Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Marlia Setiarini - Tangerang Selatan
Advertisement
Semua orang pasti mendambakan pernikahan yang ideal. Pasangan yang mengerti kita, saling support, dan berharap menua bersama. Ya semua pasti ingin pernikahan sekali seumur hidup, begitu juga dengan saya. Tapi kalau ternyata takdir berkata lain, apa mau dikata?
Sebagai penulis skenario, sering sekali saya menulis tentang kisah romantis sepasang manusia yang dimabuk cinta, lalu terlibat konflik, namun akhirnya berakhir dengan happy ending. Si tokoh menikah dan mendapatkan cinta sejatinya. Dan ketika menulis cerita romantis yang diangkat ke layar kaca itu, saya sering membayangkan, kisah cinta saya akan indah. Tanpa bumbu drama yang terlalu menggelegar dan membuat hati teriris, air mata bercucuran. Hehehe. Tapi ternyata kisah romantis yang saya buat itu memang hanya fiktif adanya.
Tahun 2008 saya pernah menikah. Ini pernikahan pertama saya, di usia saya yang sudah mencapai 30 tahun. Saya kenal si A, karena kami dulu kuliah bersama. Putus nyambung hubungan kami ternyata tidak menyurutkan kami untuk ke jenjang yang lebih serius. Mungkin dengan menikah, kami bisa meredam ego masing-masing. Dengan niat baik untuk ibadah dan saling mencintai, kami menyampaikan niat kami kepada orang tua, untuk menikah.
Tapi dari persiapan pernikahan saja penuh drama banget, sampe bikin saya stres. Si A dan saya memang beda kultur, dan itu ternyata berpengaruh besar pada pribadi kami. Persis seperti iklan teh di tivi, “Nanti nikahnya pakai adat apa?” Itu saja sudah bikin ribut. Nggak ada yang mau mengalah. Keluarga saya inginnya pakai adat kami, begitupun juga keluarga A. Akhirnya jalan tengahnya diputuskan pakai baju nasional aja.
Belum lagi masalah undangan. Si A maunya namanya duluan, sementara menurut saya, sebagai wanita seharusnya nama saya di atas. Itupun menjadi keributan dan akhirnya saya bilang, “Udah! Kita nggak usah nikah! Masalah begini aja kamu nggak mau ngalah, apalagi ke depannya!” Disitu sebenarnya saya udah feeling, pernikahan ini nggak akan berjalan mulus, karena terlalu banyak keributan dan mulai terlihat sifat aslinya yang egois. Tapi hanya karena faktor ‘nggak enak’ sama orang tua kedua pihak, akhirnya saya teruskan. Si A juga akhirnya mengalah. Singkat kata kami akhirnya menikah di masjid dan mengundang banyak orang.
Advertisement
Bercerai
Hari-hari pernikahan saya seperti dihadapkan pada takdir yang tak berpihak. Kesabaran saya diuji benar dengan si A ini, apalagi saya orangnya juga tak terlalu penyabar. Awal-awal pernikahan penuh keributan. Mencocokkan dua kultur dan sifat yang berbeda itu, memang PR yang besar. Kami memutuskan untuk kontrak di rumah petak, supaya bisa hidup mandiri. Saya berharap bila kami hidup mandiri, kami juga akan lebih saling mengerti.
Saya akui, keributan di rumah tangga kami kebanyakan disebabkan oleh faktor ekonomi. Padahal saya juga punya penghasilan, walaupun tidak rutin. Tapi untuk si A, uang istri adalah uang suami. Dan saya sangat tidak setuju. Di Islam sendiri diajarkan, uang istri adalah miliknya. Sementara uang suami adalah uang istri. Tapi dengan dalil seperti itu, saya dibilang egois. Saya lelah hampir tiap hari ribut masalah uang, uang, dan uang. Dan yang lebih sedih lagi, saya sampai jarang kasih uang ke orang tua saya, karena uang saya dipegang olehnya. Huft!
Dan akhirnya di bulan ke 9, saya sudah nggak tahan dan kembali ke orang tua saya. Orang tua saya sudah mencium gelagat keributan kami dari dulu, karena setiap berkumpul, wajah saya kayak orang stres. Orang tua saya masih mampu dan masih kuat untuk menghidupi saya. Dan akhirnya tepat satu tahun, saya mengajukan perceraian. Yang membuat saya sedih bukan hanya perceraiannya. Tapi ternyata, selama kami mengontrak, ayah saya membangunkan rumah untuk kami. Supaya kami nggak ngontrak di rumah petak lagi. Tapi lagi-lagi itu ditangkap salah oleh si A. Ia malah menuding ayah saya terlalu ikut campur.
Oh... inikah yang namanya pernikahan? Manisnya hanya semu, lebih banyak pahit dan asinnya. Kenapa kisah cinta saya tidak seindah FTV yang saya tulis? Hanya setahun pernikahan saya bertahan. Itupun penuh keributan.
Mendapat Pengganti yang Lebih Baik
Setelah perceraian, sudah pasti saya down. Tapi untungnya tidak sampai depresi. Saya percaya, semua terjadi karena izin Allah SWT. Semua peristiwa yang saya alami adalah pembelajaran, dan mencetak saya menjadi wanita yang lebih kuat dan lebih dekat dengan Allah SWT.
Tiga tahun saya menjanda. Bukan karena trauma, tapi karena belum menemukan pasangan yang pas. Saya nggak ada trauma sama pernikahan. Justru dalam hati saya ingin menikah lagi, untuk membuktikan kalau saya bisa menjadi istri yang baik. Dan dalam perjalanan itu saya memutuskan untuk umroh. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya bersimpuh dan memohon maaf pada Allah, karena menjadi hamba yang kurang sabar dan kurang bersyukur. Saya serahkan semua hidup saya pada Allah. Karena jodoh, rezeki, dan maut hanya Allah yang tahu.
Dan alhamdulillah penuh syukur, dua bulan setelah umroh, saya menemukan jodoh saya. Insya Allah jodoh dunia akhirat. Ketemunya pun tak sengaja, di sebuah stasiun televisi. Allah sepertinya sudah menyiratkan pertemuan kami. Si B yang gagal menikah, bertemu saya yang sudah 3 tahun menjanda. Dan sama seperti A, si B juga teman kuliah. Bahkan pernah sekelas. Hehehe. Mereka pun saling kenal.
Dengan si B saya tidak beda kultur, jadi nggak ada PR besar untuk saya. Dan kami cocok luar dalam. Kami punya selera yang sama dalam segala hal. Dan yang pasti, nggak ada keributan masalah ekonomi lagi, yang sangat saya takutkan. Saya sadar betul, setelah badai akan ada pelangi. Dan saatnya saya memulai hidup baru. Menjalani pernikahan kedua dan insya Allah terakhir. Allah kasih kesempatan kedua, untuk saya memperbaiki diri.
Alhamdulillah kisah cinta saya sekarang seindah FTV yang saya tulis. Hehehe. Pernikahan kami sudah berjalan 6 tahun, tanpa keributan yang menggelegar. Tanpa bumbu drama yang bombastis. Semua mengalir apa adanya. Walaupun kami belum diberi keturunan, tapi kami tetap saling support. Berjabat tangan dan berpelukan dalam keadaan senang dan susah, sedih, dan gembira. Karena kami ingin menjadi pasangan yang dicintai Allah SWT. Amin.
#GrowFearless with FIMELA