Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: S - Sidrap
Advertisement
Pernikahan. Ketika mendengar kata ini, maka akan terlintas kehidupan yang indah dan romantis seperti halnya drama Korea. Sebuah gambaran kehidupan yang perfect tanpa cela. Setidaknya itulah yang terlintas di benakku sebelum aku menikah.
Sekitar 3 tahun yang lalu aku selalu mendambakan pernikahan yang indah dan mewah, hal ini membuatku menjadi gadis yang kebelet menikah muda. Ya bukan karena ingin membangun rumah tangga yang sakinah dan mawaddah, tetapi karena rasa penasaran yang tinggi tentang kehidupan pernikahan dan ekspektasi yang terlalu tinggi pula. Hal itu menjadi pendorongku untuk menempuh berbagai cara agar dapat segera menikah.
Di usia segitu tentu saja aku punya seorang pacar, dan didukung dengan penampilan yang cantik dan seksi juga, maka sangat mudah bagiku dikelilingi oleh berbagai macam laki-laki yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun di antara semua laki-laki yang mendekatiku, tidak ada yang serius untuk mewujudkan cita-citaku dalam waktu dekat. Mereka hanya datang untuk bermain dan bersenang-senang denganku. Akupun menuntut pacarku yang saat itu sudah bersama denganku selama 5 tahun untuk menikah denganku secepatnya, tapi tentu saja ditepisnya dan aku harus bersabar.
Di tengah kegalauan karena sindrom kebelet menikah, datang seorang laki-laki yang kebetulan satu tempat kerja denganku. Dia hadir menawarkan diri sebagai kekasih, lebih tepatnya sebagai selingkuhan karena pada saat itu aku masih menjalin hubungan dengan pacarku. Aku lalu menerima laki-laki itu yang kebetulan umurnya lebih muda 2 tahun dariku.
Advertisement
Hamil
Setelah menjalani hubungan perselingkuhan selama 5 bulan, ternyata aku dan selingkuhanku ini memiliki kesamaan ingin menikah muda. Tapi karena usia kami yang tergolong masih muda, tentu saja persiapan untuk menikah tidak ada sama sekali dari segi finansial, ditambah lagi si dia tidak masuk dalam kriteria jodoh yang akan disetujui oleh orang tuaku.
Beberapa bulan berlanjut dan kami semakin yakin untuk menikah muda, maka kami memutuskan menempuh cara yang salah agar segera menikah. Ya, kami memutuskan untuk melakukan hubungan badan agar segera menikah dengan alasan sudah ada bayi di dalam perutku. Cara ini berhasil, tapi ternyata tak semudah yang aku bayangkan.
Kehamilanku pertama diketahui oleh pacarku yang memang belum aku putuskan saat itu, itu menjadi ujian berat pertama yang aku jalani. Aku menghadapi pelampiasan kekecewaan dari pacarku yang memang berniat untuk serius denganku. Ternyata sangat berat melihatnya jatuh dan tersakiti karena penghianatanku, dan ia pun pergi meninggalkanku.
Setelah itu, aku sampaikan kehamilanku pada orang tuaku dan orang tua dari laki-laki yang menghamiliku. Di sini cobaan berat kedua harus kuhadapi. Tentu saja lebih berat karena kekecewaan dan kemarahan orang tua yang selama ini membesarkan kami. Harapannya sirna dan seolah semuanya berantakan seketika. Aku hampir menyerah untuk berjuang, karena ini sudah di luar batas kemampuanku saat itu, bahkan aku memutuskan untuk mengakhiri hidup bayi ini.
Karena sudah tidak sanggup dan tertekan, siang itu aku dan si bapak dari anak ini (selingkuhan) memutuskan untuk melakukan aborsi, tapi sebelumnya kami memutuskan untuk USG dulu. Entah keajaiban apa, tapi hati nuraniku terketuk saat aku mendengar detak jantung si bayi yang pada saat itu berusia 4 bulan. Hal itu menjadikanku kuat untuk berjuang demi pernikahan dan demi hidup sang bayi yang tidak berdosa ini.
Menikah
Setelah sebulan lebih berjuang penuh dengan air mata dan penyesalan, akhirnya kami diberi jalan oleh Tuhan yang Maha Kuasa, pintu hati orang tua kami akhirnya terbuka dan dilakukanlah pernikahan.
Pernikahan kami sekarang sudah berjalan 3 tahun lebih, banyak sekali cobaan yang sudah kami lalui bersama, dan gambaran tentang pernikahan impian seperti dalam drama Korea tidak ada sama sekali. Realita kehidupan ini berbanding terbalik dengan ekspektasi sebelum pernikahan.
Sekarang aku sadar, bahwa pernikahan ini adalah sebuah tanggung jawab yang besar, ketika kita memutuskan untuk menikah, ternyata kita akan menempuh sebuah fase kehidupan yang lebih berat. Dan untuk mengahadapi fase ini, tentu sebaiknya kita betul-betul dalam keadaan yang siap, baik kesiapan finansial dan tentu saja kesiapan mental yang paling utama.
Jangan menikah jika hanya karena terburu-buru dan capek ditanya kapan nikah. Jangan menikah kalau hanya ingin coba-coba saja. Dan jangan menikah jika hanya karena dorongan nafsu semata, karena menikah itu sakral, menikah itu sebuah tanggung jawab dan menikah itu sebaiknya mendekatkan kita kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
#GrowFearless with FIMELA