Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Aurora Sari Dharma Yanti - Pekanbaru
Advertisement
Cerita Pernikahanku
Aku menikah ketika usiaku 25 tahun. Seorang lelaki yang telah menjadi pacarku selama 5 tahun melamarku untuk dijadikan istrinya. Awal kehidupan pernikahanku kujalani seperti biasa saja, tak kutemukan cerita tentang bagaimana rasanya malam pertama atau bahagianya memulai hidup baru. Mungkin hal ini dikarenakan kami sudah lama berpacaran dan tidak ada cerita bulan madu pada pernikahan kami. Setelah menikah kami langsung merantau ke daerah yang benar -benar baru untuk kami. Mengisi waktu dengan bekerja dan bekerja.
Tak ada lagi romantisme yang ditunjukkan oleh lelaki yang kunikahi ini. Sekali-kali kuajak keluar untuk sekadar pergi nonton atau makan malam romantis, dia selalu berkata, "Sudah menikah ini nggak usah macam-macam." Kami sudah sampai tahap saling menyayangi tak ada, "Cinta-cinta lagi," "Dollar mahal, duit perlu,” dan lain-lain. Akhirnya aku coba terima semuanya, kujalani kehidupan pernikahanku ini.
Dulu ketika pacaran, dia selalu setia menanti aku, menjemput aku bahkan mengantarkan aku pulang ke kampungku yang cukup jauh. Tidak hanya menghabiskan waktu juga membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk seorang mahasiswa itu sudah mewah. Namun sejak menikah dia menurunkan aku di jalan karena dia mau pergi bersama temannya, menjemput aku pulang kerja dengan harus memaksa aku menunggu tanpa tahu pasti dia datang, bahkan tak jarang dia tega meninggalkan aku di kantor ketika dia jemput aku tidak langsung menunggu dia di depan kantor. Kehidupan seperti ini cukup lama aku jalani, namun karena sudah terbiasa tidak lagi membuat aku merasa disia-siakan.
Advertisement
Menanti Buah Hati
Hampir sembilan tahun lamanya kami berumah tangga, kehadiran buah hati yang selalu diidam-idamkan tak kunjung datang. Untuk masalah ini akulah yang paling bersalah, aku dianggap perempuan yang tidak subur karena tak kunjung memberikan keturunan. Selama hampir 8 tahun akulah yang harus menjalani pengobatan kemana-kemana, dari mulai dukun hingga dokter. Pengobatan medis yang masuk akal hingga pengobatan yang berbau syirik dan tak masuk akal.
Mertuaku selalu menyalahkan aku, “Rahim kamu panas, minumlah yang dingin-dingin.” Aku minum semua jenis makanan dan minuman yang dianggap dingin, tetapi belum juga. “Kamu suka mandi malam sih," "Kamu kalau jalan terlalu cepat, pelan-pelan, dong.“ Itulah contoh semua yang sering diucapkan mertuaku. Bahkan mertuaku mengamcam bila aku tidak juga mempunyai anak setelah 5 tahun pernikahanku, mereka akan memisahkan aku dengan suamiku. Aku sudah tidak lagi mengonsumsi makanan yang mengandung merica seperti sop, soto dll, tidak lagi mengonsumsi makanan yang mengandung durian dan juga buah duriannya.
Aku tidak dibolehkan membawa kendaraan apakah itu motor atau mobil, kukorbankan beasiswa S2-ku demi memperoleh anak. Berbagai cara dan saran untuk memperoleh anak aku lakukan, banyak dokter aku kunjungi untuk konsultasi. Melakukan HGC juga sudah aku lakukan.
Tapi, hanya akulah yang berjuang, sementara suamiku tidak mau sedikitpun mencoba berkonsultasi pada dokter. Akhirnya di akhir 8 tahun penantian kami, kami dipertemukan dengan teman lama yang juga baru memperoleh anak setelah 3 tahun pernikahannya. Dia pun bercerita bahwa mereka berdua konsultasi ke dokter, bisa jadi penyebabnya bukan istri tetapi suami. Tak lama setelah konsultasi kemudian menjalani terapi akhirnya mereka memperoleh anak.
Mendengar ini aku menangis, mengapa suamiku tidak mau berobat dan mencoba konsultasi ke dokter agar tidak hanya menyalahkan aku? Akhirnya suamiku pergi berobat diam-diam tanpa sepengetahuanku. Ini kuketahui karena dia mulai minum obat-obatan yang jarang aku lihat, katanya itu obat dari dokter. Setahun pengobatan akhirnya suamiku menyerah, dia menyarankan kami untuk ikut bayi tabung saja.
