Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: Azkia Maulida Khanifan - Cilegon
Advertisement
Menjadi Anak Rantau
Menjadi anak rantau bukanlah hal yang mudah, terpisah jauh dengan keluarga puluhan kilometer dan harus beradaptasi dengan lingkungan baru, suasana baru, dan budaya baru. Kata orang merantaulah dan keluarlah dari zona nyamanmu, maka kau akan tahu berjuang itu apa, proses itu apa, kehidupan itu apa, dan menjadi kuat itu seperti apa.
Sudah hampir masuk tahun ke-6 aku menjadi anak rantau. Berawal dari menginjakkan kaki di kota hujan untuk sebuah kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya kembali merantau dan menginjakkan kaki di ibu kota untuk sebuah hak, hak untuk hidup dengan bekerja. Tidak pernah terpikir dan memiliki keinginan sebelumnya untuk pergi jauh dari orang tua.
Berat hati ketika izin pamit untuk pergi dari rumah, melihat wajah mereka seperti ada sedikit tamparan dan ada rasa yang bergejolak di dalam hati, “Mau kemana kau, ketika mereka butuh perhatian ketika mereka butuh tempat untuk bercerita? Sudahlah tinggal saja di sini, rawat mereka. Bukankah dulu mereka tidak pernah meninggalkanmu lama? Bukankah dulu mereka merawatmu dengan tulusnya?” Tidak, kamu harus pergi keluar dari zona nyaman carilah prestasi carilah rezeki agar bisa mengangkat derajat kedua orangtuamu agar mereka bangga melihat anaknya ini. Ya seperti itulah pikiran-pikiran yang membuat hatiku bergejolak. Aku hanya bisa berkata maaf dalam hati, maafkan aku harus pergi merantau, aku akan selalu mengabari kalian di sela-sela kesibukanku nanti bu, pak.
Tiga tahun lamanya merantau di kota hujan, ternyata kesibukan sebagai seorang pelajar dan keramaian dengan lingkungan juga teman-teman baru membuatku sedikit lupa mengabari orang tua, lupa untuk menanyakan kabar mereka, lupa untuk sekadar mengatakan aku baik-baik saja. Memberi kabar urgent hanya untuk meminta jatah bulanan, SPP kuliah, dan tambahan bekal. Dilanjutkan tahun-tahun berikutnya, harus merantau ke ibukota dan sudah berlangsung 3 tahun lamanya juga, semua ini demi sebuah hak untuk merintis sebuah karier.
Lagi dan lagi aku harus meninggalkan orang tua dan hanya bisa mengatakan di dalam hati, “Maaf aku harus kembali jauh, maaf aku harus pergi lagi, maaf tugasku belum selesai." Ada hati yang ikut haru ketika harus jauh, ketika harus beradaptasi lagi, ketika tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Dan aku harus menguatkan hati, semua ini demi orangtuaku demi bisa menaikan derajat mereka.
Advertisement
Momen Ramadan Itu Datang Lagi
Momen ramadan itu datang lagi, rasa syukur terus terucap karena masih bisa bertemu dengan bulan suci ini dan ada haru yang tak terbendung karena harus jauh dari keluarga. Saat-saat ramadan seperti ini menjadi salah satu momen yang membuatku haru. Bagaimana tidak? Ramadan ke-6 yang aku jalani di kota orang, menjalaninya dengan rasa sunyi. Tak ada kebersamaan menikmati makanan ibu, tarawih bersama, sahur bersama bahkan ngabuburit bersama.
Ramadan ini tak ada bedanya dengan tahun kemarin dan kemarin juga kemarin, dimana sendiri lagi dan jauh lagi dari orang tua. Terkadang aku berpikir bahwa jauh dari rumah dari orangtua membuat kita lebih kuat, mandiri, dan menemukan keluarga baru. Ada momen-momen yang membuat sedih ketika sendiri, momen sahur sendiri, mencari takjil sendiri, atau bahkan buka puasa sendiri. Dan aku hanya bisa berbicara pada diri sendiri, maaf untuk tidak pulang lagi maaf untuk tidak merayakan ramadhan ini bersama lagi, tapi aku akan pulang untuk merayakan hari besar bersama. Ya memang sesedih itu, ada sesuatu yang belum bisa ditinggalkan sehingga aku belum dapat pulang ke rumah lagi ramadhan tahun ini, maafkan aku, Bu, Pak.
Maafkan Aku, Bu, Pak
Ada tanggung jawab sebagai anak sulung yang belum bisa aku sudahi, maaf bu maaf pak kita belum bisa berkumpul lagi seperti saat aku masih kecil. Maaf bu maaf pak perhatian yang kalian berikan dahulu belum bisa aku balas dari dekat. Maaf bu maaf pak anakmu ini belum bisa merawat kalian dari dekat. Tapi tenang bu tenang pak selalu kuselipkan doa dalam sujudku untuk kesehatan dan kebahagiaan kalian. Mungkin belum sekarang, tapi nanti setelah aku merasa cukup, aku akan kembali pada kalian.
Maafkan aku yang sudah melangkah terlalu jauh dari rumah. Maafkan aku meninggalkan kalian karena sebuah kewajiban dan hak. Maafkan aku yang sulit untuk mengucapkan maaf secara langsung kepada kalian. Maaf aku terlalu gengsi untuk mengatakan itu. Maaf untuk kesalahanku meninggalkan kalian. Seharusnya aku selalu mengabari kalian dan meminta maaf, karena selama ini aku tidak merasa bersalah pergi jauh tidak merasa bersalah tidak mengabari kalian, harusnya aku mengetahui bahwa itu adalah sebuah kesalahan.
Ramadan tahun ini, di bulan yang suci ini aku ingin memintaa maaf kepada kalian. Terima kasih untuk keikhlasan ibu dan bapak merelakan anak perempuan satu-satunya pergi mencari kesuksesan di kota orang. Bagiku meminta maaf bukan hanya ketika kita melakukan sebuah kesalahan, karena dengan meminta maaf dapat membuat pikiran menjadi lebih positif dan hati menjadi tenang. Terlebih jika maaf itu ditujukan kepada kedua orangtua.
Tanpa kita sadari, kesalahan terhadap kedua orangtua itu pasti ada walaupun hanya hal sepele seperti yang kualami, yaitu tidak menanyakan kabar mereka ataupun tidak memberikan perhatian. Minta maaflah kepada orang tua, karena ridamu ada pada doa mereka.
Advertisement
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA