Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Nina Nuramalina - Serang
Advertisement
Setelah lulus kuliah keinginanku adalah menikah sama halnya dengan keinginan orang tua yang sangat mengharapkanku untuk menikah. Mereka ingin melihatku bahagia membangun rumah tangga dan ingin sekali merasakan menimang cucu. Kalimat ini yang selalu mereka katakan ketika aku masih kuliah.
Memang di usiaku saat ini merupakan usia yang ideal untuk menikah. Statusku yang masih sendiri belum memiliki seseorang untuk diperkenalkan kepada orang tua. Pernah memiliki hubungan dengan pria saat masih kuliah namun memutuskan untuk berakhir. Singkat cerita ternyata orang tua menjodohkan saya dengan seseorang dari anak kerabatnya. Pada awalnya saya menolak perjodohan ini namun orang tua menganjurkan untuk saling mengenal terlebih dahulu. Saya berpikir jika niat baik akan ada jalan baik. Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang saya mengikuti rencana orang tua.
Selama kurang lebih enam bulan kami berkenalan dan melakukan aktivitas pada umunya seperti mengobrol, menonton film, makan, jalan-jalan, dan sebagainya. Namun tak ada rasa yang tumbuh di hati saya. Memang tidak ada yang salah dengan pria pilihan orang tua saya. Dia sesosok pria yang baik hanya saja batin ini berkata bahwa tidak ada ketertarikan kepada pria tersebut dan yang saya rasakan bahwa kami tidak berada dalam satu frekuensi. Pada akhirnya saya memberanikan diri untuk mengutarakan isi hati yang mana tidak bisa melanjutkan hubungan ini sebagaimana orang tua kami rencanakan.
Advertisement
Kondisi Tubuh Menurun
Mendengar kabar tersebut orang tua tidak setuju dengan keputusan saya yang mengakhiri hubungan dengan alasan “bibit, bebet, dan bobot”. Mereka meyakini bahwa dengan pria tersebutlah hidup saya akan bahagia. Mereka tetap ingin melanjutkan rencana yang telah disusun. Keadaan ini membuat saya sedih, kecewa, dan tertekan.
Mengapa mereka tidak menanyakan bagaimana perasaan saya? Apa kriteria pria keinginan saya? Apa impian pernikahan saya? Saya terus memikirkan hal ini hingga untuk senyum pun berat rasanya, tidur tidak nyenyak, kepala pusing, cepat lelah padahal tidak begitu banyak kegiatan sampai pada akhirnya kesehatan saya menurun dan mengalami beberapa keluhan mulai dari flu, batuk, demam, gangguan pencernaan, hingga cacar air. Apakah saya sedang mengalami stress hingga menurunnya kekebalan tubuh? Entahlah.
Saya ingin menikah dengan seseorang yang saya cintai. Memang pernikahan tidak sebatas hanya mengandalkan cinta tetapi setidaknya saya ingin memulai dengan rasa cinta. Dilansir dari halaman Fimela.com bahwa terdapat efek buruk jika menikah tanpa cinta. Efek yang akan dialami di antaranya lebih banyak godaan seperti faktor orang ketiga, kehidupan rumah tangga hambar dan tidak bahagia, sering bertengkar karena keegoisan dan kurangnya kenyamanan, dan anak akan merasakan dampaknya terutama perkembangan psikologisnya.
Perjodohan Dibatalkan
Melihat kondisi saya yang tidak stabil fisik maupun psikologis membuat orang tua saya iba. Akhirnya mereka memahami dan menyetujui perjodohan dibatalkan. Mendengar kabar ini saya merasa betapa senangnya bagaikan anak sekolah yang mendengar bel pulang sekolah. Lambat laun kesehatan saya mulai membaik dan saya merasa bersyukur atas nikmat ini yang telah Tuhan anugerahkan kepada saya. Saya merasa semangat menjalankan hari-hari dengan penuh bahagia dan tetap selalu berdoa serta berusaha untuk mewujudkan pernikahan impian.
Impian pernikahan saya adalah seperti pernikahan orang tua saya. Bertemu seseorang yang mengagumi satu sama lain, menganggap tidak hanya sepasang kekasih tetapi juga life partner, memiliki visi misi yang sama, mencintai kelebihan dan kekurangan, menuntun bukan menutut, suka duka dilalui bersama, bersedia untuk saling setia, dan siap untuk berjuang bersama.
Saya ingin merasakan cinta meskipun belum memahami arti cinta. Saya ingin merasakan gugup saat menatapnya, senang di dekatnya, gemetar bila mendapat teleponnya, rindu bila berada jauh darinya, antusias mendengar cerita sederhananya dan jadi diri sendiri serta menjadi lebih baik saat bersamanya. Saya sangat berharap tidak lagi ada perjodohan dan tidak ada lagi pemaksaan untuk menuju pernikahan. Seperti penggalan lagu Dewa 19, "Oh... Cukup Siti Nurbaya yang merasakan pahitnya dunia."
#GrowFearless with FIMELA