Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta
Sampai sejauh ini, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masih diperdebatkan. Komnas Perempuan selaku penggagas, terus menegaskan bahwa tujuan dari adanya RUU PKS untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Dalam draft elektronik yang dipublikasi oleh situs dpr.go.id, masyarakat bisa melihat setiap isi pasalnya. Sehingga jelas sekali ketentuan yang diajukan oleh Komnas Perempuan.
Advertisement
Contoh, pada pasal 1, ada aturan mengenai kekerasan seksual, bentuk-bentuknya, pihak terkait dalam kasus kekerasan seksual dan ruang lingkup kekerasan seksual. Pada pasal 2 pun ada tujuan lebih rinci kenapa RUU ini harus disahkan seperti penghargaan terhadap martabat manusia, keadilan dan kepastian hukum.
Advertisement
Ini Alasan RUU PKS Harus Segera Disahkan
Semua pasal tersebut memiliki landasan. Melalui Catatan Tahunan (CATAHU) yang dirilis Komnasperempuan.go.id pada Maret 2019, jumlah kekerasan seksual baik di ranah privat, publik maupun negara selalu tinggi. Jika di total, mencapai angka 406.178 kasus. Rinciannya sebagai berikut:
- Di ranah privat, angka kekerasan seksual berada pada 9.637 kasus
- Di ranah publik, angka kekerasan seksual berada pada 3.915 kasus
- Di ranah negara, angka kekerasan seksual berada pada 16 kasus
- Perceraian yang didasari kekerasan dalam rumah tangga berjumlah 392.610.
Pelaporan atas kasus-kasus diatas kurang mendapat respon yang baik. Banyak yang menganggap bahwa kekerasan seksual masih bersifat privat dan tidak patut diketahui publik.
Miskonsepsi RUU PKS
Dalam RUU PKS banyak pasal yang memang tidak dicantumkan dalam KUHP, tujuannya adalah melengkapi hal-hal yang belum diatur. Seperti pengertian lebih jauh mengenai perkosaan, dimana tidak sebatas hubungan seksual yang dipaksakan saja. Selain itu bagaimana seharusnya tindak aborsi dilakukan, penyediaan alat kontrasepsi oleh negara, dan pendidikan seksual.
Sayangnya, masyarakat masih tabu dengan hal itu. Banyak yang beranggapan bahwa RUU PKS menjadi bentuk pelegalan hubungan seks diluar nikah, aborsi bahkan pelegalan LGBT. Contoh, Maimon Herawati yang merupakan seorang dosen dari Universitas Padjajaran yang beranggapan bahwa RUU PKS tidak menggunakan kajian budaya ketimuran dan norma agama. Dirinya menganggap bahwa RUU PKS tidak mengatur larangan tentang hubungan diluar nikah.
"RUU ini bagus, tapi tidak lengkap. RUU ini tidak mengatur kejahatan seksual yang dilarang agama dan nilai tata susila ketimuran. Dengan demikian, konsep hukum terkait pelarangan. Jika tidak dilarang, berarti boleh," ujar Maimon dilansir Detik.com.
Padahal tujuan dari RUU PKS tidak hanya melarang, melainkan memberi pengertian lebih luas. RUU PKS berusaha mengisi 'ruang-ruang kosong' dalam KUHP, sehingga ketika ada kasus kekerasan seksual, jelas pengertian dan landasan hukumnya.
RUU PKS, Korban Kekerasan Seksual dan Peradilan
Korban kekerasan seksual seringkali tidak mendapatkan perlakuan yang baik, ramah dan layak ketika berhadapan dengan hukum. Kebanyakan dari korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak. Prosedur hukum untuk menangani kedua kelompok ini dianggap belum optimal dan berpihak pada mereka. Untuk itulah RUU PKS berupaya memperjelas langkah-langkah yang tepat untuk menangani kasus kekerasan seksual. Penanganan berupa pencegahan, upaya hukum, dan pemulihan.
Pencegahan dengan edukasi mengenai apa itu kekerasan seksual, bentuk-bentuknya dan tindakan yang dilarang hukum. Kemudian upaya hukum adalah upaya menyelesaikan kasus dengan legal, sesuai prosedur dan berpihak pada korban. Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kepercayaan diri, harkat dan martabat korban.
Dengan pengesahan RUU PKS menjadi undang-undang, diharapkan masyarakat lebih sadar dan peduli dengan kasus kekerasan seksual. Masyarakat juga bisa lebih paham bagaimana penanganan yang tepat bagi korban dan pelaku.
#GrowFearless with FIMELA