan undangan. Jujur, sebenarnya aku yang cukup ngotot untuk menyanggupi semua itu. Kupikir itu tidak terlalu besar. Tapi sedihnya ternyata itu cukup besar dan kami kewalahan mencukupi finansialnya. Bagian lainnya kami minta bantuan orangtua untuk membantu, seperti konsumsi, dekorasi, dan hiburan. Bagian-bagian yang jadi bagian kami itu kupikir tidak terlalu besar.
Gengsi atau Esensi?
Aku orang yang mudah sensitif, pesimis, dan mudah bingung. Jadi setiap kami bertemu membahas tentang finansial untuk pernikahan, aku selalu hopeless dan bertanya, "Apa kita bisa ya mencukupi ini semua dan menikah Oktober nanti?"
Beda denganku, Diyan selalu bilang, “Bisa, bisa. Yang penting tidak terlalu mahal dan tidak gengsi harus ini harus itu. Yang penting kan nikah.” Aku pun mengiyakan. Tapi dasar wanita, aku ingin yang unik, berbeda dari yang lain dan yang terlihat bagus. Akhirnya, pengeluaran kami membengkak.
Yang menjadi puncak stresnya lagi adalah aku harus mundur dari pekerjaanku sekitar bulan Februari. Dan akhirnya aku harus mencari pekerjaan lainnya. Aku masih ingat, satu bulan sebelum bulan puasa, aku mencoba melamar sebagai pengumpul data/enumerator di Jateng atas saran dari temanku. Dan ajaibnya Tuhan menjawab doaku, aku diterima sebagai pengumpul data riset kesehatan Kemenkes selama sebulan.
Selama sebulan itu aku mendapatkan uang Rp9 juta. Setelah itu selesai, aku mendapat tawaran lagi untuk mendaftar sebagai dosen di tempat lain dan mendapat Rp7,5 juta. Sang Maha memang tahu waktu yang paling tepat dan kapan harus menolong. Secara manusia tidak mungkin tapi itulah adanya yang kami alami. Dari uang itu, kami mulai membayar DP (uang muka) dokumentasi, dan lain-lain. Ternyata tetap masih ada kekurangan biaya, tapi setidaknya kami masih bisa menutup beberapa hal.
Diyan bukan orang yang sulit untuk berkomunikasi selama persiapan pernikahan kami berdua sering berdiskusi tentang printilan-printilan nikahan dari kecil sampai bagian terbesar. Malah aku yang bingungan atau orang Jawa menyebutnya gupuhan. Aku sangat tertolong dengan karakternya yang menenangkan. Konflik yang terjadi antara aku dan Diyan adalah lebih karena keinginanku yang terlalu gengsi.
Advertisement
Acara Pernikahan
Aku ingin yang bagus, menarik, berbeda dari yang lain, dan tentu itu perlu uang yang lebih banyak. Sedangkan Diyan selalu mengingatkanku bahwa menikah yang penting adalah esensinya bukan gengsi. Dia selalu mengingatkan agar jangan sampai berutang untuk pernikahan. Ternyata itu akhirnya juga terjadi pada kami dan kedua orangtua kami.
Mungkin sebagai orangtua, mereka ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tentu itu tidak salah, tapi kalau itu sudah melebihi kemampuan agar terlihat bagus di mata tamu undangan, maka itu yang salah. Orangtuaku cukup banyak berutang untuk menyewa dekor, konsumsi, dan lain-lain. Padahal kami pernah menyampaikan bahwa kami ingin menikah yang sederhana saja. Orangtua Diyan pun ternyata juga ingin menggelar ngunduh mantu yang juga memakan biaya dan terpaksa keluarga mereka berhutang.
Singkat cerita, pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bagi kami berdua sebagai orang tua nantinya. Memberikan pemahaman kepada anak kami nantinya bahwa pernikahan tidak perlu gengsi dan harus mewah. Tapi cukup sesuai dengan kemampuan dan yang terpenting adalah esensi bukan gengsi.
#GrowFearless with FIMELA