Suami ke Pelukan Perempuan Lain
Singkat cerita program bayi tabung kami berhasil, walaupun ada sedikit cerita sedih di mana suamiku tidak mau menemaniku selama pengobatan. Kebetulan kami berobat di kota lain dari tempat tinggal kami. Alasannya karena pekerjaan bahkan untuk menjemput aku pulang setelah berobat dan dinyatakan positif hamil, suamiku tak mau menjemput. Aku pulang sendiri, sungguh pengalaman yang sungguh menyedihkan.
Delapan bulan beberapa hari kemudian lahirlah anak kami, terlihat kebahagiaan dari suamiku. Di antara kebahagiaanku aku juga bersedih anak yang kami tunggu-tunggu kehadirannya, seperti tak disambut baik oleh suami dan keluarga besar suamiku. Tak sehelai kaus dalam baru atau perlengkapan bayi yang disediakan suamiku. Aku pernah mengajak untuk membeli, dia bilang tidak usah nanti juga banyak yang ngasih. Oh ya Allah bahkan ketika aku harus dirawat di rumah sakit karena ada permasalahan dengan kehamilanku, suamiku bilang bahwa kami tidak punya uang, sebaiknya pulang saja, istirahat di rumah. Akibatnya proses melahirkanku dipercepat.
Lahirlah si kembar anak kami tanpa ada persiapan apa-apa, bahkan untuk membayar biaya persalinan kami tak punya. Semua biaya ditanggung adikku juga tindik putriku, tak lupa sepasang anting dibelikan oleh adikku untuk putri kecilku.
Perjuanganku ternyata tak sampai di situ, kutahan air mata ketika kedua buah hatiku hanya harus menggunakan perlengkapan bayi lungsuran dari kakak sepupunya. Ibuku tak bisa lama menemaniku karena ada urusan yang harus diselesaikan yaitu proses lamaran adikku yang paling kecil. Kurawat badanku sendiri, kubuat jamu sendiri, cuci baju sendiri. Ya, karena mertuaku sudah terlalu tua untuk membantu.
Sementara suamiku, sibuk bekertja mondar-mandir dengan mobil kesayangannya. Asupan makanku sebagai ibu menyusui tak diperhatikannya. Aku harus usaha sendiri, kalau dia ingat dibelikannya aku roti.
Belum tiga tahun usia ankakku, suamiku pergi meninggalkan kami. Gelagat ini sudah terlihat sejak kami sering bertengkar, karena aku butuh bantuan dan perhatiannya. Di mana aku harus bekerja jauh dari rumah, mengurus anak, mengurus rumah juga mengurus suamiku.
Ternyata kepergiannya ini sudah menjadi skenario untuknya. Dia memang sudah lama ingin meninggalkanku, karena dia sudah punyai pacar baru. Bahkan ketika aku hamil dia sudah melakukan perbuatan yang sangat dilarang agama. Kini kusadari semuanya, ketidakpedulian suamiku pada kami ternyata karena adanya orang ketiga.
Advertisement
Tegar demi Anak-Anak
Hancur hidupku, berderai air mataku ketika melihat dua buah hatiku. Tak tahan hati ini untuk mengutuk perbuatan mereka berdua ketika dua buah hatiku menangis menanyakan keberadaan ayahnya. Aku jalani kenyataan pahit ini, sedikit demi sedikit kubangun kepercayaan diri. Kukembalikan hidupku pada Ilahi, dan berharap hidupku akan lebih baik.
Saat ini, aku masih menjalani kesendirianku. Berat, letih namun aku harus tegar demi anak-anakku. Suamiku yang dulu pergi dengan kesombongannya, kini rajin berkunjung ke rumah dengan alasan bertemu anak. Komunikasi melalui telepon setiap hari dilakukannya. Hingga hari ini mereka tidak dikaruniai anak, semoga iparku menyadari bahwa bukan aku yang bermasalah tetapi adiknyalah yang bermasalah hingga tidak bisa punya anak. Sedikit demi sedikit aku perbaiki hidupku, rumahku yang dulu kecil dan berdapurkan tembok kayu, sekarang sudah lebih baik dan lebih permanen, akupun sanggup membeli kendaraan sendiri.
Kudedikasikan hidupku untuk keberhasilan dan kebahagiaan kedua buah hatiku. Semua kulakukan demi anakku. Kuserahkan hidupku dan anak-anakku pada yang Kuasa. Kudekatkan diriku dan kupertebal pengahambaanku kepada Allah SWT. Harapan u menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Demikianlah sedikit cerita pernikahanku, banyak yang ingin kutumpahkan. Namun satu yang pasti atas semua yang kulalui, aku harus terus bersyukur, karena ini bukti cinta Allah padaku demi hidup yang lebih baik.
Terima kasih.
#GrowFearless with FIMELA