Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Arum Sari - Depok
Advertisement
Terhitung bulan April 2019 genap sembilan tahun pernikahan kami. Pernikahan kami tampak normal, bahagia, dan sempurna. Tapi bukankah di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang sempurna. Dua anak dari sembilan tahun pernikahan dan satu janin masih di kandungan saya sekarang. Suami saya bisa dibilang sebagai sosok suami idaman. Bertanggung jawab, romantis, dan sayang dengan keluarga. Tipe family man kalau kata orang.
Saya seorang manajer dan pekerjaan suami saya menuntutnya untuk sering bepergian ke luar kota. Apakah ada kekhawatiran? Tidak pada awalnya. Selama 9 tahun berumah tangga suami saya menunjukkan attitude yang sangat baik, pulang tepat waktu, jarang pergi keluar atau nongkrong dengan temannya, mengantar serta menjemput saya ke kantor dan kebanyakan waktunya dihabiskan bersama keluarga.
Lalu di mana masalah rumah tangga saya dari cerita barusan? Semuanya bermula dari tugas ke luar kota yang lebih lama dari biasanya. Selama 14 tahun kami saling mengenal, belum pernah menjalani hubungan jarak jauh. Tugas ke luar kota selama 3 bulan untuk suami saya merupakan keputusan yang berat. Tidak ada pilihan lain karena suami saya menjadi team leader dalam pekerjaan ini. Dengan berat hati saya mengizinkan suami untuk menunaikan tugasnya. Berat karena harus jauh. Berat karena partner kerjanya yang selama ini mayoritas laki-laki kini banyak melibatkan wanita. Saya percaya, namun sebagai seorang wanita perasaan khawatir pasti selalu ada.
Kami menjalani tiga bulan hubungan jarak jauh dengan baik-baik saja. Suami saya rutin menelepon, video call dengan saya dan anak-anak. Pada hari kepulangannya, saya sangat bahagia. Saya membuat kejutan dengan secara diam-diam menjemputnya di bandara. Saya memanggilnya ketika melihat dia keluar dari gate kedatangan. Dengan ekspresi terkejut dia mendekat yang saya sambut dengan pelukan, dan dibalas dengan satu kecupan di kening. Tiga bulan jauh membuat rasa rindu mencapai puncaknya. Setelah beberapa menit menghampiriku, dia lantas meninggalkan saya untuk menghampiri seorang perempuan dalam rombongan tersebut. Mengambil dompet dan HP lantas menghilang entah ke mana. Pemandangan ini tidak membuat saya cemburu, tapi saya merajuk.
Advertisement
Ada Wanita Lain
Cerita segala kegiatan dan rekan kerjanya selama perjalanan dari bandara ke rumah membuat hati saya lebih tenang. Tidak ada yang salah dan berbeda dari suami saya setelah tiga bulan berpisah. Seminggu setelah pulang suami saya masih menjadi orang yang sama seperti sebelumnya. Hanya ada beberapa nama yang terus menerus dia ceritakan sepanjang obrolan kami seminggu ini. Minggu kedua dan selanjutnya suami saya mulai menjadi aneh. Beberapa hari ini dia sering lembur, beberapa minggu lalu lembur sampai tidak pulang. Seberapapun dia menjelaskan betapa berat pekerjaannya sekarang, tetap aneh buat saya. Sebelumnya dia tak pernah lembur di kantor tempat dia bekerja sekarang. Perilakunya juga aneh, sering tidur larut malam, sering pamit keluar rumah, sampai hp yang tak pernah lepas dari genggamannya atau keluar dari kantong celananya.
Kecurigaan mulai hinggap pada saya. Saya cek seluruh pesan di HP-nya tidak ada yang aneh. Selain satu nama. Memang tidak ada yang aneh dari obrolan mereka. Hanya pembicaraan terkait pekerjaan. Namun bahasa yang digunakan beda dengan bahasa dengan rekan lain. Terdengar seperti remaja yang baru saja pacaran. Tapi naluri saya sebagai ibu dan istri mengatakan ada yang disembunyikan oleh suami saya. Sempat suatu pagi saya mendapati pesan dari nama itu, “Maaf semalem ketiduran." Tapi setelah saya buka tidak ada pesan lain dari HP-nya. Pikiran saya kacau. Frekuensi percakapan mereka di aplikasi HP sangat intens. Tapi sama sekali tidak ada pesan apapun dari nama ini.
Mengikhlaskan Setengah Hati
Saya tidak diam, saya meminta penjelasan. “Mungkin dia salah kirim Nda, udah jangan mikir aneh-aneh,” katanya. Saya memilih diam dan percaya. Saya tidak berhenti mencari tahu. Dan belakangan saya tahu suami saya memang menjalin hubungan dengan seorang rekan kerjanya. Cinlok saat kerja lapangan kemarin. Bukan wanita ini yang menggoda suami saya, tapi suami saya yang membuat wanita ini jatuh cinta padanya. Bukan tidak pernah wanita ini menanyakan saya dan keluarga kami, tapi suami saya menyuruhnya mengabaikan. Bukan wanita ini yang tidak tahu rasanya diselingkuhi, tapi suami saya membuat wanita ini tidak punya pilihan lain selain membalas setangah dari cinta suami saya kepadanya.
Jangan tanya saya tahu dari mana. Apakah saya marah? Jawabannya tentu saya marah. Sangat marah. Tapi saya memilih diam dan pura-pura tidak tahu di depan suami saya. Apa yang membuat saya marah, karena saya seorang istri dan seorang yang dikhianati oleh suami saya. Kenapa saya memilih diam? Karena apa yang dilakukan suami saya ketika di rumah, kepada saya, kepadan anak-anak saya tidak ada yang berubah.
Hanya beberapa kebiasaan dia yang berubah. Lebih rutin izin main dengan teman-temannya, lebih sering lembur dan lebih sering tidur larut malam. Selebihnya suami saya masih orang yang sama seperti dulu, masih suami yang prioritas utamanya adalah keluarga. Saya hanya perlu mengikhlaskan setengah hati suami saya untuk wanita itu. Bukan sepenuhnya semua salah wanita itu, dan saya tidak akan pernah bisa menyalahkan dua hati yang saling jatuh cinta.
#GrowFearless with FIMELA