Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: R - Jepara
Advertisement
Aku menikah di usia yang cukup muda, 20 tahun. Bukan soal gampang memikirkan tentang pernikahan tapi entah kenapa aku merasa telah mantap bersamanya, seorang pria yang terpaut usia 5 tahun dariku. Kami dua tahun berpacaran dan akhirnya menikah di bulan Juli 2012 beberapa minggu sebelum Ramadan.
Aku sangat gusar memikirkan tentang persiapan pernikahan mulai dari undangan, baju pengantin, katering sampai hiburan. Sebenarnya aku tidak punya pernikahan impian dan tidak terobsesi menggelar pernikahan bak princess atau apapun itu. Waktu itu aku lebih fokus pada kehidupan setelah pernikahan bagaimana kami menjalani rumah tangga kami. Kami tinggal di mana, dsb. Tapi lama-lama mendekati hari H aku mulai mengonsep semuanya.
Mulai dari undangan. Aku mendata semua kawan yang aku masih ingat tapi tetap saja ada yang tertinggal. Untuk desain undangan aku memilih sendiri tanpa calon suami karena kami mengurusi semuanya sendiri-sendiri. Aku sempat bingung bagaimana mengantar undangan-undangan tersebut karena kawan-kawan dekatku banyak yang lost contact. Banyak di antara mereka yang masih kuliah atau kerja di luar kota dan tentu saja karena alasan itu aku antar semua undangan pernikahanku sendiri dan aku bersyukur kakakku yang baik hati mau menolong ditengah kesibukannya bekerja. Selama dua hari aku mengantar undangan pernikahanku capek pasti tapi mau bagaimana lagi aku tidak tahu mau minta tolong siapa selain kakakku karena yang tahu rumah teman-temanku cuma aku. Kala itu ingin sekali share undangan lewat media sosial seperti Facebook tapi aku rasa itu tidak efektif. Karena menurutku seseorang akan lebih respek apabila kita bisa memberikan undangan. Semua berjalan lancar hingga satu hal membuat aku harus berdebat dengan kedua orang tuaku.
Advertisement
Persiapan yang Cukup Menguras Tenaga
Jujur waktu aku menikah, aku sendiri belum begitu banyak tabungan yang lebih untuk mempersiapkan pernikahan. Karena calon suamiku mengajak menikah pun secara mendadak. Jadi aku pasrah menikah dengan segala keterbatasan, aku pun berpikir untuk tidak memakai dekorasi seperti pengantin lain yang biasanya memakai dekorasi berlatar bunga-bunga. Aku juga tidak memakai riasan adat Jawa yang wah!
Aku hanya berpikir yang penting aku memakai kebaya, memakai sanggul dengan riasan yang manglingi saja. Aku tetap memakai sanggul tapi tidak dengan hiasan-hiasan kepala. That`s enough untuk membuat aku terlihat cantik di hari bahagiaku. Lagipula aku memilih salon dengan riasan paling bagus di desaku dan akupun puas dengan pelayanannya. Orang tuaku paham keinginanku dan aku juga tidak mau memberatkan mereka dan tidak ingin setelah pesta pernikahanku meninggalkan banyak utang demi sebuah kemewahan.
Tapi ayahku tidak sepemikiran denganku beliau ingin tetap ada hiburan dan tetap ada dekorasi. Aku tahu setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anak mereka. Ayahku pasti ingin aku bahagia di hari bahagiaku karena pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup. Tapi aku sendiri mempertimbangkan keadaan keuangan kami yang tidak cukup bahkan kurang untuk menggelar sebuah pesta pernikahan.
Tapi aku tidak tahu ketika malam sebelum hari H ada teman-teman ayah yang datang mereka mengambil bunga anggrek, tangkai daun palem, dan pot-pot bunga di halaman samping rumah. Aku hanya heran siapa mereka dan apa tujuan mereka. Aku menanyakan itu kepada Ayah,dan jawaban beliau hanya simpel. Mereka kasihan padaku dan merasa sayang kalau aku tidak ada dekorasinya. Jadi mereka membuatkanku dekorasi sederhana. Dan aku sangat terharu dan berterima kasih kepada beliau dan teman-teman ayahku yang sudah membuatkan dekorasi sederhana dengan tangan cekatan mereka.
Untuk selanjutnya katering dan hiburan, semua diurus oleh ayah dan ibu. Mereka optimis bisa menyelesaikan semuanya demi hari bahagiaku. Tapi, di hari pernikahan aku merasa tidak tenang aku tidak makan dari pagi sampai malam. Aku hanya minum sampai kepalaku terasa sakit.
Berlangsung Lancar
Akupun merasa sedih, kenapa di hari bahagia aku tidak merasa bahagia apa aku terlalu mengkhawatirkan ini semua. Tapi aku bersyukur sampai acara ijab kabul semua berjalan lancar. Katering semua lancar. Hiburan musik pun lancar. Sampai malam hari aku dijemput suami aku masih tidak tenang dan keesokan harinya aku masih berpikir apakah semua sudah dibayar. Apakah anggarannya cukup?
Setelah malam pertama pun yang aku hubungi adalah ayah dan ibu. Dan aku merasa lega mereka sudah mengurus dan melunasi semuanya, bahkan ada anggaran yang sisa yang bisa mereka gunakan seperlunya. Aku sangat berterima kasih kepada kakak dan adikku, saudara-saudaraku, teman-teman, serta ayah, dan ibu. Bagiku pernikahan yang sakral dan membahagiakan semua orang yang lebih penting. Daripada kemewahan sesaat tapi banyak menimbulkan masalah.
Intinya pernikahan impianku adalah ketika semua bahagia, menambah saudara dan aku bisa menjalani rumah tangga bersama suami dengan sakinah mawaddah warohmah). Dan tanggal 12 Juli lalu usia pernikahan kami genap 7 tahun. Aku bersyukur sudah dikaruniai seorang putra berusia 6 tahun yang lucu dan sehat. Kami sudah bisa mandiri dan semoga Tuhan selalu melindungi kami.
#GrowFearless with FIMELA