Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Hardaning Tyas - Sorong, Papua Barat
Advertisement
Menyiasati Kejenuhan Sepuluh Tahun Masa Pernikahan
Pernikahan akan menjadi rumit ketika pasangan mulai merasa jenuh yang dipicu beberapa faktor antara lain terjadinya konflik dalam rumah tangga yang tak kunjung selesai, ataupun pemicu lainnya semisal adanya orang ketiga. Masa rentan selamat atau karamnya sebuah pernikahan biasanya terukur ketika memasuki sepuluh tahun masa pernikahan. Dasar hukum jenjang kesuksesan sebuah pernikahan itu sendiri belum jelas, tetapi bagiku sepuluh tahun menjadi ukuran langgengnya hubungan dalam rumah tangga yang selama ini kubangun.
Gimana sih menyiasati agar pernikahan itu langgeng? Caranya gampang-gampang susah. Sebagai seorang wanita tentu saja harus pintar membawa suasana rumah agar selalu nyaman buat suami. Tapi pernikahanku tidak semulus jalan tol ataupun seindah cerita cinta yang romantis ala drama Korea tentunya. Suamiku bukan tipikal orang yang romantis sementara aku seorang wanita yang suka dipuja. Cara menyiasati agar tidak selalu merasa kecewa dan memicu konflik tentunya harus bersabar dan mulai mengekang ego pribadi untuk saling memahami.
Selama menjalani biduk rumah tangga, yang paling berat menurutku lima tahun pertama dan lima tahun kedua alias masa sepuluh tahun pernikahan itu terbangun. Mengapa? Lima tahun pertama pernikahanku harus saling menyesuaikan diri. Sama-sama egois itulah karakter kami. Aku lebih suka dengan kesibukanku sebagai wanita karier yang kadangkala mengabaikan kerjaan rumah begitu juga suamiku selalu sibuk dengan pekerjaan kantornya.
Advertisement
Konflik Diselesaikan, Bukan Dihindari
Sering konflik? Wah, tentu saja sangat sering. Tetapi kami memilih bertahan demi kebaikan. Penyelesaiannya dengan diam, mencari solusi terbaik, dan akhirnya semua masalah terselesaikan dengan baik. Lima tahun kedua terkadang timbul rasa jenuh, mulai deh ada orang ketiga yang muncul. Kedewasaan dan sikap bijak menjadi cara yang tepat untuk mempertahankan agar rumah tangga kami tetap utuh.
Terbentur beberapa kali dengan orang ketika, di masa-masa kejenuhan menghadapi konflik egoisme akhirnya tersadar juga dengan kenyataan bahwa pasangan yang telah Tuhan berikan untuk mendampingi itulah yang terbaik dan layak untuk dipertahankan.
Waktu aku menghadapi masa jenuh itu, untuk tetap mempertahankan kelanggengan mahligai pernikahan yang sudah menjadi pilihan hidup, biasanya aku melakukan traveling atau memanjakan diri di salon. Itulah salah satu upaya agar tidak terpengaruh kehadiran orang ketiga. Begitu juga dengan suamiku lambat laun mulai berubah lebih banyak di rumah.
Kita tidak bisa memaksakan rumah tangga itu berjalan mulus tanpa konflik. Meyakini bahwa setiap masalah akan selesai dan tidak menyerah ketika badai rumah tangga menerpa, pasti akan memiliki masa di mana akan menikmati hari-hari manis dan indah. Sebab setiap orang pasti akan berubah pada waktunya, tentu saja seiring bertambahnya usia.
Soal pernikahanku, sempat juga diragukan bisa bertahan hingga saat ini. Tetapi itulah buah dari kesabaran dan perjuangan mengalahkan egoisme pribadi. Seperti layaknya sebuah rumah yang memiliki kunci, begitu juga rumah tangga harus memiliki kunci agar selalu langgeng walau mengikuti alur konflik. Kunci pernikahanku, sabar, syukur, dan tidak menghindari konflik tapi menyelesaikan konflik.
#GrowFearless with FIMELA